Rania langsung membeku saat tubuhnya didekap Alva dengan erat. Deru nafas laki-laki itu yang memburu karena ketakutan, terasa hangat menerpa tengkuknya. Ada gelenyer asing yang Rania rasakan, seolah ada rubual volt listrik yang menyengat tubuhnya. Bahkan, dia tak bisa hanya untuk sekedar mengelak dari kelakuan Alva yang benar-benar tak disangka-sangka.
"Tu-an, ini hanya mati lampu. Tidak akan ada apa pun yang menganggu Anda," ucap Rania tergagap.
Sungguh, Rania tak nyaman dengan posisi mereka saat ini namun entah mengapa dia tak bisa menyingkirkan Alva dari tubuhnya. Rasa iba menulusup ke dalam hatinya saat Alva semakin bergetar ketakutan.
"Mereka akan datang, Rania, mereka akan datang. Tolong panggil Ayah, aku takut!" racau Alva dengan suara bergetar karena ketakutan.
Rania yang mendengar perkataan Alva, langsung mengernyit. Sungguh dia bingung dengan 'mereka' yang dimaksud oleh Alva.
"Tenanglah, Tuan. Sebentar lagi lampunya akan kembali menyala. Anda tidak perlu takut. Tidak akan ada yang datang ke sini," sahut Rania meyakinkan.
"Tapi Rania, mereka …."
Ctek!
Lampu kembali menyala, menerangi setiap sudut apartemen Rania. Posisi Alva yang memeluk erat tubuh Rania dengan wajah yang disembunyikan di balik tengkuk wanita itu, tampak masih bergetar ketakutan.
"Tuan, lampunya sudah menyala. Semuanya baik-baik saja dan tidak akan ada yang menyakiti Anda," ucap Rania memberitahukan Alva tentang keadaan yang sudah kembali normal.
Perlahan Alva mengurai pelukannya. Wajah pucat dengan keringat dingin yang membanjiri pelipisnya, tampak jelas terlihat pada lelaki itu.
Perlahan Alva mundur menjauhkan tubuhnya dari Rania. Setelah kakinya membentur sofa, Alva memilih menjatuhkan bobot tubuhnya yang sudah lemas di sana.
Rania yang melihat kelakuan Alva langsung terpaku. Sungguh Alva yang kini Rania lihat bukanlah Alva sang Bos killer di kantornya.
Alva yang saat ini di hadapannya, bak anak kecil yang tengah ketakutan karena melihat hantu. Tak ada sosok menyeramkan yang biasa terlihat dari lelaki itu.
"Saya ambilkan dulu air ya, Tuan," ucap Rania kasihan melihat keadaan Alva.
"Ja-jangan!" cegah Alva yang sepertinya masih ketakutan.
"Tidak apa-apa, Tuan. Saya hanya sebentar. Lampunya tidak akan mungkin mati lagi. Saya janji," ujar Rania meyakinkan.
Mau tak mau akhirnya Alva menganggukan kepala. Meskipun masih sangat takut, namun tak mungkin Alva mencegah perempuan itu untuk pergi.
"Sebentar ya, Tuan. Saya janji tidak akan lama," ucap Rania lagi.
Gadis itu segera beranjak untuk mengambil air. Kasihan Alva pasti kehausan setelah ketakutan seperti barusan.
Sedangkan Alva yang melihat Rania pergi, hanya bisa melirik wanita itu dengan ekor matanya. Sungguh sebenarnya dia malu sudah memperlihatkan kelemahannya yang selama ini hanya diketahui oleh keluarganya saja.
Kejadian kelam yang terjadi di masa kecilnya, selalu menghantui Alva. Itulah kenapa ada trauma yang bahkan sangat sulit untuk Alva sembuhkan meski dengan bantuan ahli sekalipun.
"Ini airnya, Tuan," ucap Rania sambil menyodorkan segelas air putih pada Alva.
Alva segera menerimanya lalu menenggak air itu hingga tandas tak bersisa. Tenggorokannya yang sempat terasa kering, kiri kembali terasa nyaman.
"Apa sudah lebih baik, Tuan?" tanya Rania memastikan.
"Hem," jawab Alva singkat.
"Ya sudah, saya ambil baju ganti dulu. Tuan berani kan, tinggal sendirian?" tanya Rania memastikan kalau Alva akan baik-baik saja saat dia tinggal.
"Apa kamu pikir kalau aku itu anak kecil, Rania?" ketus Alva dengan tatapan yang begitu tajam pada Rania.
"Bu-bukan begitu, Tuan. Hanya saja tadi Anda …."
