"Sampai kapan kau akan begini Ray? Ingat kau anak satu-satunya mama, apa kau mau membuat mama gila setiap hari memikirkan dirimu?" bentak Reina pada anak satu-satunya.
"Ma, tolong jangan desak Rayhan terus ya Rayhan capek jika setiap hari diteror seperti ini terus."
"Pokoknya mama tidak mau tahu kau harus segera menikah titik," seru Reina kesal pergi meninggalkan anaknya sendiri di meja makan.
"Kau lihat mamamu Ray apa kamu tak kasihan melihatnya seperti itu? Pekerjaanmu tiap hari hanya senang-senang ke luar masuk klub apa kau tak takut jika terkena penyakit berbahaya? Kau laki-laki Ray berpikirlah dewasa," bentak Julian yang sudah sangat kesal melihat anaknya yang sama sekali belum bisa berubah semenjak Sabrina mantan kekasihnya pergi meninggalkannya setahun yang lalu.
"Nanti Pa, akan ada massanya jika Ray mau berubah jadi jangan paksa Ray!" sahut Ray tak kalah keras.
"Terserah kamu Ray Papa capek urusin kamu, mungkin lebih baik Papa jodohkan saja kamu sama anak gadis yang lugu dan polos supaya kamu bisa belajar bagaimana rasanya bersabar. Daripada gadis modern yang nyatanya malah membuatmu makin liar seperti ini," seru Julian kesal.
"Pa, ada Dendy di luar," seru Reina memberitahukan Julian bahwa sekretarisnya datang ke rumah.
"Jadi cuti juga kamu hari ini?" tanya Julian.
"Iya, ini berkas yang kamu minta, aku sudah minta tolong Septi untuk membantumu hari ini." ucap Dendy menyerahkan setu
"Tumben kau ijin kerja biasanya kau juga gila kerja sama dengannya," sela Reina pada Dendy yang memang sahabat sendiri lebih tepatnya seperti adik.
"Iya, hari ini saya ada acara mau menjemput Annisa yang baru keluar dari pondok," balas Dendy.
"Ya ampun kita bahkan lupa jika kau juga memiliki anak gadis ya, berapa usianya sekarang Dendy? Bagaimana jika dia kita nikahkan saja dengan anakku Rayhan siapa tahu dia jadi dekat dengan Tuhan dan tak lagi dugem keluar malam."
"Ma, bicara apa kau ini. Annisa tidak akan mau menerima pinangan laki-laki seperti Rayhan standarnya juga tinggi karena dia juga lulusan pondok meskipun bukan lulusan luar negeri tapi tetap mereka lebih mengutamakan adab dan akhlak bukan kaya atau miskin dan lagi apa mungkin dia mau dengan anak kita yang brutal seperti itu," sahut Julian kalimatnya sangat menohok untuk Reina sebagai wanita dia merasa gagal menjadi seorang ibu.
"Tapi tak ada salahnya ya jika kita mencoba Pa, mungkin lambat laun hatinya bakal berubah mencair dan menjadi pria yang baik," papar Reina.
"Papa gak bertanggung jawab jika terjadi sesuatu dengan Annisa ingat ma Annisa itu gadis baik-baik bukan wanita yang sering diajak tidur Rayhan semalaman."
"Mau berapa hari ijinnya mas?" tanya Julian pada Dendy.
"Hari ini saja kok, besok sudah bisa kerja lagi. Ini hanya acara menjemput lagian juga sudah ada Damian di rumah jadi bisa nemenin Annisa sampai dia dapat kerjaan," balas Dendy.
"Baiklah salam untuknya ya," ucap Julian.
"Kalau begitu aku pamit ya," Dendy segera pergi dan langsung menuju tempat anaknya mondok di luar kota.
***
"Assalamu'alaikum Pa," sapa Annisa mencium tangan Dendy dengan takzim.
"Waalaikumussalam, kau sudah selesai?" tanya Dendy.
"Kita makan dulu ya nak mampir di resto depan," saran Dendy, Annisa hanya mengangguk.
Setelah sampai dan memesan beberapa menu makanan Dendy memberanikan diri bertanya pada Annisa.
"Sekarang ini apa kau lagi dekat dengan seseorang nak?" tanya Dendy membuat Annisa menatap papanya menelisik apa maksud dari pertanyaannya tersebut.
"Aku tidak sedang dekat dengan siapapun Pa, tapi tidak menampik jika Annisa punya kriteria sendiri dalam mencari pasangan," tuturnya.
"Seperti apa tentu papa tahu kan keinginan Annisa seperti apa?" lanjutnya.
Dendy mengangguk rencananya untuk menjodohkan anaknya dengan
Rayhan gagal sudah di tahap awal. Dia tahu jika putrinya lebih menyukai Hanan anak dari ustadzah pembimbingnya.
"Ya papa tahu yang seperti si Aa kan?" goda Dendy.
"Papa bisa aja, Nisa memang pengen punya pendamping sepertinya Pa," Annisa menghela nafasnya sesaat.
