Bab 12
Setelah jam kerja usai, aku pun membereskan meja dan barang-barangku lalu bersiap untuk pulang. Sebelum meninggalkan kantor, aku menyempatkan diri untuk melaksanakan salat di musalla kantor. Yang ada di bagian belakang gedung.
Hari sudah gelap saat mobil yang kukemudikan bergerak menuju ke rumah.
"Assalamualaikum," salamku dari luar pintu.
Beberapa saat kemudian terdengar langkah kaki dari dalam rumah. Pintu pun terbuka diiringi jawab salam dari Bik Iyem. Selalu begini, Intan tak pernah menyambut kepulangan ku setiap hari dari kantor.
"Intan di mana, Bik?" tanyaku walau sudah tahu akan jawabannya.
"Pergi, Pak. Tadi dia titip pesan mau pergi ke rumah temannya. Ibu sudah telpon bapak, tapi gak diangkat," jawab Bik Iyem.membuatku terkejut.
"Sudah lama perginya?" tanyaku sambil mengecek ponsel.
"Dari sore tadi, Pak. Katanya mungkin agak malam pulangnya. Tapi bapak gak usah khawatir, nanti dia diantar sama temannya itu sampai rumah sini," jawab Bik Iyem.
Benar, memang ada lima kali panggilan tak terjawab dari Intan. Waktunya mungkin saat aku sedang rapat dengan Pak Arfan dan Pak Ardian tadi. Juga ada pesan darinya, isinya sama persis dengan apa yang dikatakan oleh Bik Iyem tadi. Ternyata Intan masih menganggap penting permisi padaku.
"Ya sudah kalau begitu, Bibi masak apa?" tanyaku mengalihkan topik pembicaraan.
Kami sudah berada di ruang makan, Bik Iyem sedang menyusun hidangan di meja makan.
"Sambalado Udang plus Pete, sayurnya tumis kangkung, Pak. Kata ibu ini kesukaan Bapak. Ini juga ibu yang masak tadi," jawab Bik Iyem membuat hatiku mendadak menghangat.
Intan, gadis itu ternyata sangat perhatian padaku. Aku pun segera duduk dan mengambil makanan yang sudah dimasak oleh Intan. Aku tahu kalau masakan intan sangat lezat.
Intan memang pandai memasak, seorang istri yang cukup sempurna jika saja pernikahan kami atas suka sama suka. Sambil menikmati masakannya, aku membayangkan sikap Intan yang suka berubah-ubah. Terutama sejak pertemuannya dengan Pak Arfan.
Intan jadi suka melamun dan menyendiri, jika aku tanya masalahnya, dia tak pernah mau menjawab. Selalu perjanjian kami sebelum menikah yang jadi alasan dia menolak berkata jujur padaku.
Selesai makan, aku pun beranjak ke.kamar. mandi dan berganti pakaian lalu kembali sibuk dengan tugas yang masih belum selesai karena aku diajak rapat siang tadi.
Drrrtt! Drrrtt!
Suara dering ponsel, berteriak memanggilku. Pasti itu dari Kristin. Ternyata dia memanggil lewat panggilan video. Aku pun mematikan laptopku, karena aku yakin Kristin akan menelepon dalam jangka waktu yang lama.
"Hallo, Sayang. Suprise!" seru Kristin begitu layar video terbuka.
"Astagfirullah, Kristin! Apa yang kamu lakukan? Pakai baju kamu, Kristin!" seruku kaget melihat penampilan Kristin di layar ponselku.
Aku sangat kaget melihat Kristin yang hanya memaki lingerie berwarna merah menyala saja. Meskipun, tak urung hasratku mendadak bangkit melihat penampilannya. Namun, aku tak suka dia berbuat seperti itu. Sebab, jika aku jadi tergoda dan hasratku jadi memuncak. Pada siapa aku akan menyalurkannya? Intan, dia pasti akan menolakku mentah-memtah.
"Kenapa, Sayang? Kamu takut tergoda, ya. Ha-ha-ha!" jawab Kristin sambil berputar lalu meliukkan tubuhnya dengan seksinya.
Ya, Tuhan. Wajahku mendadak terasa panas, aku masih laki-laki normal, Kristin.
"Kalau kau masih terus begitu, aku tak mau mengenalmu lagi, Kristin!" ujarku pura-pura marah.
