Chapter 15 - Gosip

Suasana hati Ariel yang sempat membaik kembali porak poranda saat melihat secara langsung perlakuan yang diberikan kakeknya pada Crystal. Selama dua puluh delapan dia tumbuh dalam satu rumah dengan sang kakek, belum pernah sekalipun Ariel melihat kakeknya tersenyum selebar itu pada semua orang termasuk pada dirinya. Namun hari ini, dia melihat betapa lebar senyum kakeknya itu pada Crystal yang notabene belum ada 24 jam tinggal satu atap dengan mereka.

"Tunggu." Ariel menahan pergerakan seorang pelayan wanita yang sedang membawa dua kantong belanja dari rumah mode asal Paris.

"Ya Nona."

Ariel menelan ludah. "Semua ini milik Crystal?"

Pelayan itu menganggukkan kepalanya dengan hati-hati. "Iya Nona, semua ini milik Nyonya Crystal dan didalam mobil juga masih ada cukup banyak."

"Masih ada lagi didalam mobil?!"

"I-iya Nona." Wajah pelayan itu langsung pucat.

Ariel langsung memalingkan wajahnya kearah mobil SUV berwarna putih yang sedang dikerubuti para pelayan, Ariel termangu melihat banyaknya kantong belanja yang baru saja diturunkan dari mobil itu. Meskipun sebenarnya apa yang dia dapatkan lebih banyak dari apa yang didapatkan Crystal saat ini namun tetap saja dia merasa iri melihat betapa banyak hadiah yang Crystal dapatkan saat ini, keegoisan dalam dirinya mengalahkan logikanya sebagai direktur pemasaran di perusahaan pengolahan minyak mentah milik keluarga West.

Karena sudah tidak tahan melihat kebersamaan sang kakek dan Crystal, Ariel lantas melangkahkan kakinya dengan cepat menuju tempat dimana Crystal dan Roman West berada. Namun, ketika nyaris sampai ditempat tujuan sebuah tangan besar secara tiba-tiba menyambar tubuhnya, menghentikan langkahnya.

"Daddy!!" Aries memekik keras saat melihat siapa orang yang sudah menghentikan langkahnya.

Austin yang sejak tadi sudah mengawasi pergerakan Ariel menajamkan tatapannya pada sang putri yang sedang menatapnya dengan penuh kemarahan. "Jangan cari masalah, kau tidak mau jika sampai kakekmu marah, bukan?"

"Yang ingin mencari masalah siapa?" Ariel mencoba mengelak. "Aku hanya ingin mendekatkan diri pada kakak iparku saja, apa itu tidak boleh?"

Austin terkekeh. "Kau adalah anakku Ariel, semua sifatmu menurun dariku dan aku tahu apa yang sedang ada dalam pikiranmu saat ini. Untuk sekarang lebih baik jangan ganggu kebahagiaan kakekmu yang sedang menikmati kebersamaannya dengan cucu menantunya, akan ada saatnya dia kembali memfokuskan kasih sayangnya padamu lagi. Jadi bersabarlah."

"Kakek tidak pernah peduli padaku," ucap Ariel lirih. "Semua pencapaian yang aku dapatkan sama sekali tidak pernah di anggap oleh kakek. Kakek hanya peduli pada Reagan dan sekarang pada perempuan itu."

"Kalau kau ingin mendapatkan perhatian kakekmu maka tunjukkan prestasimu, memenangkan tender dengan perusahaan asal Jerman minggu ini," sahut Austin pelan. "Dengan keberhasilanmu itu maka kakekmu pasti akan memusatkan perhatiannya padamu, Ariel."

