Chereads / Dosa Yang Manis / Chapter 1 - Pilihan Yang Sulit

Dosa Yang Manis

Nur_Meyda
  • 419
    Completed
  • --
    NOT RATINGS
  • 41.6k
    Views
Synopsis

Chapter 1 - Pilihan Yang Sulit

Bab 1

"Keadaan pasien sudah kritis, Bu. Kami hanya bisa menyelamatkan salah satunya saja."

Walau sudah di bius aku masih bisa mendengarkan pertanyaan yang diajukan oleh dokter pada Bu Mia.

"Saya pilih bayinya, Dok. Dia harus selamat!" jawab Bu Mia.

Aku sudah menduga apa yang akan dipilih Bu Mia. Namun, tak urung hatiku merasa sedih dan kecewa mendengarnya.

"Baiklah, kami akan melakukan yang terbaik. Doakan saja ibu dan bayinya bisa selamat," ucap Dokter Ibrahim dengan bijak.

"Saya tak peduli dengan ibunya, saya hanya butuh bayinya, Dok!" tandas Bu Mia membuat kepalaku mendadak terasa pusing.

Aliran darahku rasanya mengalir lebih cepat dan juga jantungku berdegup lebih kencang dari biasanya. Napasku terasa sesak hingga tubuhku mengejang berusaha mencari udara agar dadaku terasa lebih lega.

"Pasien gawat, Dok. Kita harus bergerak cepat!" seru seorang suster masih kudengar sebelum semuanya berubah menjadi hitam.

-------

Suara detak jarum jam di dinding menyambut kesadaranku. Perlahan kubuka mata lalu mencoba memindai ke sekeliling. Mencoba mengumpulkan semua ingatan yang perlahan mulai bisa kuingat.

"Ternyata aku masih hidup," gumamku pelan.

"Bu Intan sudah sadar? Syukurlah, tunggu sebentar, ya! Saya panggil dokter dulu," ujar suster yang berada di dekatku.

Aku hanya mengangguk lalu melihat suster tersebut berlari keluar kamar. Sambil menunggu kedatangan dokter, aku pun kembali mengingat kejadian sesaat sebelum aku tak sadarkan diri.

Perlahan ku elus perutku yang sudah rata. Ternyata aku masih selamat setelah melahirkan. Mengingat hal itu, tak kuasa air mataku pun jatuh membasahi kedua pipiku.

Namun, segera kuhapus saat dokter dan suster tadi masuk ke dalam ruangan. Aku pun diperiksa secara detail oleh Dokter Ibrahim.

"Alhamdulillah, semuanya normal dan baik-baik saja. Kita tunggu dua atau tiga hari lagi, kemungkinan kamu sudah bisa pulang," kata Dokter Ibrahim sambil menatapku dengan tatapan yang sulit diartikan.

"Terima kasih, Dokter," jawbku seraya menunduk.

Dokter Ibrahim menepuk pundakku paelan lalu pamit kembali ke ruangannya.

"Dokter!"

Dokter Ibrahim berhenti lalu berbalik menatapku.

"Apa ... aku boleh bertemu dengan anakku?" tanyaku pada akhirnya.

Kulihat Dokter Ibrahim menghela napas sebelum menjawab pertanyaanku.

"Kamu sudah tahu jawabannya, kan?"

Dokter Ibrahim berbalik dan kembali berjalan keluar dari ruanganku.

Aku pun kembali menangis tersedu. Rasa sesal yang datang terlambat kembali menguasai pikiranku. Seandainya saja aku tak menerima tawaran itu.

--------

Satu tahun yang lalu.

"Bagaimana, Intan. Apa kamu setuju dengan syarat yang saya berikan tadi?" tanya Pak Arfan sambil menatap tajam padaku.

"Saya masih takut, Pak, tapi saya sangat butuh uang itu. Apa Riska ada syarat lain yang lebih ringan?" tanyaku memelas pada Pak Arfan.

Bos di mana aku bekerja selama ini. Bos yang kukira mempunyai hati yang baik dan akan rela menolong tanpa pamrih. Namun, ternyata dia memanfaatkan kesulitanku yang sedang membutuhkan uang untuk membayar biaya operasi ayahku yang sedang sakit di kampung.

Penyakit diabetes yang diidapnya telah membuat kaki ayahku harus diamputasi karena sudah membusuk sebagian dan tak bisa di sembuhkan lagi. Ibu aku sangat pusing memikirkan biaya operasinya, sebab mereka tidak mempunyai asuransi kesehatan maupun BPJS gratis dari pemerintah.

