Rembulan hanya bisa terdiam, lalu menundukkan pandangan matanya. Tak akan sanggup kalau harus terus berhadapan dengan Raditya. Laki-laki ini membuatnya tak tenang.
***
Raditya mengusap perutnya, "Masakanmu enak. Kapan lagi ada undangan makan untukku?"
"Heh..." Rembulan mengerutkan dahinya, raut wajahnya tampak bingung. Terkadang dia tidak mengerti yang dikatakan Raditya, atau memang otaknya mendadak tidak berfungsi dengan baik kalau di dekat laki-laki ini? Padahal kata teman-temannya dia termasuk perempuan cerdas.
Dia tahu Raditya sering menggodanya, namun ada kalanya otaknya mampet saat ingin membalas. Kadang baru terpikir setelah Raditya tidak terlihat lagi di depan matanya. Biasanya dia akan tertawa, menertawakan kebodohannya sendiri.
"Aku menunggu undangan makan darimu?" Laki-laki itu mengulangi perkataannya.
"Oh itu, asalkan kamu mau menemaniku belanja dan mau mencuci piring, aku akan mengundangmu untuk makan. Atau kita perlu membuat perjanjian tertulis?" Rembulan tersenyum lebar. Akhirnya otaknya yang tadi mendadak mampet bisa diajak bekerjasama lagi.
"Itu persoalan mudah." Raditya menjentikkan jarinya.
"Apa sih yang nggak aku lakukan buat kamu?" katanya mulai menggoda. Rembulan terbahak, menurut Rembulan itu sangat garing tapi ekspresi Raditya saat mengatakannya terlihat lucu. Raditya langsung berdiri, membereskan semuanya lalu mulai mencuci piring. Saat Rembulan akan membantu, Raditya menahannya.
"Duduklah disitu Tuan Putri, kali ini bagianku yang akan mengerjakannya. Ceritalah tentang apa saja untuk menemaniku mencuci piring."
"Aku tak pandai bercerita."
"Kamu bisa menceritakan tentang novelmu atau novel lain yang menurutmu menarik."
"Novelku? Ya begitulah...aku nggak terlalu tertarik menceritakannya, aku lebih suka membacanya berkali-kali sampai bosan."
"Kenapa begitu?"
"Karena saat seorang penulis menempatkan posisinya menjadi seorang pembaca. Dia akan mulai mengkritisi novel tersebut. Apakah layak untuk diteruskan? Apakah menarik? Mulai merasakan ada yang kurang atau sudah terasa pas. Begitulah. Aku berharap kamu mengerti maksudku."
"Ya, sama seperti aku."
"Maksudnya?" Rembulan berjalan mendekat, dia duduk dibelakang Raditya. Dia suka memandangi punggung laki-laki ini. Terlihat kokoh.
"Aku juga sering menonton filmku, terkadang untuk menilai diri sendiri. Seperti yang kamu katakan. Mungkin memang seperti itu dalam melihat suatu karya yang kita hasilkan."
Raditya berbalik, dia mengelap tangannya yang basah. Matanya memandang lekat ke arah Rembulan. Dia menundukkan punggungnya dan menatap langsung mata Rembulan, jarak mereka hanya sejengkal. Rembulan terkunci pada tatapan itu, jantungnya nyaris berhenti berdetak.
"Kamu sudah menonton filmku?" tanyanya.
"Belum, tapi aku berjanji akan menontonnya."
Saat laki-laki itu menegakkan tubuhnya, barulah Rembulan bisa bernapas lega.
"Terima kasih buat hari ini, buat masakanmu yang enak dan buat tuan rumah yang baik hati."
Rembulan mengangguk senang saat Raditya mengucapkannya di depan pintu rumah. Lalu laki-laki itu berjalan pergi. Rembulan meliriknya sekilas saat Raditya sudah berada di halaman rumahnya.
***
Raditya mengembuskan napas, tadi dia nyaris mencium perempuan itu. Dia berusaha menahan diri dan itu sungguh tak mudah.
Saat dia sedikit membungkuk dan menghadapkan wajahnya pada wajah perempuan itu, Raditya merasakan jantungnya berdetak begitu cepat. Dia baru merasakan sensasi seperti ini. Raditya bersyukur dia masih mengerti posisinya hanya sebagai tetangga dan teman untuk Rembulan. Lagi pula Rembulan bukanlah perempuan yang bisa diperlakukan dengan sembarangan. Raditya tidak ingin hasratnya merusak pertemanannya dengan Rembulan. Dia tidak ingin Rembulan menjauh darinya.
