Luki mengetuk pintu kamar Kasih pagi itu. Dia ingin mengajak sarapan Kasih karena tadi malam istri sepupunya tersebut tidak memakan apapun.
Lama Luki menunggu di depan kamar Kasih, akhirnya wanita itu muncul.
"Aku ingin mengajak kamu sarapan," kata Luki.
"Tunggu sebentar, aku akan mengganti bajuku."
Luki pun menyandarkan punggungnya di dinding sambil memandang layar gawainya. Pesan yang ia kirimkan untuk Lukas sama sekali tidak dibalas. Jangankan dibalas, dibaca pun tidak oleh kakak sepupunya itu.
Pintu pun dibuka, Kasih sudah mengenakan pakaian yang berbeda.
"Setelah ini aku ingin pergi jalan jalan," ungkap Kasih.
"Apa kamu butuh pengawal? Karena aku siap untuk mengawalmu dari pagi sampai malam dan itu gratis."
Kasih tersenyum tipis. "Tidak apa apa kan?" tanya Kasih. "Toh tak akan ada yang cemburu," lanjutnya dengan senyum yang pahit.
Luki dan Kasih duduk di meja dekat jendela. Luki memesankan makanan untuk Kasih. Berbeda dengan Lukas. Luki begitu sangat memerhatikan Kasih. Mungkin orang lain akan menyangka jika Kasih dan Luki adalah sepasang kekasih atau suami istri bagi yang tidak mengetahuinya.
"Aku belum pernah makan di restoran mahal, jadi aku tidak tahu harus memesan apa," kata Kasih.
"Tidak apa apa, aku juga jarang kok. Aku lebih suka makan di warung tenda karena harganya lebih murah."
"Benarkah?" Padahal keluarga Lukas itu termasuk keluarga orang kaya, tapi Luki sepertinya tidak mau terlena dengan kekayaan yang ditinggalkan oleh kakeknya itu.
Sejak kakeknya meninggal, perusahaan diserahkan pada Lukas. Sementara posisi Luki ada di bawah Lukas, karena dia adalah lebih muda Lukas.
Meski sebenarnya banyak orang yang menilai jika kemampuan Luki lebih bagus dari Lukas.
Seringkali Kasih melihat jika ada pertemuan dengan klien. Selalu Luki lah yang menghadapi dan membuat mereka percaya pada perusahaannya.
"Silakan," kata Luki menyodorkan piring yang berisi makanan pada Kasih. "Aku harap kamu makan lahap hari ini, karena kita akan pergi jalan jalan."
"Benar juga."
"Dan kamu tidak boleh bersedih, karena kakak berhak untuk bahagia."
Sesaat Kasih terbatuk, "Aku sempat berpikir, apa aku masih diizinkan untuk bahagia?"
"Tentu saja. Kebahagiaan tak hanya berasal dari Lukas. Kamu bisa mencarinya, seperti—berbelanja, mengobrol dengan teman—atau yang lainnya."
"Terima kasih karena sudah menghiburku." Mata Kasih tiba tiba tertuju pada bayangan Lukas dan Cinta.
Mereka berdua berjalan dari arah lift. Bergandengan tangan menunjukkan jika mereka adalah pengantin baru.
Kasih sebenarnya tak ingin berlama-lama menatap mereka berdua. Namun sayangnya mata itu tak bisa lepas memandang mereka berdua.
Luki menoleh, dia tahu penyebab mengapa Kasih tiba tiba kehilangan fokusnya.
"Mau tukar tempat duduk?" tanya Luki.
Kasih menggeleng.
Cinta menghampiri meja Luki dan Kasih. Dia langsung duduk tanpa persetujuan Luki dan Kasih.
"Wah dari kejauhan aku mengira kalau kalian berdua itu sepasang kekasih lho," kata Cinta tapi dengan nada menyindir.
"Kenapa kamu belum pulang? Aku kan sudah menyuruhmu untuk pulang." Lukas memotong kalimat Cinta.
"Aku ingin jalan jalan di sini, jadi jangan pedulikan aku," jawab Kasih.
"Dengan siapa? Luki?"
Kasih diam.
"Clara akan kembali dari luar negeri satu minggu lagi, kan? Jangan membuat dia salah sangka. Karena kamu terlalu baik padanya."
