"Sayang.. kalo ngomong sama ibu, biasa aja ya, nomong aja langsung, gak perlu pakai bahasa formal." Sambungku lagi sambil mengusap pipinya. Pram tersenyum malu.
"Udah.. itu aja yang nggemesin?" tanyaku lagi.
"Hehehe.. ibu juga pinter isepin punya saya. Apalagi tadi itu.. rasanya enak.. gila banget."
"Udah..? Itu aja?"
"Ada lagi sih.. bagian bawah ibu nggemesin.. enak banget dimasukin.. rasanya sempit."
"Itu karena anu kamu gede, sayang.. makanya rasanya memek ibu jadi sempit. Tau gak? Anu kamu lebih gede lho daripada anu suami ibu.. lebih panjang juga."
"Ibu kalo ngomong jorok gitu kok jadi makin seksi ya?? Makin bikin geregetan." Gumannya sambil meremas kedua belah bongkahan bongkahan belakangku.
"Kamu suka ya??" Pram hanya tersenyum sambil menganggukan kepala. Ia lantas melumat bibirku dengan lembut.
Sikap Pram yang terbuka dan sangat menghargai, membuatku semakin nyaman dan berani berterus terang. Aku bahkan berani mengucapkan kata-kata kotor, kata-kata yang vulgar dengan bebas. Aku belum pernah melakukan hal seperti ini seumur hidupku. Bahkan terhadap suamiku.
Pelukan hangat, usapan penuh rasa sayang yang ia berikan pasca percintaan panas kami sangat berarti untukku, sangat bermakna. Setidaknya hal itu menunjukkan bahwa aku bukan sekedar pemuas nafsu belaka, bukan sekedar perempuan sepintas lalu baginya. Begitu juga dengan sikapnya yang manja, membaringkan tubuhnya diatasku, menempelkan kepala digunung kembarku. Aku sangat menyukainya, apalagi ia terlihat nyaman dan senang dengan hal itu. Dan, bukankan dada seorang wanita adalah salah tempat paling nyaman untuk bermanja-manja? Pram mengetahui hal itu, dan mendapatkannya dariku.
Sudah menjadi kodratku sebagai wanita untuk memberi rasa nyaman dan damai, memberi ketenangan bagi mereka yang berarti dalam hidupku, bagi mereka yang aku sayangi. Dan Pram adalah salah satunya, selain Nova putriku.
Hampir setengah jam aku bermanja diatas tubuh Pram, menikmati belaiannya, menikmati kecupan-kecupannya dikepalaku. Aku lantas beralih, tidur disampingnya. Lengannya kugunakan untuk menyangga kepalaku, satu kakiku kuletakkan diatas pinggulnya, menutupi pentungan Pram yang telah mengecil sejak tadi.
Suara deru mesin motor yang memasuki halaman depan rumah membuyarkan istirahatku. Nampaknya penghuni kostku mulai berdatangan, pulang dari rutinitasnya.
"Pram, lampu rumah belum dinyalain. Pintu samping juga masih terbuka." Gumanku.
"Iya bu, ibu istirahat dulu disini. Biar saya yang nyalain." Pram lantas meninggalkanku, dan menuju ke rumahku, setelah sebelumnya mengenakan pakaian sebelum keluar kamar.
Setelah beberapa saat, Pram kembali.
"Ibu istirahat disini sebentar ya Pram."
Pram hanya mengangguk, lantas mengecup kepalaku. Diselimutinya tubuh telanjangku, dan hanya dalam beberapa menit kemudian, aku tertidur pulas karena tubuhku terasa sangat lelah.
Hampir dua jam kemudian aku terbangun. Pram masih tertidur pulas disampingku.
"Pram… Pram.. bangun sayang." Bisikku lembut sambil mengusap pipinya.
Pram membuka matanya perlahan.
"Ibu mau mandi. Tapi ibu kan gak bawa pakaian kesini. Ibu gak berani keluar kalo telanjang begini."
Pram hanya tersenyum melihat kebingunganku. Ia lantas menyingkirkan selimut yang menutupi tubuhku, kemudian memeluk tubuh telanjangku.
"Ibu mandi disini aja, nanti saya ambilin pakaian ibu."
"Mandinya sama kamu?" tanyaku manja.
"Kalo ibu mau ya gak apa-apa, kita mandi bareng. Kalo perlu saya yang mandiin ibu."
"Hhuuuuuuu…. Maunya…" jawabku dengan suara pelan sambil mencubit pipinya.
"Ya udah, kita mandi yuk." Sambungku.
Tidak ada kejadian yang berarti selama kami mandi. Seperti janjinya, Pram benar-benar memadikanku. Menyiramkan air ke sekujur tubuhku, lalu menyabuniku. Ia melakukannya tanpa sedikitpun menggodaku.