Kedua mata Ariel terbuka lebar. "Tapi perusahaan asal Jerman itu sangat sulit untuk ditaklukkan Daddy, mereka benar-benar memasang harga yang tinggi untuk…"

"Karena itulah kau harus membuktikan kemampuanmu, Ariel. Hanya ini satu-satunya cara untuk membuat kakekmu memperhitungkan keberadaamu diperusahaan, kau tentu tidak mau terus menerus menjadi bayang-bayang Reagan saja, bukan?" Austin menyela perkataan Ariel dengan disertai tatapan penuh arti.

Ariel terdiam, otak cerdasnya langsung memproses perkataan sang ayah dengan cepat. Puluhan rekaman yang memutar banyak kejadian tidak menyenangkan ketika dirinya mendapatkan sikap tidak dingin dari sang kakek kembali berputar dalam otaknya seperti kamera roll film, perlahan rasa tidak nyaman yang menyesakkan dadanya memanjat naik kedadanya disertai rasa panas.

"Jika kau tidak mau kehilangan posisimu di keluarga ini dan di perusahaan maka lakukan apa yang Daddy katakan sebelumnya, jangan sia-siakan kesempatan emas ini Ariel. Jangan biarkan Reagan menjadi highlight terus menerus, sudah waktunya dirimu memancarkan sinarmu sendiri," imbuh Austin kembali, mencoba mempengaruhi putrinya agar mau melakukan rencana yang sudah dia buat sebelumnya dengan sangat baik itu. Austin ingin menggunakan putrinya untuk menghancurkan reputasi Reagan sedikit demi sedikit, Austin sudah jengah melihat tingkah putrinya yang selalu mengekor Reagan. "Tunjukkan pada semua orang jika kau bisa lebih hebat dari Reagan."

****

West Oily Corp, London 13.30 PM.

Reagan yang sedang fokus mengoreksi proposal buatan Jarvis untuk meeting dengan perusahaan asal Jerman untuk proyek barunya dibuat sangat kaget oleh kemunculan Claudia sekretaris Jarvis yang datang dengan tergopoh-gopoh, wajahnya yang terlihat begitu panik membuat Jarvis yang sedang duduk di sofa tepat didepan Reagan langsung menegurnya dengan keras.

"M-maaf mengganggu, t-tapi ini penting. Saat ini semua orang membicarakan anda, Tuan Reagan," ucap Claudia tergagap.

Reagan menegakkan tubuhnya. "Membicarakan aku? Ada apa denganku?"

"Nyalakan TV, semua rasa penasaran anda akan terjawab jika anda melihat televisi," jawab Claudia kembali.

"Kau berani memberikan perintah padaku." Reagan meninggikan suaranya dengan nada tersinggung yang begitu kental.

Claudia yang sudah sangat mengenal sifat atasanya itu menghela nafas panjang sebelum akhirnya meraih remote televisi dan langsung menekan tombol on sehingga membuat layar televisi yang gelap langsung memunculkan salah satu acara gosip paling terkenal di London.

"Fuck!!!"

Reagan memekik keras saat melihat wawancara yang dilakukan kakeknya pada salah satu paparazzi yang mengikutinya berbelanja siang ini, dalam wawancara itu dengan bangganya Roman West memperkenalkan sosok Crystal pada semua orang. Roman West bahkan mengatakan jika cucu menantunya itu adalah gadis terbaik yang pantas mendampingi Reagan.

"Kenapa kakek melakukan ini tanpa berdiskusi padaku terlebih dahulu," geram Reagan penuh emosi. "Kakek merusak privasiku."

Jarvis yang sudah bisa menduga hal ini akan terjadi perlahan meletakkan tablet pintarnya diatas tumpukan kertas diatas meja. "Sepertinya kau tidak memiliki pilihan lain lagi, Reagan."

"A-apa maksudnya?" Claudia kembali bicara dengan bingung. "Apakah yang dikatakan Tuan Roman West benar?"

Jarvis mengendikan bahunya. "Tanyalah secara langsung pada Reagan."

"Eh?"

"Yang dikatakan kakekku benar, gadis itu adalah istriku. Crystal Richard istriku."

Bersambung