Chereads / Dosa Yang Manis / Chapter 2 - Semua Demi Ayah

Chapter 2 - Semua Demi Ayah

Part 2

Dua hari kemudian, aku pun pulang ke kampung untuk menemui kedua orang tuaku. Selain itu, aku juga perlu waktu yang lengang untuk memikirkan kembali persyaratan yang diminta oleh Pak Arfan. namun, yang kutemui di sana justru membuat hatiku semakin sedih.

Penyakit Ayah semakin parah saja, bahkan kini beliau sudah tak bisa berjalan lagi karena kakinya yang membusuk itu.

"Kamu itu sejak tadi bengong terus, Nduk. Ada masalah apa di kantor kamu? Apa pinjaman kamu ditolak?" tanya ibuku sambil membelai rambutku.

"Nggak, Bu. Aku cuma sedang memikirkan penyakit Ayah saja, kok. Apa setelah dioperasi bakalan sembuh, Bu?" jawabku sekaligus bertanya pada ibuku.

Ibu menarik napas dengan berat lalu menghembuskan perlahan. Kemudian ikut duduk di atas amben yang terbuat dari bambu di teras rumah.

"Ibu juga gak tahu, tapi menurut dokter, kesembuhan ayah kamu kemungkinannya lebih besar jika dioperasi secepatnya. Mudah-mudahan saja pinjaman kamu cepat cair, ya," harap ibu membuatku semakin merasa dilema.

Pinjaman yang sangat diharapkan oleh ibuku itu sebenarnya akan langsung cair jika aku mau menuruti permintaan Pak Arfan dan Bu Mia.

"Bu," panggilku ragu.

Ibu mengelus rambutku lagi dengan lembut, seulas senyum terukir manis di wajahnya. Aku tak ingin senyum itu menghilang karena kesedihan akan kehilangan ayah.

"Ada apa, Nduk?" tanya ibuku lagi.

"Nggak apa-apa, Bu. InsyaAllah uangnya akan segera cair Minggu ini. Jadi ayah bisa segera dioperasi secepatnya," jawabku berbohong.

Sebenarnya tidak sepenuhnya berbohong. Uang itu memang akan segera mencair, aku akan segera menemui Pak Arfan untuk menyatakan persetujuanku.

"Alhamdulillah, ibu merasa lega, Nduk. Maafkan kami yang selalu menyusahkan kamu, ya, Nduk," ucap Ibu dengan suara lirih.

"Nggak, kok, Bu. Ini sudah tugasku sebagai anak untuk berbakti pada orang tua."

Kami pun saling berpelukan sore itu. Keesokan harinya, aku kembali ke kota meninggalkan ibu dan ayah yang tengah terbaring dengan lemah di kamarnya. Penyakit gula yang diidapnya sejak beberapa tahun lalu telah merenggut kebebasan ayah dalam beraktivitas.

Ayah mulai gampang merasa lelah dan mengantuk, pekerjaannya sebagai sopir truk pun terpaksa dihentikan karena dia sering tak masuk kerja jika penyakitnya sedang kambuh. Puncaknya saat beberapa minggu lalu kakinya terkena paku saat sedang membersihkan halaman.

Kakinya terluka dan tak kunjung sembuh, malah semakin parah dan membusuk. Sehingga harus dioperasi agar tak terus menjalar ke bagian kaki yang lainnya. Namun, biaya operasinya ternyata tak sedikit dan kami tak mempunyai tabungan sedikitpun.

"Sudah sampai, Mbak."

Suara sopir taksi yang kunaiki menyadarkanku dari lamunan. Ternyata aku sudah tiba di kediamannya Pak Arfan dan Bu Mia. Aku memang sengaja langsung ke rumah mereka setelah tiba di Jakarta.

Aku tak mau menunda lagi agar uang itu segera kuterima dan Ayah bisa dioperasi secepatnya. Setelah membayar ongkos taksi, aku pun segera mendekati gerbang rumah yang sangat megah itu.

"Cari siapa, Mbak?" tanya seorang satpam yang tengah berjaga di depan rumahnya.

"Apa Pak Arfan sama Bu Mia ada di rumah, Pak?"

"Ada, kalau boleh tahu, Mbak ini siapa, ya?" tanyanya lagi.

"Saya Intan, karyawan di kantor Pak Arfan," jawabku.

