Gadis beralmamater universitas swasta di Tokyo bernama Hyuuga Hinata duduk di kursi dekat pohon besar yang tak jauh dari stasiun kereta. Dia menatap sungai pada sore yang dingin. Ia menanti senja berlalu.
Tak jauh darinya, ada anak laki-laki berseragam persis seperti Hinata yang memasang wajah kesal.
"Kamu tidak mau pulang bersamaku, Hinata?"
Hinata menggeleng. Atensinya tak ia lepaskan dari sungai yang mengalir dalam jangkauan netranya.
"Tapi ini sudah begitu sore. Kalau paman Hiashi bertanya, aku jawab apa? Aku sudah sering berbohong," ucapnya lagi sambil memakai jaket biru gelapnya.
Hinata tertawa, "Maaf, tapi aku masih ingin di sini."
Laki-laki itu mendesah. Ia mengalah, "Baiklah. Pakailah jaketmu agar tidak kedinginan. Kamu tau ini desember yang dingin."
"Sasuke cerewet sekali," Sesaat kemudian membludaklah tawa Hinata.
"Ck!" Sasuke berdecak. "Jangan terlalu lama pulang!" ingat Sasuke lagi.
Hinata mengangguk. Tetangganya ini sungguh cerewet. Sepertinya ia ketularan temannyayang berambut pirang.
"Terima kasih, Sasuke. Hati-hati di jalan! Sampaikan salamku pada Naruto- kunya," Hinata berucap sambil melambaikan tangan untuk melepas kepergian Sasuke. Teman masa kecilnya yang memiliki kelainan orientasi. Kenyataan ini hanya Hinata seorang saja yang mengetahuinya.
" Hn." Sasuke membalas lambaian tangan Hinata.
Awan sudah menggelap dan Hinata masih betah pada posisinya. Duduk memandangi sungai, seakan sungai itu akan memunculkan harta karun.
Tempat itu tidak sunyi, tetapi tak bisa dibilang ramai juga.
"Kamu hanya sendirian?"
Hinata terlonjak. Suara dari belakang badannya itu terlalu mengejutkannya. Dan apa maksudnya dengan kau hanya sendirianitu? Pertanyaan yang kerap menghiasi doramadi layar kaca ketika akan dimulainya adegan kriminal. Kalau hanya sekadar basa-basi, mengapa terdengar sangat basi? Sudah tahu sendirian, masih ditanya pula.
"Apa aku mengejutkan Anda?"
Dari sapaan sopan yang ia tuturkan tadi ia terlihat seperti orang baik.
Hinata masih bergeming. Si pemuda ikut mendudukkan diri di sisi kanan Hinata.
"Apa Anda tidak takut sendirian di sini? Ini juga musim dingin, bukankah sebaiknya berada di rumah?"
Nah 'kan, dia tahu kalau Hinata memang sendirian? Sudah pas kata basi sekali untuk pertanyaannya tadi.
"Apa yang kutakutkan? Sendirian artinya hanya ada aku, tak ada yang lain. Jadi, sekali lagi, apa yang harus kutakutkan?" Yaa, kali ini Hinata menjawab walau ujung-ujungnya pun bernada tanya.
"Takut kedinginan misalnya?"
"Tak akan. Aku lahir di musim ini, musim dingin. Dan kedinginan bukan sesuatu yang harus ditakuti."
Pria bermata seperti es itu menatap Hinata yang tak pernah lepas memandangi sungai yang ada di depannya.
"Wah, jadi maksudmu ... kau bisa menaklukan kedinginan karena kau lahir di musim ini? Luar biasa!" Kesopanan laki-laki itu turun setingkat, bagai air yang didihkan, menguap begitu saja. Kata Anda telah digantinya dengan kau.
"Bukan begitu sebenarnya maksudku." Hinata beralih memandang sosok yang ada di sebelahnya.
"Lalu?"
"Entahlah, aku tak dapat menjelaskannya dengan baik. Yang jelas ini bukan kesombongan yang Anda asumsikan barusan."
Laki-laki itu menganguk. Benar, ia memang berpikiran Hinata menyombongkan diri dengan kata-katanya tadi.
"Kamu benar-benar tidak takut mati karena kedinginan ya? Kamu penakluk musim dingin?"
Hinata tahu itu gurauan, maka itu tertawa kecil. Bukan karena gurauan laki-laki ini yang terdengar lucu di telinganya. Sama sekali bukan karena itu, dia bahkan tak menemukan letak kelucuannya. Tawa itu hanya bentuk kesopanan saja.
"Pakailah jaketmu, atau kamu benar-benar akan mati!" Pria tampan itu menunjuk jaket bulu yang anggun berwarna ungu muda di samping Hinata.
"Kalau hidup saja memang bertujuan untuk mati, kenapa harus khawatir dengan kematian?"
Laki-laki itu tertegun. Ia pandangi Hinata lamat-lamat. Terpesona? Mungkin saja begitu. Hinata itu memesona, bukan hal yang mustahil jika pemuda bermarga Ootsutsuki ini terpesona.
"Mengapa aku merasa setiap kata yang kamu ucapkan adalah benar?"
Hinata bersemu. Wajahnya yang putih cerah membuat rona itu terlihat jelas. "Itu berlebihan sekali," katanya.
"Tidak sama sekali." Pria itu beranjak dari duduknya. Secara spontan Hinata ikut berdiri. "Aku tidak tahu siapa namamu, tapi bagiku kamu adalah Shitakaalin Mahila."
" Shitakaalin Mahila?"
Dia mengangguk. "Aku Ootsutsuki Toneri. Jika takdir berkenan mempertemukan kita kembali, aku akan sangat senang. Aku pergi dulu,"
Setelah itu, pemuda pemilik nama lengkap Ootsutsuki Toneri tadi langsung meninggalkan tempat tersebut.
Senyuman Hinata mengembang.