Chereads / Jerat Cinta Tuan Muda Alva / Chapter 15 - Rasa bersalah

Chapter 15 - Rasa bersalah

Sepanjang perjalanan menuju apartemen Alva, di dalam mobil hanya keheningan yang menyelimuti kedua orang itu.

Ini gara-gara tragedi yang tadi tejadi di lobby apartemen Rania. Dimana Calista malah mengatakan hal yang tidak-tidak tentang Alva. Tentu saja hal itu membuat Alva naik pitam bahkan enggan mengajak Rania berbicara. Sepertinya, kali ini Rania harus menggunakan tenaga ekstra agar bosnya itu bisa kembali luluh.

Bukan hanya sial saja nasib Rania hari ini tapi lebih dari itu. Entah bagaimana nanti Rania membujuk Alva agar tidak marah lagi. Bisa-bisa, karena kalakuan Calista tadi, Rania akan dipecat. Ini benar-benar hal yang tidak pernah Rania inginkan.

"Turun!" titah Alva membuat Rania refleks menoleh.

"Tu-run? Apa Tuan ingin menurunkan saya di jalan?" tanya Rania tergagap.

Sungguh Rania takut kalau sampai Alva benar-benar menurunkannya di jalan. Bisa-bisa dia akan jadi santapan empuk para preman jalanan.

Namun, bukannya Alva melajukan mobilnya kembali, justru lelaki itu malah turun mendahului Rania. Tentu itu membuat Rania melongo tak percaya.

"Tuan, kenapa Anda malah turun juga?" tanya Rania sembari menahan tangis yang hampir meledak.

"Aku turun karena lapar. Tapi kalau kamu enggak lapar, itu sama sekali tidak masalah untukku," jawab Alva dengan santainya meninggalkan Rania dan masuk ke sebuah kedai kecil di depannya.

Rania yang mendengar jawaban Alva, buru-buru menyusul laki-laki itu. Selain karena tak ingin ditinggal sendirian, Rania juga sama-sama kelaparan. Bisa bahaya kalau Alva mutuskan untuk tidak memberinya makan. Bisa-bisa setelah menginap di apartemen bosnya itu, Rania harus masuk ke dalam rumah sakit.

Begitu sampai di dekat Alva, Rania langsung cengengesan. Apalagi melihat tatapan laki-laki itu yang benar-benar menyeramkan, cukup membuat Rania salah tingkah.

"Laper juga? Aku kira kamu robot yang tidak akan merasa lapar," ujar Alva sinis.

"Maaf, Tuan, saya pikir Anda ingin meninggalkan saya di jalanan tadi. Saya kan jadi takut," ucap Rania sembari menggaruk tengkuknya yang mendadak terasa gatal.

"Aku tidak sekejam itu sampai meninggalkan pegawaiku di jalanan. Meskipun aku kesal padanya, tapi itu tidak akan mengurangi rasa kemanusiaanku," sahut Alva tanpa menoleh sedikitpun pada Rania.

Rania langsung salah tingkah mendengar perkataan Alva. Lebih tepatnya, gadis itu malu karena sudah ketahuan mengatakan hal tidak-tidak tentang Alva pada sahabatnya.

Bagaimanapun juga, Alva pasti sakit hati karena keburukannya diumbar Rania meskipun mungkin itu adalah kebenaran.

"Maaf," ucap Rania lirih.

Alva menoleh dengan tatapan yang begitu lekat pada Rania. Itu membuat Rania semakin salah tingkah.

"Tuan, saya benar-benar tidak bermaksud menceritakan keburukan Anda pada Calista. Saya hanya …."

"Hanya apa? Hanya mengumbar aib, begitu?" tanya Alva dengan mata memicing.

"Bu-bukan. Itu … emmmm … saya hanya …."

"Sudahlah, tidak perlu mencari alasan untuk apa pun yang sudah kamu lakukan. Kebenarannya kamu itu memang menjelekkan aku dengan fitnah yang benar-benar menyebalkan. Asal kamu tahu saja, jika aku mau, aku bisa melaporkan kamu ke polisi atas tuduhan pencemaran nama baik dan juga fitnah. Apalagi, kamu mengatakan aku impoten pada temanmu itu tanpa bukti apa pun. Kamu hanya mengatakan apa yang menjadi pradugamu saja tanpa mau menelusuri dulu kebenarannya," ucap Alva begitu menohok.

Rania langsung bungkam mendengar perkataan Alva. Memang dia hanya mengatakan semuanya berkat praduga saja bukan benar-benar sudah tahu kenyatannya.

