Betapa malasnya bangun pagi-pagi dan berangkat ke sekolah. Bukan. Dia bukan pemalas. Gadis itu hanya kurang istirahat. Malam tadi ada yang harus ia selesaikan di sebuah tempat bersama abangnya. Dan itu selesai sekitar jam empat subuh tadi. Bahkan dirinya tidak bisa tertidur hanya dua jam. Dia terus teringat akan kasus semalam.
*Flashback semalam.
"Kebakaran ini tidak seharusnya terjadi jika orang itu tidak membuang puntung rokok ke sana," teriak seseorang, Fadlan.
"Pertanyaannya adalah kenapa minyak itu ada di sana? Sedangkan kompor tempat memasak berada jauh di dalam dapur dan yang terpenting adalah hotel ini tidak menggunakan minyak tanah di dapur!" tanya polisi yang sedari tadi mengintrogasi orang-orang di depannya
Ya. Terjadi kebakaran di hotel yang terkenal di daerah Jakarta. Dan kebakaran ini mengakibatkan korban jiwa. Chef yang sudah melambung dan terkenal namanya karena saluran TV yang menayangkan dirinya, keahlian memasak dan cipta rasa yang ia sajikan membuatnya menjadi chef favorit di hotel ini. Dan sekarang menjadi korban jiwa dalam kebakaran ini.
Tapi ada kesengajaan disini. Tidak setiap hari chef yang bernama Hiroto berasal dari Jepang ini memasuki dapur hotel. Seperti kebakaran ini sudah terencana. Bagaimana tidak? Hanya ada chef Hiroto di dalam dan satu-satunya yang menjadi korban jiwa.
"Chef Hiro sudah terbiasa memasak di dapur tanpa di temani seorangpun. Katanya agar dia bisa berkonsentrasi dan menciptakan masakan dengan sempurna."
Hena. Si ahli dessert. Salah satu pegawai di dapur hotel.
"Aku tidak sengaja melihat Edo yang menumpahkan minyak tanah di dapur sebelum chef Hiro masuk."
Fadlan. Pramusaji dan merangkap sebagai office boy hotel.
"Aku menumpahkan minyak tanah tanpa sengaja setelah mengetahui chef Hiro yang langsung masuk ke dapur tanpa berkata apapun."
Edo. Chef kedua setelah chef Hiro di hotel.
"Apa yang akan kau lakukan dengan minyak itu Ed?" sahut Getra tanpa ada embel-embel 'chef' dan sejenisnya.
"Aku tidak tau minyak itu berasal dari mana, tiba-tiba saja ada di sana. Aku akan membawanya keluar dari dapur karena menghalangi jalanku untuk memasak, aku terburu-buru karena chef Hiro masuk dengan tergesa-gesa, aku menumpahkannya dan mengelapnya."
Entahlah. Tapi kasus ini sudah tertebak oleh gadis di samping Getra. Siapa lagi jika bukan Qirea.
Gadis itu tersenyum miring, "Lalu kemana kau membawa minyak tanah yang tertumpah itu Mas Edo?"
Anggukan polisi dan abangnya membuat Edo mau tak mau harus menjawab.
"Dengan cepat aku membersihkan dan mengelap bagian yang terkena minyak itu. Lalu aku menyimpan lapnya di samping pintu belakang. Karena aku kira tidak akan terburu jika aku membuangnya kebelakang," sahut Edo
Qirea yang di kenal dengan nama 'Q' mengangguk.
"Setelahnya, apa yang kau lakukan?" tanya Getra
"Aku keluar dengan cepat lalu menunggu di meja bertender di depan dapur," jawab Edo lagi
"Maaf, Pak," sahut Q, "kenapa bapak masih merokok? Bukankah ada plang dilarang merokok saat memasuki kawasan dapur?" tanya Q.
"Aku tidak bisa lepas dari rokok," ucapnya cepat
Dony, pengunjung hotel.
"Aku masuk ke dapur dan berniat untuk memesan makanan dan meminta agar di bawakan ke kamar. Aku tidak tau jika ada minyak ada di depan pintu masuk dapur. Karena tidak ada tempat sampah di dapur untuk mematikan rokok jadi aku membuangnya di samping pintu dapur."
Gocha.
Getra melirik ke arah Q.Lalu Q mengangguk.
Dia menemukan siapa terdakwa pertama. Tinggal mencari siapa yang sengaja meletakkan lap penuh minyak itu di sana.
Q memperhatikan setiap wajah orang di depannya. Tidak mudah memang. Dia bukan ahli dalam bidang psikologis yang dengan mudah menangkap wajah tegang untuk di jadikan tersangka. Q. Memperhatikan setiap sudut yang ia curigai. Semua orang di depannya memakai seragam masing-masing. Lalu ia beralih pada baju panjang sampai ke pergelangan tangannya. Tiap orang memakai baju berlengan panjang. Pandangannya berhenti pada lengan panjang yang di pakai oleh chef Edo. Noda khas minyak tanah yang bahkan belum hilang. Lalu pandangannya beralih lagi pada orang sebelahnya. Fadlan. Menggunakan kemeja hitam yang biasa ia gunakan sebagai office boy di hotel ini.
"Maaf," ucap Q.
