Dua hari sejak tes DNA itu dilakukan. Kediaman Lukas saat ini tengah menanti hasil tes tersebut.
Termasuk Clara, dia kini tengah ikut menunggu hasil tesnya lantaran Luki mengatakan padanya jika pertunangan itu akan dilakukan jika anak itu terbukti anak Lukas.
Lukas yang baru saja kembali dari rumah sakit membawa sebuah lembaran yang ada di dalam amplop.
Kasih duduk diam saja memasang wajah tanpa banyak berharap. Perasaannya sendiri sudah hampir mati karena sikap dan kata kata Lukas dan ibunya yang tak masuk akal.
"Kamu sudah membawanya?" tanya ibunya. Ia langsung berdiri. Wajah tegang tak luput terlihat dari mukanya saat ini.
Sementara itu Cinta hanya diam dan memandang wajah Kasih saat ini dengan perasaan yang kesal.
Tangan Lukas mengambil lembaran kertas dari ujung amplop. Dia membacanya dengan saksama dari atas hingga ke bawah. Sampai akhirnya tangannya gemetaran begitu mengetahui jika 99 persen bayi yang dikandung oleh Kasih adalah anaknya.
Ya, anak itu adalah anaknya. Anak yang dia tuduh adalah anak Luki ternyata adalah anaknya sendiri.
Lukas dan ibunya saling menatap. Kemudian menatap perut Kasih.
Wanita itu menoleh—sadar ketika ditatap oleh orang yang telah menyia-nyiakannya.
"Bagaimana?" Clara yang lebih dulu bertanya karena dia juga tak kalah penasaran dengan Lukas.
Karena tak kunjung mendapat jawaban. Clara merebut kertas itu kemudian membacanya.
Terlihat wajah yang lega ketika mendapati jika hasil tes itu.
"Benar kan? Sudah kubilang kalau anak itu bukan anak Luki." Clara memandang Cinta penuh dengan kemenangan.
Ia tidak tahu bagaimana hubungannya dengan Cinta. Tapi mereka lebih seperti pertemanan yang penuh dengan intrik yang licik.
"Baiklah, kalau begini. Luki tidak harus menikahi Kasih, kan? Seharusnya kita melakukanya sejak kemarin. Tapi kenapa harus menunggu Cinta keguguran dulu?" Clara sendiri tak dapat menahan kekesalannya karena Luki dianggap menjadi kambing hitam di dalam keluarga itu.
Luki menarik lengan Clara. "Cukup hentikan, Clara," bisiknya.
"Tapi kan—"
"Masuk ke kamar," Lukas menarik lengan Kasih. Kasih berdiri meninggalkan ruangan itu. Sementara Luki memandang bayangan Kasih yang seakan sudah pasrah dengan apa yang akan menimpanya kali ini.
Pintu kamar Cinta ditutup oleh Lukas. Kemudian lelaki itu memandang Kasih tak percaya.
Melihat suaminya gusar. Kasih pun mulai berbicara. "Kenapa? Kamu masih tidak percaya jika ini adalah anakmu?" tanya Kasih.
"Bukan begitu," jawab Lukas. "Kenapa kamu tidak menjelaskannya kepadaku. Setidaknya kamu membela dirimu sampai aku percaya padamu."
Kasih mengerutkan keningnya. "Kenapa harus? Dari awal pun kamu tak pernah mau percaya padaku. Kalau pun aku sampai menangis darah pun. Aku yakin kamu tak akan percaya padaku."
Lukas menyugar rambutnya. Kemudian dia mencoba untuk menahan emosinya yang hampir saja meledak.
Kasih hamil anaknya. Ia tak boleh melakukan hal yang dapat membuat Kasih terluka.
"Mulai sekarang kamu harus tinggal di sini," kata Lukas.
"Lukas." Kasih mulai berbicara. "Aku sudah memikirkan hal ini."
"Memikirkan apa?"
"Sebaiknya kita bercerai," putus Kasih.
Lukas menatap Kasih dengan nanar. "Bercerai? Tapi kenapa? Bukankah kamu mencintaiku?"
Kasih tertawa hampa. "Mencintaimu? Ya, aku dulu memang mencintaimu. Tapi sekarang, setelah kamu melakukan hal itu semua padaku. Sepertinya sebaiknya aku pergi saja dari hidupmu. Bukankah itu maumu? Sejak awal kamu hanya menginginkan Cinta. Kamu menggunakanku untuk membuatnya cemburu."
Lukas tertawa sarkas. Kemudian memegang kedua bahu Kasih dengan kuat.
"Baik. Kita akan bercerai."
Mata Kasih menatap kedua bola mata Lukas bergantian. "Tapi setelah kamu melahirkan anakmu. Setelah lahir anak itu lahir dia akan tinggal di sini. Dan kamu silakan pergi, aku akan memberikan uang perceraian padamu. Kompensasi itu bisa kamu gunakan untuk melanjutkan hidupmu."
"Tidak!" Tangan Lukas disentak oleh Kasih. "Kamu pikir aku mau?"
"Itu bukan pilihan Kasih. Tapi itu adalah perintahku." Lukas membalikkan tubuhnya kemudian menutup pintu kamar itu dan menguncinya dari luar.
**
"Jika anak Kasih sudah lahir, sebaiknya kamu saja yang merawatnya," kata Lukas malam itu.
Dia sudah mengenakan piyamanya bersiap hendak tidur.
Cinta yang mendengar perintah tersebut jelas saja tidak mau. Karena anak Kasih bukanlah anaknya.
"Kenapa? Kamu tidak mau?" Melihat ekspresi wajah Cinta membuat Lukas bertanya seperti itu. "Ibu saat ini sedang menginginkan cucu. Bagaimana kalau dia tahu kalau kamu sudah tidak bisa lagi hamil. Kamu mau diusir dari rumah ini?"
"Tapi itu kan kesalahan Kasih!"
"Maka dari itu rawat anak Kasih seperti anakmu, Cinta. Lagi pula anak Kasih adalah anakku juga. Aku akan bercerai dengannya usai dia melahirkan. Kamu puas kan?"
Cinta sama sekali sekali tidak tahu masalah itu. Keputusan Lukas untuk bercerai dengan Kasih baru kali ini dia mendengarnya.
"Kamu—kamu serius ingin menceraikan Kasih?"
Lukas mengangguk. "Dia sendiri yang mengajaknya. Jadi aku akan mengabulkan permintaannya itu."
Cinta tersenyum penuh makna. Setidaknya dia tidak perlu melihat wajah Kasih di dalam rumah itu lagi.