Baru saja keluarga Tamawijaya menginjakkan kakinya di rumah baru. Rumah daerah Jakarta. Perumahan, kompleks dan tetangga.
"Mam, aku langsung ke sekolah ya?" ucap anak perempuan berumur 13 tahun itu
"Kamu yakin ga mau di temenin?" ucap wanita yang di sebut 'Mam' tadi
"Gapapa, aku biasa sendiri," sahut anak gadis itu. Dia langsung menghilangkan diri, masuk ke dalam mobil yang di kendarai oleh supir pribadi keluarga.
Wanita paruh baya itu hanya tersenyum miris. Bahkan dirinya tidak bisa mengantar anaknya. Selalu saja begitu setiap pindah tempat tinggal.
"Mam, aku masuk," itu anak lelakinya
"Hey tunggu," tahan mamanya itu "kita berkeliling menyalami tetangga ya?"
"Mam aku capek. Bosen sama perlakuan seperti itu setiap kali kita pindah," sahut anak lelaki itu
"Refan, sekali ini lagi saja. Kita ga akan pindah-pindah lagi kok," sahut mamanya
"Itu yang mamah bilang sebelum kita pindah ke sini," jawab sinis anaknya
"Mamah janji," ucap mamanya dengan senyuman pertanda janjinya kali ini tidak akan di ingkari.
Lelaki jangkung itu menghela nafas, "Oke."
Dan mamanya tersenyum semangat. Tetangga di komplek ini banyak. Sangat banyak. Bahkan setelah beberapa rumah dan mencoba tersenyum Refan masih saja tidak menemukan yang menarik perhatiannya. Dan ini yang terakhir.
Rumah yang hampir sama dengan rumah yang lainnya. Hanya saja di depan rumahnya tidak ada satpam seperti rumah-rumah sebelumnya. Rumah ini sepi. Seperti tidak berpenghuni. Rumahnya bisa di bilang asri, terdapat beberapa tanaman di depan rumah dan rumut yang tumbuh hijau terawat. Mungkin pemilik rumah ini senang merawat taman depan rumahnya. Setelah mamanya menekan bel berulang kali lelaki itu berbalik menghadap taman di depan rumah ini. Mengagumi sejenak.
"Mam, mungkin gaada orang. Aku capek," ucap lelaki tampan itu.
"Sebentar lagi ya, mungkin orangnya di lantai dua," mamanya itu tidak menyerah sama sekali. Ini adalah rumah terakhir yang dikunjunginya. Dan mamanya itu tidak mau melewatkan perkenalan dengan para tetangganya
Lelaki itu hanya menghela nafas panjang. Dia bahkan sangat tidak yakin pemilik rumah ini akan menarik perhatiannya.
"Ya?"
Lelaki itu tidak membalikkan badannya. Dia masih saja terdiam dengan posisinya. Tidak penasaran sama sekali dengan suara di belakangnya. Bahkan dia tidak mau mendengar apa yang di bicarakan mamanya. Refan sudah hafal logat dan kata-kata mamanya pada setiap rumah. Karena, mamanya selalu mengucapkan kalimat yang sama pada orang di depannya. Seperti sekarang.
"Refan Tamawijaya."
Hanya itu yang Refan dengar. Lalu lelaki itu membalikkan tubuhnya. Berusaha sedatar mungkin. Dia tidak akan tertarik dengan pandangan di depannya. Oh ayolah hanya ada gadis seumuran dengannya dengan muka bantal. Dan, apa? Muka bantal? Dia baru bangun? Jam setengah sembilan? Pemalas. Refan sangat tidak suka orang malas. Apalagi untuk seorang gadis. Oh ayolah, dia tidak bersekolah hari ini? Bukannya hari ini hari Rabu dan jadwal bersekolah? Bukankah itu membuktikan dia adalah seorang yang sangat malas.
"Re-"
Ucapan itu lagi yang di dengar Refan. Sedari tadi ia memperhatikan gadis itu. Bahkan gadis itu hanya meliriknya saat bertepatan dia membalikkan badan. Dan setelah itu? Dia berpaling. Bahkan Refan tau, gadis itu menatap mamanya malas. Dan siapa ini? Menjulurkan tangan padanya.
"Getra," ucapnya
"Refan."
Sudah. Cukup. Tidak ada pembicaraan lebih lanjut saat mamanya memutuskan pergi dengan ucapan manis.
"Eh, saya mau pamit saja. Masih ada tetangga yang akan kami kunjungi,"
Lalu kami beranjak dari sana. Refan masih penasaran. Dia tinggal berdua dengan siapa? Abangnya? Ah entahlah. Itu bukan urusan Refan.
"Mam, kita tidak benar-benar mengunjungi rumah yang lain 'kan?" sahut Refan saat mereka keluar dari gerbang rumah itu
Mamanya menggeleng, "kita istirahat dirumah baru."
Sampai di rumah barunya, Refan sudah bosan melihat semuanya sudah tertata dengan rapi. Bahkan kamarnya juga sudah tertata rapi. Sesuai keinginannya. Kamarnya tidak pernah berubah dari awal dia punya kamar. Tetap seperti itu. Lemari, tempat tidur, nakas, meja belajar bahkan kamar mandinya sama seperti rumah sebelumnya. Yang berbeda hanya kamarnya kali ini bersebelahan langsung dengan kamar tetangganya itu.
Kamarnya memiliki balkon depan dan samping. Balkon depan menghadap langsung ke belakang rumahnya. Terdapat kolam renang di bawahnya. Sama seperti rumah tetangga sebelah. Dia baru sadar kalau kompleks perumahan ini, tata ruangan dan tata letaknya di bangun sama persis pada setiap rumah yang ada di sini. Bahkan balkon kecil samping itu hanya berjarak satu setengah meter dengan balkon samping tetangganya itu. Lebih tepatnya, rumah terakhir yang tadi ia kunjungi. Dia membuka jendela balkon samping itu. Dia menatap balkon di sebrangnya, terbuka. Terlihat kamar di dalamnya. Sama saja. Hanya bedanya kamar di sebrangnya itu tidak serapi dan tertata seperti kamar milik Refan. Lalu matanya berhenti menatap apa yang tergantung di pintu balkon di sebrangnya.
Gantungan dengan ukuran yang lumayan panjang seperti kalung. Berwarna silver dengan bandul berbentuk kaca pembesar. Harusnya dia tidak berpikiran yang tidak-tidak tentang kalung itu jika dia tidak menemukan bukti lain. Beberapa komputer di dalam sana yang langsung menghadap ke balkon tanpa tertutupi apapun. Refan tidak ingin berpikiran apapun pada rumah di sebrang sana, tapi pikirannya terus berpikir kesana setelah melihat satu komputer itu di penuhi gambar dari berbagai sudut di rumahnya. CCTV? Ya itu CCTV.
Yang mengganggu pikirannya adalah satu. Gambar yang ia tau adalah mayat perempuan tergeletak dengan darah yang bercucuran, terpampang jelas di komputer yang lain di sebelah gambar yang menunjukkan CCTV itu.
"Ada apa dengan penghuni rumah itu?"