Chereads / Cupid Love Mission / Chapter 4 - t i g a

Chapter 4 - t i g a

▪️Catatan Diary Ramora▪️

Aku mengerti. Aku sadar. Aku hanyalah jiwa kesepian yang tak pantas berharap sandaran bahkan genggaman tangan.

Namun, dengan merasakan arti kesepian, aku berharap tak ada yang merasakannya selain aku.

TTD

RAMORA

▪️▪️▪️▪️▪️▪️▪️▪️▪️▪️▪️▪️▪️▪️

9/04/2044, 6:55 a.m.

@CupiDiaries at Cupid Garden

Setelah Kaleo mengatakan kalimat yang mengarah untuk lebih dekat dengan Jenny, saat itu juga Ramora tersulut api semangat.

Namun, rasa sepi dan sunyi yang ia rasakan masih saja menggentayangi. Cupid Garden adalah taman yang cukup luas. Dengan hamparan rumput hijau dan terpotong rapi, bunga bermekaran, dan patung Cupid di tengah kolam air mancur yang menambah kesan indah di sana.

Siapa saja yang berada di Cupid Garden akan merasa nyaman, namun bagi Ramora yang seolah hidup sendirian di sana terasa sangat membosankan. Ya, selama berada di Cupid Garden, Ramora mengerti arti kesepian. Tak ada teman bercakap, tak ada bahu untuk bersandar, tak ada siapapun kecuali dirinya. Terkadang, Ramora sangat berharap ada sosok yang menemaninya saat ini. Tapi ... itu mustahil.

Meski hatinya terasa hampa, ia cukup gembira hari ini. Karena misi pertamanya akan segera dimulai. Setidaknya, ia bisa bercakap dengan target. Hanya dengan target perempuan. Karena penguasa kisah cinta adalah hati seorang perempuan.

"Misi pertama ... dimulai!" Dengan senyuman yang melebar, Ramora merapikan topi bundar hitamnya. Kemudian membuka briefcase yang tergeletak di bangku panjang.

Ramora mengambil sebuah cincin dan menatapnya lekat-lekat. Cincin itu mampu membuat dirinya terlihat, berbicara, dan menyentuh manusia/barang manusia. Sebelum misi pertama menuai sinyal untuk dapat dimulai, Ramora takkan bisa menyentuh ataupun memakai cincin itu. Sekarang, misinya telah menuai sinyal permulaian, "Akhirnya cincin ini bisa kusentuh. Setelah sekian lama aku selalu tersengat listrik setiap kali berusaha menyentuhnya."

"Tunggu."

Ramora yang berniat memakai cincin itu di jari manisnya mendadak terkubur dalam-dalam. Ia mendengar suara berat yang terkesan manly tepat di telinganya. Hampir seperti berbisik. Namun, terdengar jelas. Sontak ia pun memalingkan wajah dan menemukan sosok bermasker hitam menatapnya dengan mata elang tajamnya itu.

"Matanya indah. Siapa ... dia?" batin Ramora saat kedua matanya tenggelam di tatapan sosok bermasker hitam itu.

Tanpa sepengetahuan Ramora, sosok itu tersenyum tipis di balik masker. Kemudian menjauhkan wajahnya yang hanya berjarak satu jengkal dari wajah Ramora. Sosok itu mendudukkan diri di bangku dan menatap sekilas briefcase milik Ramora. Kemudian beralih lagi menatap Ramora yang masih menatapnya heran.

"Terima kasih. Mataku memang indah. Dan aku ini tampan. Tak perlu menatapku seperti itu," puji sosok itu pada dirinya sendiri. Ia menyilangkan tangan ke dada dan menyilangkan kedua kakinya. Duduk bersandar di bangku seolah tengah menebar pesona.

Ramora mengernyit heran, "Siapa kau? Dari mana kau datang? Dan ... kenapa kau bisa mendengar apa yang kupikirkan? Apa kau hantu? Tunggu, kenapa kau memakai masker? Apa wajahmu buruk rupa? Tidak, tidak. Kau pasti hantu mulut lebar, kan? Atau ... hantu gigi tonggos?"

Sosok bermasker itu terdengar menghela napas pelan, "Kau ini bertanya atau menghina?"

"Jawab saja pertanyaanku," balas Ramora sambil ikut menyilangkan tangan ke dada. Seolah dirinya detective yang sedang menginterogasi pelaku kejahatan.

"Baiklah. Tanyakan satu-persatu."

"Tidak, jelaskan saja tentang dirimu. Pertanyaanku terlalu banyak untuk kutanyakan satu-persatu padamu," tolak Ramora. Matanya tetap fokus lurus mengamati gerak-gerik sosok yang ia anggap mencurigakan itu.

Sosok bermasker itu bangkit dari bangku. Berdiri tepat di depan Ramora dan tiba-tiba ia membungkuk 45 derajat, "Perkenalkan, Nona. Aku adalah ilusi tanpa nama. Kau sendiri bisa memberiku nama," ucapnya saat membungkuk. Kemudian ia mengangkat wajahnya menatap Ramora. Kali ini Ramora mengetahui sosok itu tengah tersenyum di balik masker hitamnya, "Aku hanyalah ilusi. Aku datang karena keinginan terpendammu."