"Tapi rasanya gak mungkin," lanjutnya.
Kalimat terakhir membuat Dendy melirik sekilas pada Annisa yang ada di depannya.
"Kenapa begitu?" tanya Dendy.
"Dia akan pergi Pa, gak mungkin buat Annisa nungguin jika dia sendiri gak memberi Annisa kesempatan."
Dendy melihat wajah cantik putrinya menjadi sendu. "Anissa yakinlah jika jodoh takkan kemana bukankah kamu juga faham soal itu," sela Dendy.
"Iya Pa, Annisa tahu," balas Annisa mengulas senyum manisnya pada Dendy.
"Siapa lagi ini yang telpon?" ucap Dendy menatap ponselnya yang bergetar.
"Assalamu'alaikum bos, ada apa kok mendadak telpon?"
"Waalaikumussalam, maafkan aku menganggu waktumu bisakah kau menemui Rayhan sekarang?"
"Ada apa lagi dengan anak itu? Aku masih bersama Annisa di luar kota belum sampai rumah. Apa yang terjadi?"
"Dia masuk kantor polisi karena memukul seseorang di club."
"Bagaimana jika Damian yang ke sana, nanti aku akan menyusulnya."
"Baiklah, aku titip dia padamu. Terima kasih."
Klik.
"Siapa Pa? Kayaknya penting sekali?" tanya Annisa memperhatikan wajah lelaki paruh baya yang sangat dia sayangi.
"Damian, bisakah kau ke kantor polisi sekarang? Rayhan ada di sana nanti Papa nyusul. Oke!"
Tanpa menunggu jawaban Dendy langsung menutup sambungan telponnya. "Mari kita pulang nak, nanti Papa jelaskan di jalan."
Dendy segera membayar makanan dan bergegas menuju ke kantor polisi.
Sepanjang perjalanan Annisa bertanya-tanya siapa yang ada di kantor polisi kenapa Papanya begitu khawatir dengannya.
"Dia anak bos Papa yang dulu pernah Papa ceritain ke kamu, temannya Mas Damian. Sekarang di kantor polisi kita ke sana dulu ya, jemput dia."
Annisa mengangguk karena berkata tidak pun percuma lebih baik menurut dengan ucapan Dendy Papanya.
Begitu sampai Dendy langsung menuju tempat penahanan, dilihatnya Rayhan sudah di luar duduk di sudut sofa ditemani Damian.
"Pa," sapa Damian.
"Eem, bagaimana apa semua sudah beres?" tanya Dendy.
"Sudah Pa, sekarang lagi nunggu berkasnya keluar dan menunggu surat penyataan," balas Damian.
"Dek," sapa Damian melihat Annisa yang ada di sebelah Dendy.
Annisa hanya tersenyum simpul dulu sewaktu masih kecil bercanda kelewatan sekarang seperti ada sekat malu bagi Annisa untuk menggoda kakaknya terlebih dia sudah sama-sama dewasa.
"Om, kapan kita pulang?" tanya Rayhan.
"Kamu itu apa gak bisa nahan diri untuk tidak berkelahi?" tanya Dendy pelan.
"Maaf om saya khilaf tapi benar saya gak mau disalahkan karena bukan saya yang memulainya tapi mereka yang cari keributan lebih dulu."
"Sudah tak ada gunanya kamu membela diri Papamu sudah tahu semuanya apa kau mau jabatan yang kamu dapatkan ditarik dan kau tak dapat menikmati fasilitas dari Papamu itu?"
"Tentu saja gak mau om," seloroh Rayhan manik matanya menangkap sosok Annisa sedang berdiri memainkan ponsel milik Damian.
"Siapa dia Om?" tanya Rayhan menatap Annisa dari bawah hingga atas.
"Anak Om yang nomor dua Annisa namanya dia baru pulang dari pondok," balas Dendy.
"Cantik Om sayangnya terlihat cupu, kampungan kurang modis," ucap Rayhan membuat Annisa berang dan menatap tajam pada Rayhan.
"Masalah buatmu?" tanya Annisa.
"Suka-suka saya mau seperti apa, mau kamu sebut saya kampungan sekalipun saya tidak perduli. Saya hanya menjaga apa yang harus saya jaga, kamu yang orang kota dengan gayanya sok selangit tapi sama sekali tak punya etika dasar brandal!" ucap Annisa sarkas.
"Dek, diam jangan begitu dilihatin banyak orang," ujar Damian menengahi perang mulut antara Rayhan dan Annisa.
"Dia yang mulai," seru Annisa.
Rayhan terkekeh kecil.
"Galak juga adikmu ya Dan?" ujar Rayhan.
"Apa kamu senyum-senyum?" ucap Annisa kesal.
Rayhan menatap Annisa lekat-lekat.
'Boleh juga dia, dia berbeda baru kali ini ada yang berani nantangin Rayhan Atmajaya,' ucap batin Rayhan yang semakin penasaran dengan sosok Annisa.