"Sudah, pergilah! Jangan membuatku kesal dengan mengoceh tidak jelas!" usir Alva sambil mengibaskan tangannya.
Rania menghela napas kasar lalu segera beranjak meninggalkan Alva. Sepertinya memang Alva sudah sembuh makannya kembali bertingkah menyebalkan.
"Benar-benar Tuan Alva itu. Dia bisa merubah bak bunglon dalam waktu yang singkat. Coba saja kalau dia terus dalam keadaan ketakutan seperti tadi, pasti duniaku adem karena tak akan ada dia yang hobinya marah-marah," gerutu Rania dengan bibir yang mengerucut begitu sampai di kamar.
"Ehem! Kalau kamu ingin menjelekkan orang lain, sebaiknya kamu mengungkapkan semua itu di depan orang yang bersangkutan agar bisa introspeksi dan memperbaiki kesalahannya. Kalau kamu ngomong di belakang seperti ini, mana bisa orang itu tahu kalau ada yang tidak kamu sukai darinya," celetuk Alva yang tiba-tiba sudah ada di belakang Rania.
Rania yang mendengar suara menyeramkan Alva, perlahan menoleh ke arah laki-laki itu. Begitu melihat Alva yang sudah bersidekap dada di belakangnya, sontak saja Rania nyengir sambil garuk-garuk kepala.
"Kenapa? Kenapa malah diam? Bukannya kamu barusan begitu lancar menjelekkan aku? Kenapa sekarang malah diam?" tanya Alva penuh selidik.
"I-itu, Tuan. Saya hanya …."
"Sudah! Kau itu memang banyak sekali berkilah macam bajaj. Sebaiknya cepat kemasi pakaian milikmu secukupnya saja. Aku sudah gerah dan ingin cepat mandi," ucap Alva sembari memilih untuk kembali keluar.
Rania yang melihat kelakuan lelaki itu, hanya bisa menghela napas. Buru-buru Alina mengambil dua setel pakaiannya untuk hari ini dan juga untuk besok pagi ke kantor. Setelah selesai, Rania segera keluar untuk kembali menemui Alva.
"Sudah?" tanya Alva mengalihkan pandangan dari ponsel ditangannya.
"Sudah, Tuan," jawab Rania sambil memperlihatkan faverbag di tangannya.
"Hem, ya sudah ayo kita pergi sekarang!" ajak Alva dan dijawab anggukan kepala oleh Rania.
Kedua orang itu berjalan beriringan keluar dari apartemen. Penampilan keduanya benar-benar kontras. Jika Alva berjalan dengan gaya kerennya khas seorang bos besar, berbeda dengan Rania yang tampak kerepotan membawa faverbag dan beberapa berkas di tangannya.
Sepertinya, si Bos killer memang tidak memiliki niatan sedikitpun untuk membantu sekretaris nya. Dia lebih suka melenggang bebas tebar pesona pada semua orang yang ada di sana.
Rania yang kesal dengan kelakuan cuek bos-nya, hanya bisa menggerutu dalam hati. Lagipula, tak mungkin dia terang-terangan menunjukkan kekesalannya pada lelaki itu.
"Rania! Lo mau ke mana? Kenapa jam segini masih sibuk bawa yang begituan?" teriak seseorang membuat langkah Rania terhenti.
"Callista? Ngapain Lo ke sini?" tanya Rania dengan kening yahg mengernyit. Pasalnya, mereka tak memiliki janji apa pun untuk bertemu hari ini.
"Gue sengaja datang ke sini, Ran. Gue mau denger cerita Lo tentang si Bos impoten itu. Pasti seru banget kan, lihat bos adu pedang? Pokoknya Lo harus ceritanya semuanya sama gue sekarang," cerocos Calista begitu bersemangat.
Sementara Rania yang mendengar celotehan sahabatnya, langsung mendadak pias. Apalagi saat ini tatapan Alva begitu tajam padanya.
"Astaga, Ran. Lo kenapa tiba-tiba pias? Jangan-jangan Lo beneran mergokin bos Lo adu terong, ya?" tebak Calista sambil terkekeh.
"Ehem! Rania, kita pergi sekarang. Pekerjaan kamu masih banyak jadi kita tidak punya waktu untuk berleha-leha," sela Alva sembari menahan kekesalannya pada kedua gadis di depannya.
Calista langsung berbalik pada Alva yang sempat dia belakangi. Tatapan gadis itu kentara dipenuhi tanya.
"Dia siapa, Ran? Ajudan Lo?" tebak Calista membuat Rania semakin membulatkan mata.
"Dia bos gue, Cal, Tuan Alva," bisik Rania menahan suaranya agar tidak sampai kedengeran Alva.
"Hah?"