Sosok yang mengaku ilusi tanpa nama itu memperbaiki posisi berdirinya. Ia berdiri tegap dan menyilangkan tangan ke dada.

"Tanpa nama?"

"Ya, beri saja aku nama. Sesukamu. Aku ini ilusi. Aku memahami apa yang kau rasakan. Tugasku menemanimu menjalankan misi. Tapi tentang ingatanmu, apapun yang kau ingat selama misi berjalan, jangan katakan padaku secara lisan. Atau misimu akan gagal saat itu juga. Dan aku akan hilang. Dan kau ... akan kembali sendirian selamanya di sini."

Penjelasan itu membuat Ramora sedikit berpikir keras, "Aku ... tak mengerti apa yang kau maksud."

Lagi-lagi sosok bermasker hitam tanpa nama itu menghela napas pelan, "Sebelum kau sah menjadi Cupid, bukankah sudah ada peraturan yang harus kau pahami?"

"Tidak. Tidak ada kau di peraturan itu. Di peraturan itu hanya mengatakan bahwa aku tak boleh menceritakan tentang ingatan yang muncul ke siapapun."

"Lalu? Kau masih tak memahami itu?"

Ramora terdiam. Ya, sekarang ia paham. Siapapun yang dimaksud di peraturan itu termasuk si Tanpa Nama. Sejak awal, sebenarnya ia sudah diberi clue bahwa akan ada sosok lain yang menemaninya. Hanya saja, Ramora tak mampu memahami.

"Itu artinya, kau bisa membantuku menuntaskan misi ini?" tanya Ramora penuh harap.

Si Tanpa Nama menggeleng, "Tidak. Misimu adalah misimu. Tugasku hanya menemanimu. Jika aku membantumu, aku atau kau akan mendapatkan masalah."

"Bukankah kau ini ilusi? Kau bisa terkena hukuman juga? Lalu, hukuman apa yang akan kau terima dan siapa yang menghukummu?"

"Rahasia," jawab si Tanpa Nama sambil menaik-turunkan alisnya. Membuat Ramora kembali kesal.

"Menyebalkan," gumam Ramora. Tiba-tiba ia teringat sesuatu. Pertanyaan yang selama ini ia pendam, tiba-tiba kembali muncul ke permukaan, "Apa aku bisa menanyakan banyak hal padamu?"

"Tentu. Selama itu tidak membuatku terkena masalah. Ah, sebelum itu, bisakah kau memberiku sebuah nama?"

▪️▪️▪️▪️▪️▪️▪️▪️▪️▪️▪️▪️▪️▪️

▪️

▪️

▪️

Other Side - Kaleo - Jenny

9/04/2044, 10:24 a.m.

Jam penelitian mikrobiologi telah berakhir. Setelah melepas handscoon, masker, jas laboratorium, dan mencuci tangan, Jenny mengambil tasnya di rak dekat pintu keluar.

Namun, niatnya membuka pintu terhenti. Ketika matanya menangkap bayangan sosok lelaki berkemeja hitam dan berdiri membelakangi pintu laboratorium mikrobiologi.

"Kaleo?"

Di lain sisi, sudah lima belas menit berlalu ia menunggu. Beberapa kali ia melihat ke dalam dan melihat sosok yang ia tunggu tengah melepas jas laboratorium. Setelah itu, ia kembali berdiri membelakangi pintu dan menunggu sosok itu keluar dari laboratorium.

KRIETT

Suara pintu terbuka. Kaleo langsung berbalik dan menatap sosok yang ia tunggu. Dengan menampakkan sebuah lengkungan manis di bibir, Kaleo menyapa gadis berambut kecoklatan yang menatapnya penuh tanya.

"Hai, Jen."

"Menunggu siapa?" Akhirnya, pertanyaan yang sedari tadi mengendap di pikiran Jenny, terungkapkan juga, "Soalnya yang terakhir keluar laboratorium itu hanya aku," lanjutnya dalam hati.

"Memangnya ada siapa lagi di dalam laboratorium selain dirimu?"

Pertanyaan Kaleo membuatnya semakin gemetar. Hatinya berdegub tak karuan!

"Ha—hanya aku yang tersisa," jawab Jenny dengan sedikit malu.

Kaleo terkekeh pelan, "Kalau begitu untuk apa kau bertanya?"

"Kupikir kau menunggu orang lain dan kau tak tau kalau orang yang kau—"

"Tidak." Kaleo memotong ucapan Jenny, "Aku hanya ingin memastikan kau tidak lupa dengan janji kita," lanjutnya.

Jenny menahan senyum bahagianya, lalu menatap Kaleo yang berdiri tepat di depannya.

"Tentu. Aku pasti datang. Tunggu aku malam ini."

▪️▪️▪️▪️▪️▪️▪️▪️▪️▪️▪️▪️▪️▪️