Kuterkam tombol merah dan layar ponselku kembali menghitam. Tubuh Kristin yang seksi dan menggoda sudah menghilang, tapi bayangannya masih terus menari-nari di kepalaku.
Kuhapus wajahku dengan geram, aku mendudukkan dan melihat tonjolan di antara kedua pahaku dengan gusar. Sudah lama dia tak bekerja, sejak aku kembali dari Singapura.
Kurang ajar sekali, Kristin itu!
Mendadak.aku seperti mendengar suara Intan yang mengucapkan salam. Tak lama kemudian, suara Bik Iyem juga terdengar. Ternyata Intan sudah kembali dari rumah temannya.
Aku harus menemuinya, aku harus tahu siapa temannya dan ekmana dia pergi tadi.
Aku pun keluar dari kamarku tepat saat Intan menutup pintu kamarnya. Aku tahu dia tak pernah mengunci pintunya, jadi aku pun bergegas ke kamarnya. Benar saja, pintunya tak terkunci.
Aku pun masuk ke dalam, tapi tak ada Intan di sana. Lalu aku mendengar gemericik air dari kamar mandi. Rupanya dia sedang mandi dan hal itu membuat nafsuku yang mulai mereda kembali bangkit.
Membayangkan Intan sedang mengguyur tubuhnya yang polos membuat jakunku turun naik. Aku jadi terduduk di tepi tempat tidurnya.
Kreettt!
Suara pintu kamar mandi yang terbuka dan tertutup lagi terdengar, aku pun menoleh ke arah pintu. Tampak Intan keluar hanya dengan berbalut handuk putihnya saja. Dia jalan dengan kepala tertunduk dan tertutup handuk sehingga dia tak menyadari kehadiranku.
Otakku semakin nge-blank melihat penampilan Intan yang tak kalah seksi dengan Kristin tadi. Malah lebih seksi Intan dan itu nyata di depan mataku.
Intan sudah berdiri di depan lemarinya dan dari pantulan kaca dia bisa melihatku. Dia pun berbalik sambil berteriak kaget.
"Mas Gupta, kamu ngapain di situ?" tanyanya kaget. Tangannya mencoba menutupi paha yang hanya separuh saja tertutupi oleh handuknya.
Pikiranku sudah buntu, yang ada di pikiranku hanyalah hasrat ini harus dituntaskan. Perlahan aku bangkit dana berjalan ke arah Intan yang juga mundur melihat gerakan ku.
Aku terus maju sedangkan Intan terus mundur hingga langkahnya terhenti karena terhalang lemari pakaian. Aku semakin dekat lalu mengungkung tubuhnya dengan kedua tanganku.
"Mas, kamu mau apa?" tanya Intan dengan gemetar.
Tanpa menjawab, aku mengelus wajahnya dengan lembut, lalu beralih ke lehernya. Tatapanku tertumbuk pada dua gundukan yang kelihatan separoh saja. Kuterkam Saliva dengan susah payah, kemudian mendekatkan wajah ke wajahnya intan.
Bibir kami pun bertemu, dan aku memulai permainan panas yang sudah tak dapat kutahan lagi. Intan hanya berdiri mematung dengan bingung, speednya dia belum pernah begitu dekat dan intim dengan lelaki sebelumnya.
Aku pun berusaha membimbing dan mengajarinya, Intan pun mulai membalas walau gerakannya sedikit kaku. Namun, aku suka itu.
Tak lama, handuk yang menutupi tubuhnya pun terlepas, dan kini dia sudah terbaring dengan pasrah menunggu tindakanku selanjutnya. Aku mendekati Intan, wajahnya yang memerah kelihatan sangat menarik.
Pandanganku pun turun ke dadanya yang naik turun seirama dengan napasnya yang menderu. Sungguh suatu pemandangan yang indah. Aku mulai bergerak mendekatinya, tapi sesuatu di bawah perutnya menarik perhatianku.
Kuperhatikan dengan teliti dan napsuku mendadak sirna entah kenapa melihat tanda itu. Tanda bekas operasi, dan yang aku tahu itu adlah bekas operasi Caesar. Lalu operasi usus buntu tak selebar itu bekasnya.
Jika itu benar bekas operasi Caesar, itu artinya Intan pernah hamil dan melahirkan. Tapi dengan siapa?
Bersambung.