"Duuhhhh.. udah keras aja sih ini..?" gumanku ketika memegang kemaluan Pram yang kembali mengeras.
"Berarti normal dong bu.. soalnya liat ibu telanjang gini.."
"Mau lagi??" tanyaku sambil memainkan pelan pentungannya.
Pram menggeleng.
Pram menjambak rambut orang tersebut lalu menghantamkan wajahnya ke meja. Seluruh pengunjung warung kaget mendengar suara keras benturan tersebut.
Seorang yang lain hendak berdiri dan memukul Pram, namun Topan dan kedua temannya segera berdiri disamping Pram.
"Lo diem..Duduk lo!!" bentak Topan pada orang yang hendak memukul Pram, yang berkepala botak.
Rita menghampiriku lalu memelukku.
Sekilas kulihat darah menetes dari hidung orang yang wajahnya dihantamkan ke meja oleh Pram.
"kamu udah kuliah, udah dewasa, tapi gak tau cara menghormati perempuan" kata Pram.
'Bbbrrraaaakkkk'
Sekali lagi Pram menghantamkan wajah orang itu ke meja. Semua yang ada disitu terdiam. Pram terlihat begitu emosi. Wajahnya memerah dan tatapan matanya terlihat begitu tajam mengintimidasi.
"Udah Pram, gue yang urus" Topan menarik lengan Pram, menjauhkannya dari kedua orang itu.
"Siapa nama lo?"
'Ppllaaakkkkk!!'
Sebuah tamparan diberikan pada orang yang wajahnya berdarah.
"SIAPA NAMA LO?!" bentak Topan lagi.
"Rio bang."
"Kalo lo..?" tanya Topan pada seorang yang lain.
"Diki bang"
"Udah lama gue perhatiin lo berdua. Sering gangguin cewek-cewek dikampus ini. Gue tau lo anak jurusan mana, lo angkatan berapa, lo tinggal dimana. Gue tau semua. Dan ini jadi peringatan pertama dan terakhir buat lo berdua. Sekali lagi lo kurang ajar sama cewek-cewek disini, gue jamin, lo bakalan babak belur dan masuk penjara. PAHAM..?!"
"Iya bang."
"Sekarang lo minta maaf sama mbak itu."
Kedua orang itu menghampiriku dan meminta maaf, namun aku tak menjawab apapun karena rasa takut dan shock masih menguasai tubuhku. Aku bahkan bersembunyi dibelakang tubuh Rita.
Akhirnya, kedua orang itu pergi dan ibu pemilik warung mengijinkan aku untuk beriatirahat sejenak, sekedar untuk menenagkan diri.
"Kalian makan duluan." kata Pram seraya memegang tanganku pergi dari tempat itu.
Pram membawaku kebagian belakang kampus, ke sebuah bangunan tempat yang sepertinya berfungsi sebagai gudang. Tempat itu sangatlah sepi karena terletak dibagian sudut kompleks kampus.
"Ibu baik-baik aja kan?"
Lama aku terdiam, dan akhirnya Pram memelukku. Kurasakan ia mengusap punggungku dengan lembut.
Beberapa saat kemudian, ia melepaskan pelukannya, namun kedua tangannya masih melingkar di pinggangku.
"Iya.. ibu baik-baik aja Pram. Ibu cuman shock, ibu takut."
"Sekarang udah gak apa-apa kok bu. Mereka emang anak-anak kurang ajar. Tapi mereka pasti gak akan berani macem-macem lagi."
"Iya.. makasih ya Pram."
Entah apa yang terjadi padaku jika Pram tak ada disaat seperti ini. Dia semakin menunjukkan kepeduliannya, semakin menunjukkan tanggungjawabnya terhadapku, yang bukan siapa-siapa baginya. Aku hanya ibu kostnya, hanya ibu kost. Aku bukan saudaranya, bukan pula seseorang yang istimewa. Tetapi caranya memperlakukanku, perhatiannya, membuatku semakin yakin, dia benar-benar pemuda yang istimewa.
"Pram, kita balik ke warung yuk. Kasian ibu, pasti kerepotan. Ini kan jam makan siang."
Pram mengangguk. Sekali lagi aku memeluknya sebagai ucapan terima kasih. Dan seperti biasanya, dalam setiap pelukan kami, ia selalu mengecup keningku, suatu perbuatan yang sungguh membuatku merasa terlindungi dan disayangi olehnya.
Seperti dugaanku, ketika kami sampai disana, warung makan itu telah dipenuhi oleh para pengunjung. Dan aku pun kembali bekerja karena keadaanku sudah lebih baik dan tenang. Karena kesibukanku, aku tak menyadari kepergian Pram.
Aku baru bisa bersantai sejenak ketika jam makan siang berakhir, karena pengunjung yang datang hanya sedikit.