Kasih sesaat lupa, jika Luki sudah memiliki kekasih yang sempurna. Kekasih yang cantik dan anak dari orang kaya.
"Sebaiknya saran itu untukmu sendiri. Aku bisa mengurusnya karena aku dan Clara belum menjadi suami istri," balas Luki dengan santai sambil menyuapkan makanan ke dalam mulutnya.
Lukas menggeretakan giginya karena kesal. "Aku memberitahumu karena aku peduli."
"Terima kasih, tapi aku bukan anak kecil lagi."
"Sudah sudah, bagaimana kalau kita memesan makanan saja, Sayang?" Cinta menengahi pertengkaran mereka berdua.
Kasih terkesiap ketika mendengar Cinta memanggil suaminya dengan sebutan sayang.
"Aku sedang hamil anak Lukas, jadi aku mohon. Jangan ribut, karena aku tak mau stress."
"Ada banyak meja di sini, sebaiknya kalian yang pergi jika tak ingin stress," balas Luki.
Wajah Cinta langsung merah padam karena malu.
"Sebaiknya kita pindah." Lukas hendak berdiri, tapi Cinta menahannya.
"Aku lebih suka di meja ini, aku ingin kita makan di sini saja."
Lukas mendelik ke arah Luki. Jika tidak sedang di depan umum. Mungkin dia sudah memukuli anak dari pamannya tersebut.
**
Kasih pulang dalam keadaan mabuk. Setelah dia dan Luki pergi ke bar.
Untung saja Luki tidak mabuk, jadi dia bisa memapah Kasih itu menuju kamarnya.
Selama di bar, Kasih selalu menyebut nama Lukas. Betapa dia masih mencintai Lukas dan tidak bisa melepaskan lelaki itu.
"Aku akan berusaha agar bisa hamil anak Lukas," kata Kasih ketika dia bersama dengan Luki di bar tadi.
"Dengan cara? Lukas tidak pernah masuk ke kamarmu kan?"
Kasih mengangguk. "Lelaki kurang ajar, padahal aku menjaga keperawananku sampai sekarang. Tapi dia malah menolakku. Dia malah memilih Cinta yang sudah melepas keperawanannya ketika SMA."
Kasih mengatakan itu tanpa sadar karena dia terpengaruh oleh alkohol. Membuat Luki tertawa karena ternyata Kasih bisa sefrontal ini dalam berbicara.
"Seharusnya kamu lebih berani seperti ini di depan Lukas dan Cinta, agar mereka tidak seenaknya memperlakukanmu."
"Begitu ya? Tapi aku ingin menjadi wanita yang baik untuk Lukas."
"Baik bukan berarti terus mengalah dan mau diinjak," sahut Luki.
**
Ketika Luki sedang membuka pintu kamar Kasih sambil memapahnya. Lukas tanpa sengaja melihat pemandangan itu.
Entah mengapa hatinya kesal karena Luki terlalu membela istrinya akhir akhir ini.
"Jangan jangan Luki menyukai Kasih," komentar Cinta.
Lukas tersenyum mengejek. "Selera Luki itu tinggi, Kasih tidak ada apa apanya dibanding Clara."
"Benarkah? Tapi—Luki sangat perhatian pada Kasih. Sampai mau menemani Kasih ke sini. Jika dia tidak punya perasaan pasti dia mengabaikan Kasih."
"Cukup, jangan berkata seperti itu. Hal itu membuatku geli." Lukas masuk ke kamarnya diikuti oleh Cinta.
Perasaannya tiba tiba kesal tanpa sebab.
**
Lukas memiringkan tubuhnya berkali-kali. Dia tak bisa tidur gara gara memikirkan apakah Luki berada di kamarnya atau masih di kamar Kasih.
Karena rasa penasarannya itu pun, akhirnya Lukas pergi ke kamar Luki.
Lukas menekan bel pintu kamar Luki. Namun adiknya itu tak kunjung keluar.
"Tak mungkin kan kalau Luki masih di kamar Kasih?" gumam Lukas dengan gusar.
Ia menghubungi nomor ponsel Luki. Namun hanya terdengar nada sambung.
Lukas membalik tubuhnya, ia hendak ke kamar Kasih. Namun pada saat itu, Luki membuka pintunya dengan mata yang setengah terbuka.
"Ada apa?" tanyanya dengan suara seraknya.
"Tidak apa apa," jawab Lukas merasa lega.