Tiba-tiba suara ponselnya berbunyi, di layar ponselnya tertera nama Venita.
"Dit, jangan lupa nanti malam ya?" Suara Venita terdengar bersemangat.
"Iya, aku nggak lupa." Raditya menyahut dengan malas. Terus terang dia nyaris lupa dengan janjinya.
***
"Lan, jangan lupa nanti malam !" Sarah menelpon mengingatkan Rembulan. Kemarin sepulang dari rumah Rembulan dia baru ingat kalau ada undangan ulang tahun dari teman kuliahnya dulu. Sebenarnya bukan teman dekat, hanya teman biasa. Tapi sepertinya dia ingin mengundang teman-teman yang tersisa di Jakarta. Katanya selain acara ulang tahun, temannya itu juga akan sekalian bertunangan di pesta ulang tahunnya.
Sarah mengajak Rembulan, biar bagaimanapun datang ke pesta berdua dengan seorang teman atau pasangan akan lebih menyenangkan daripada datang sendiri. Saat di tempat pesta bingung apa yang akan dibicarakan dengan orang lain karena terlalu sulit menemukan topik yang menarik, masih ada teman atau pasangan yang diajak bicara. Jadi tidak akan merasa sendiri.
Awalnya sangat sulit mengajak Rembulan. Dia menolak ajakan Sarah. Seperti biasa dia lebih suka berada dalam cangkangnya. Rembulan menolak dengan berbagai alasan. Tapi bukan Sarah namanya kalau tidak bisa merayu dan meyakinkan Rembulan, kalau perlu pakai jurus merajuk. Rembulan itu nggak tegaan. Sarah sangat tahu bagian yang satu itu dan sering dijadikan senjata oleh Sarah. Biasanya berhasil.
Sarah mendengar Rembulan menjawab, "Ya, aku nggak bakalan lupa." Setelah itu Sarah mendengar Rembulan menghela napas. Sarah tertawa cekikikan. Dia membayangkan wajah Rembulan pasti terlihat lucu karena dipaksa melakukan sesuatu yang tidak dia suka.
Bagaimana Rembulan bisa dapat pasangan kalau dia lebih suka berdiam di rumah dan pacaran dengan novel-novelnya?
Sarah pernah mengatakan hal itu pada Rembulan, dan Rembulan hanya tertawa, "Apakah dengan mendapatkan pasangan, kamu yakin hidup akan lebih bahagia?"
"Bukan aku menolak kalau suatu saat aku jatuh cinta pada seseorang, namun kebahagiaan tidak selalu harus karena kita punya pasangan, menikah, punya anak, yang seperti itulah. Begitu banyak pasangan yang akhirnya lebih bahagia setelah berpisah. Menurutku kita yang harus menciptakan kebahagiaan kita sendiri, dan jangan bergantung pada orang lain. Saat ini aku bahagia seperti ini. Entah suatu saat, mungkin aku mengubah nilai kebahagiaanku." Rembulan malah menceramahi Sarah soal kebahagiaan.
***
Rembulan sedang menunggu taksi di ruang tamu saat melihat Raditya lewat di depan rumahnya naik mobil berwarna hitam dengan seorang perempuan. Kaca mobilnya terbuka, makanya Rembulan bisa melihat dengan jelas wajah Raditya dan perempuan yang sedang saling tersenyum. Sepertinya dia pernah melihat perempuan itu. Oh, di tempat syuting. Saat itu Raditya memeluk perempuan itu. Rembulan ingat, begitu melihat adegan itu dia berbalik pergi. Ketika melihat Raditya tersenyum seindah itu, Rembulan merasa tak rela. Tapi siapakah dirinya yang berhak mengatur Raditya?
Rembulan merapikan gaun yang dia pakai, melihat lagi riasannya. Kalau bukan karena Sarah yang merayu, membujuk sampai mengancam dia tidak akan pergi menghadiri acara pesta teman Sarah. Dia lebih suka berada di rumah berteman dengan buku-buku dan laptopnya.
Gaun yang dia pakai sangat indah, berwarna sedikit keemasan, melekat pas di tubuhnya dan bergerak seperti angin saat dia berjalan, seperti mengikuti gerak tubuhnya. Ini salah satu gaun kesayangannya yang jarang sekali dia pakai. Entah mengapa malam ini dia ingin memakainya, karena Sarah sudah memperingatkan agar dia meninggalkan gaun lamanya dan juga harus tampil hits. Dia nggak mengerti yang dimaksud hits oleh Sarah. Dia hanya mengira-ngira, mungkin seperti ini penampilan yang hits itu.