Sontak membuat semua orang melihat ke arahnya.
"Apa seorang office boy di hotel memakai baju seperti anda?" tanya Q pada Fadlan
Terkaget, Fadlan membenarkan posisi duduknya dan berdeham, "ya. Aturan yang membuat saya harus berpakaian seperti ini," sahutnya kemudian
Q mengangguk, "Jika kau sebagai pramusaji, apakah pakaian ini juga yang kau pakai?"
"Tidak."
Bukan Fadlan yang menjawabnya. Hena. Satu-satunya perempuan yang ada di lokasi kejadian.
"Dia memakai seragam pramusajinya tentu saja," sahut Hena lagi.
Q mengangguk lalu menatap Getra. Getra tau apa yang harus dilakukannya sekarang.
"Pak, bolehkah saya pinjam anggota yang lain untuk memeriksa sesuatu?" tanya Getra pada orang di sebelahnya. Kepala polisi.
"Tentu saja," jawab kepala polisi yang selalu bersama Getra juga Q jika terjadi sebuah kasus.
"Baiklah," kemudian Getra beranjak dan menghilang di balik pintu bersama dengan rekan polisinya.
Q tersenyum miring.
"Aku sudah tau siapa pembunuhnya. Tinggal menemukan siapa yang membantunya."
Orang disana terkejut tentu saja.
"Ah jika aku boleh bertanya satu hal lagi, apa di perbolehkan Pak?" tanya Q pada Kepala Polisi
"Tentu, kenapa tidak?"
Lalu Q berdeham kecil.
"Hena," sahut Q tanpa menggunakan embel-embel 'mbak' dan semacamnya. "Apa kau punya pekerjaan lain selain pembuat dessert?"
Hena terkaget, "A-apa urusannya dengan kasus ini?"
Q merebahkan badannya pada sandaran kursi di belakangnya, "Tidak ada. Hanya ingin tau saja," sahut Q tersenyum kecil
Inilah yang di benci orang-orang. Q. Selalu di buru pembunuh bayaran. Dan itu membuat Q hampir kehilangan nyawanya beberapa kali. Q. Selalu memecahkan kasus yang tidak terduga. Dia hanya anak Sekolah Menengah Atas. Berumur 16 dan memiliki wajah cantik. Pandai bersembunyi dan berprestasi dalam berbagai bidang. Itu sangat sempurna untuk anak se-usia dia.
"Aku menemukannya, Q," sahut Getra di pintu masuk restoran.
Getra membawa baju di tangannya.
"Ah kau hebat, Q. Aku menemukan berbagai bukti disini," sahut Getra lagi
"Ini. Baju milik Fadlan Pak," Getra membeberkan baju itu.
Baju milik Fadlan dengan nametag yang masih menempel di bagian dada kirinya. Baju itu dipakai saat Fadlan menjadi seorang pramusaji. Tangan panjang seperti yang sudah di perkirakan A. Lalu Getra menyerahkannya pada Q.
Q hanya menerima lalu memeriksanya dengan berbagai sentuhan lalu memperhatikan bajunya sekilas. Tersenyum tipis. Dan selesai. Q selesai memeriksa.
"Ini baju milik Hena," sahut Getra "aku kira ini baju untuk seorang chef, Pak," ungkap Getra lagi
Q mengangguk.
"Ten- tentu saja aku memiliki baju chef. Aku seorang chef walaupun aku hanya menyajikan dessert," sahut Hena tanpa di sangka Q
Q tersenyum kemenangan. Dia tau siapa pelaku utamanya.
"Hena. Kenapa kau ingin sekali chef Hiroto meninggalkan dunia para chef?" tanya Q.
"Apa maksudmu, Q?" tanya kepala polisi
A mengangkat bahunya, "seorang yang bekerja di dapur memang diharuskan memiliki baju seperti itu. Tapi tidak dengan baju chef kelas atas," sahutnya kemudian.
"Ke- kelas atas?" tanya Edo
"Bahkan kau tidak memilikinya kan, Mas Edo?" tanya Q.
Edo mengangguk.
"Baju yang di pegang Getra adalah baju chef atau koki kelas atas. Memiliki kerah yang lebih lebar dari pada baju koki biasanya," ucap Q "coba saja bapak bedakan dengan kerah milik Mas Edo," perintah Q pada kepala polisi
Kemudian kepala polisi mengangguk setelah membandingkannya dengan baju koki milik Edo.
"A- aku memiliki keahlian yang sama dengan chef Hiro," ucap Hena "tapi tidak ada yang mengakuinya, jadi aku bekerja di restoran terkenal dan mendapatkan baju itu. Biasanya aku bekerja setelah aku selesai dengan urusan di hotel dan berganti shift dengan koki yang lain," Hena menundukkan kepalanya lalu tersenyum sinis "tidak ada bukti yang menjadikan aku tersangka utama disini, Q."
Q terkekeh, "lagi pula siapa yang menjadikanmu tersangka utama, Hena?"
Kaget. Hena terjebak. Dia bahkan tidak bisa berkata apa-apa. Dia hanya tertunduk lemas.
"Pelaku utamanya adalah Dony yang menyebabkan kebakaran itu."
"Apa?!"