Satpam tersebut pun mengangguk mengerti lalu pamit untuk masuk ke dalam rumah. Tak lama kemudian, dia sudah keluar lagi dengan berlari lalu membukakan pintu gerbang untukku.

"Silakan masuk, Mbak. Sudah ditunggu sama Tuan di dalam," katanya dengan ramah.

Aku pun melangkah masuk sambil mengucapkan terima kasih. Pak satpam mengantarkan aku langsung ke ruang tengah. Di sana kulihat Pak Arfan dan Bu Mia sudah menunggu dengan senyum hangatnya.

"Intan, katanya izin pulang ke kampung melihat ayah kamu. Kok sudah kembali?" tanya Pak Arfan setelah aku menyalaminya.

"Iya, Pak. Ayah saya semakin parah saja penyakitnya, jadi saya memutuskan untu menerima syarat yang Bapak berikan kemarin," jawabku sambil menunduk.

Terdengar pekik bahagia dari mulut Bu Mia. Dia berdiri lalu memelukku begitu saja membuatku merasa malu.

"Terima kasih, Intan. Aku sangat senang sekali mendengar keputusan kamu," ucapnya sambil menangis haru.

Ah, apa sebahagia itu mendengar orang lain mau menggantikan dirinya hamil? Apa kehamilan itu sangat penting bagi mereka? Bukankah mereka bisa mengadopsi anak saja?

Entahlah, aku belum pernah berumah tangga, jadi wajar jika aku tak tahu jawaban dari pertanyaanku tadi.

"Kalau begitu, mari kita ke ruang kerja saya. Kita akan membuat dan menandatangi berkas kerja sama agar tak ada yang dirugikan di kemudian hari."

Pak Arfan mengajakku ke ruang kerjanya dengan ditemani oleh Bu Mia yang masih terus memelukku. Ruang kerja Pak Arfan sangat luas dan nyaman. Pasti beliau lebih banyak menghabiskan waktunya di ruangan ini, pikirku.

"Silakan duduk, Intan. Saya akan membuat surat kerja sama kita, sebentar, ya," kata Pak Arfan.

Aku mengangguk saja lalu memilih duduk di sofa yang ada di ruangan itu. Sementara itu, Bu Mia keluar dari ruang kerja dan tak lama kembali lagi bersama seorang wanita tua yang kutebak adalah seorang pembantu di rumah itu.

Setelah meletakkan makanan dan minuman ringan di meja, wanita tua itu keluar kembali.

"Intan, nanti setelah program bayi tabungnya berhasil, kamu tinggal di rumah ini, ya! Agar kami bisa ikut menjaga kehamilan kamu nantinya," kata Bu Mia padaku.

Aku mengangguk saja agar semuanya cepat beres. Masalah aku tinggal di mana, itu urusan belakangan. Yang penting, uangnya cepat cair dan ayahku bisa segera dioperasi.

Tak lama kemudian, berkas kerjasamanya telah selesai. Aku pun menandatangi tanpa.membaca isinya terlebih dahulu. Aku percaya kalau Pak Arfan dan Bu Mia adalah orang yang baik.

"Bagus, semuanya sudah beres. Kalau begitu besok kamu temui bendahara kantor. Kamu minta saja berapapun jumlah yang kamu inginkan dan itu semua tak perlu dikembalikan," beritahu Pak Arfan membuatku terbelalak kaget.

"Maksudnya, saya gak perlu melunasi hutang itu, Pak?" tanyaku untuk meyakinkan lagi.

Hatiku bersorak riang kala melihat anggukan Pak Arfan. Kalau tahu aku tak perlu membayarnya, sudah pasti sejak kemarin aku setuju saja dengan syarat yang merek minta, pikirku senang.

"Terima kasih, Pak, Bu. Kalau begitu saya permisi pulang dulu," pamitku.

Mereka pun mengantarkan aku sampai ke pintu depan. Bahkan, Pak Arfan menyuruh supirnya untuk mengantar aku pulang ke rumah. Ternyata, sekarang aku sangat berharga bagi mereka.

Sepanjang perjalanan menuju ke kontrakan, aku terus berpikir. Berharap kalau langkah yang kuambil ini tidak salah sehingga membuatku menyesal nantinya.

"Ayah, ini semua kulakukan untuk kalian. Semoga saja semuanya lancar," ucapku di dalam hati sembari berdoa.

Bersambung.