Namun, Rania juga tidaklah salah karena itulah gosip yang dia dengar selama ini. Semua orang mengatakan kalau Alva adalah seorang impoten makannya tak pernah terlihat jalan dengan seorang wanita.

"Makanlah! Setidaknya kamu butuh tenaga untuk kembali menyebarkan gosip tentangku pada orang lain," titah Alva sambil menyodorkan nasi goreng pada Rania.

Perlahan tangan Rania terulur menggapai nasi goreng yang diberikan Alva padanya. Meskipun perasaannya campur aduk saat ini, namun tak mungkin Rania menolak pemberian Alva karena jelas itu hanya akan membuat Alva semakin marah padanya.

"Apa kamu mendadak kenyang hingga tidak mau menyentuh nasi itu?" tanya Alva dengan mata memicing.

"Bu-bukan begitu. Hanya saja nasinya masih panas," kilah Rania dengan senyum kecil yang menghiasi bibirnya.

"Hem, benarkah? Ya sudah kalau begitu. Tunggu saja sampai besok supaya nasinya benar-benar dingin," ujar Alva kembali menikmati nasi goreng miliknya dengan lahap.

Rania yang melihat kelakuan Alva, hanya bisa menghela napas. Meskipun malu, namun akhirnya Rania pun ikut menyantap nasi goreng di depannya. Meskipun rasanya tenggorokan Rania sangat susah untuk menelan makanan itu. Namun sebisa mungkin Rania tetap menelannya.

Alva yang geleng-geleng kepala melihat kelakuan Rania. Sebenarnya Alva kesal dengan kelakuan gadis disampingnya itu. Namun bagaimana pun juga, Alva tak ingin mencampur adukan urusan pribadi dengan pekerjaan. Apalagi, diluaran sana gosif seperti itu memang berkembang pesat tentang dirinya. Jadi, Alva sebenarnya tidak merasa terganggu sama sekali.

"Ayo kita pergi!" ajak Alva begitu nasi di dalam piringnya tandas tak bersisa.

Rania langsung mendongak dengan ekspresi wajah yang benar-benar begitu lucu. Bahkan Alva sampai memalingkan wajah untuk menyembunyikan tawa.

"Kalau sudah selesai, langsung ke mobil. Aku tunggu kamu di sana," ucap Alva segera melangkahkan kakinya mendahului Rania ke mobil.

"Astaga, Tuan, tunggu!" teriak Rania buru-buru menghabiskan nasi goreng miliknya lalu segera menyusul Alva.

Alva yang melihat kelakuan Rania, kembali geleng-geleng kepala meskipun menyebalkan tapi ternyata wanita itu cukup lucu juga.

"Kenapa buru-buru? Aku bisa menunggu kamu makan sampai pagi," ucap Alva tanpa menoleh ke arah Rania.

"Ti-tidak perlu, Tuan. Saya sudah selesai," sahut Rania berusaha tersenyum meskipun sebenarnya hatinya benar-benar dongkol pada bosnya itu.

"Hem, oke."

Alva segera melajukan mobilnya tanpa memperdulikan Rania lagi. Tubuhnya yang sudah lelah rasanya tak sabar lagi untuk segera istirahat. Apalagi kini perutnya pun sudah terisi penuh. Itu membuat Alva akan langsung bebas beristirahat tanpa perlu repot-repot memasak lagi.

"Tuan, kenapa Anda memilih tinggal di apartemen sendirian? Apa Anda tidak kesepian?" tanya Rania benar-benar penasaran tentang Alva yang memutuskan untuk tinggal di apartmen.

"Lalu bagaimana dengan dirimu sendiri? Bukankah kamu juga memilih tinggal di apartemen dan bukannya tinggal bersama keluargamu? Apa yang menjadi alasanmu tinggal terpisah dari keluargamu?" tanya balik Alva.

"Tuan, saya bertanya pada Anda. Kenapa Anda malah balik bertanya pada saya," kesal Rania dengan bibir mengerucut.

"Aku bertanya karena penasaran," jawab Alva singkat.

"Ya, sama. Saya juga penasaran dengan alasan Anda memilih tinggal terpisah. Padahal sepertinya Anda sangat dekat dengan keluarga Anda," ucap Rania menatap intens pada Alva.

"Kalau begitu, kamu dulu katakan kenapa memilih tinggal terpisah dari keluargamu. Baru nanti aku juga akan menceritakan kenapa memilih tinggal di apartemen," ujar Alva tanpa menoleh ke arah Rania sedikitpun.

"Huft, baiklah. Saya tinggal di apartemen Karena …."