Semua biaya harus ditanggung sendiri dan itu tidak sedikit jumlahnya. Sehingga orang tuaku meminta bantuan padaku yang sedang merantau untuk bekerja di ibukota.

"Kamu sedang kesusahan dan saya juga sedang butuh pertolongan. Jadi kita impas, kan?" Pertanyaan Pak Arfan membuyarkan lamunanku.

Aku menunduk, mencari jawab di lantai ruangan yang selalu bersih itu. Sungguh aku tak bisa membayangkan apa keputusan yang harus aku ambil.

Tok! Tok! Tok!

Suara ketukan di pintu membuat aku dan pak Arfan menoleh bersamaan. Pintu ruangan terbuka setelah pak Arfan mempersilakan masuk. Ternyata Bu Mia--istri beliau--yang datang berkunjung.

Aki menghela napas panjang,, sebab aku tahu maksud dari kedatangan beliau sang itu. Bu Mia melangkah mendekat sambil tersenyum manis pada Pak Arfan juga padaku.

"Bagaimana, Mas. Apa Intan sudah setuju?" tanya Bu Mia setelah berada cukup dekat dengan kami.

Senyumnya mendadak menghilang begitu melihat Pak Arfan menggeleng. Kemudian pandangannya mengarah padaku, langsung saja aku menunduk karena tak mau bertatapan dengan Bu Mia.

Dia pun berjalan mendekatiku, lalu menepuk bahuku pelan. Aku tak berani mengangkat wajah sedikitpun

"Kenapa kamu tak setuju, Intan. Bukannya kamu perlu uang dan permintaan kami cukup gampang?" tanyanya dengan lembut.

Aku menggeleng, lalu menengadah. Kali ini aku memberanikan diri mabatap wajah Bu Mia. Sangat mulus dan tak ada noda sedikitpun di wajahnya. Wajar saja dia memiliki kulit wajah yang masih mulus meski sudah memiliki umur jauh di atasku.

"Apa syaratnya tak bisa diubah, Bu. Saya tak sanggup memenuhinya," jawabku pelan.

"Kenapa tak sanggup?"

"Saya masih gadis, Bu. Belum pernah menikah dan melahirkan anak. Bagaimana nanti saya akan menjawab pertanyaan suaminya saya kelak?" tanyaku.

Bu Mia tampak tertawa kecil kemudian menarik kursi satu lagi agar lebih dekat denganku.

"Kalau masalah itu, gampang juga kok, Intan. Setelah kamu melahirkan, kami akan meminta dokter langganan untuk menjahit keperawanan kamu. Di jamin calon suami kamu nanti tidak akan tahu kalau kami sudah pernah melahirkan. Percaya deh, sama saya!"

"Memangnya bisa seperti itu, Bu?" tanyaku lagi.

"Bisa saja, Mia. Lagi pula, kamu tak perlu berhubungan intim dengan suami. Kamu akan hamil melalui program bayi tabung.

Aku memang tak tahu masalah apa yang sedang dihadapi ini. Pak Arfan dan Bu Mia memintaku menjadi pabrik pencetak anak untuk mereka. Surrogate Mother, itulah istilah yang mereka katakan padaku.

Bu Mia tak bisa hamil karena rahimnya telah diangkat, dia pernah mengidap penyakit tumor di rahim yang cukup ganas. Jadi dia tak akan bisa hamil dan melahirkan anak untuk suaminya lagi sampai kapanpun. Oleh sebab itulah mereka memilihku untuk melahirkan anak bagi mereka.

"Ayolah, Mia. Prosesnya memang sedikit rumit. Namun, saya berjanji akan memberikan apapun yang kamu inginkan," bujuk Bu Mia lagi.

Hatiku semakin bimbang mendengar permintaan dan janji dari Bu Mia. Kepalaku jadi pusing, aku terlalu keras berpikir.

"Sabar, Ma. Biar Intan memikirkan semuanya dengan tenang dulu. Jangan paksa dia!" kata Pak Arfan.

"Tapi, Pa ...." Bu Mia masih mengajukan protes yang segera dipotong oleh suaminya.

"Intan masih bersedih karena ayahnya sedang sakit dan harus segera dioperasi. Dia pasti akan mengambil keputusan yang tepat," sambung Pak Arfan.

Kali ini aku merasa kalau dia sedang menyindirku untuk segera mengambil keputusan. Dan keputusannya itu adalah aku menerima syarat mereka jika ingin mendapat pinjaman untuk biaya operasi ayahku.

Sungguh suatu pilihan yang sulit.

Bersambung.