FESTIVAL Budaya selalu ramai setiap tahunnya. Seluruh kerajaan manusia di Dataran Tengah tak pernah lengah untuk mempersiapkan festival. Mereka berlomba-lomba untuk menciptakan perayaan yang meriah, menyambut turunnya tamu-tamu agung dari Kerajaan Langit, sebuah kerajaan yang dihuni orang-orang terpilih. Mereka adalah insan yang dikaruniai berkah Dewa sehingga unggul dalam seni bela diri dan sihir. Salah satu di antara penghuni kerajaan tersebut adalah Sang Pendeta Agung, pemimpin utama Kerajaan Langit, sosok yang menjaga perdamaian di antara enam dataran besar, termasuk dataran terlarang yang bernama Dataran Hitam.
Claire tersenyum saat mendarat di hadapan kerumunan tamu terhormat dan prajurit kerajaan. Mereka semua telah berjejer, membuat formasi untuk memberi sambutan besar. Sama seperti tahun-tahun sebelumnya, upacara penyambutan pendeta agung pada Festival Budaya memang memang tak tanggung-tanggung. Claire sudah meminta para raja untuk tak perlu menyambutnya. Mereka semua tak pernah mau dengar, tak peduli seberapa banyak dia mengutarakannya.
Claire menahan keinginan untuk kembali menasihati mereka. Dia menatap ke depan, mengulas senyum tipis pada Raja Ahlbrecht yang tengah memberinya salam penghormatan. Claire menyatukan kedua telapak tangannya di depan dagu, dia lalu menunduk, memberi salam penghormatan yang sama.
"Berkah langit akan selalu mengiringi Raja," ujar Claire dengan suara jernih.
"Berkah Dewa akan selalu menyertai Pendeta Agung," timpal pria paruh baya di hadapannya.
Claire berterima kasih. Mereka melanjutkan salam penyambutan dengan mengenalkan para penyihir langit yang lain. Begitu semua acara selesai, Claire segera menemui Raja Ahlbrecht dan penasihatnya. Mereka bertiga berbincang bersama-sama, membicarakan kondisi lima dataran besar yang sudah mulai bersedia untuk saling mengunjungi tanpa persyaratan berarti. Perdamaian sudah mereka dapatkan selama satu dekade ini. Claire sangat yakin, mereka bisa tetap mempertahankannya.
"Andalah yang menyeimbangkan kekuatan alam kita," timpal Raja Ahlbrecht. Dia tersenyum hangat, kemudian menoleh pada sang penasihat. "Bagaimana menurutmu, Laren?"
Pria berambut ikal kecokelatan segera mengangguk.
"Yang Mulia benar. Pendeta Agung telah membantu kami mengatasi semua konflik yang datang. Para penghuni dataran asing telah menghargai dan mempercayai Anda. Kepercayaan itu membuat hubungan kami dengan mereka semakin baik."
Claire tersenyum kecil.
"Aku hanya menjalankan kewajiban. Kalian juga bisa melakukannya dengan mudah kalau sudah hidup lebih dari tiga ratus tahun." Dia tertawa kecil. "Yang dibutuhkan hanyalah waktu. Aku bukan orang hebat yang bisa mengakurkan berbagai ras dalam sekejap. Para kurcaci, elf, dan anima tidak seterbuka para peri. Mereka sulit untuk memaafkan kesalahan para leluhur kita. Aku bersyukur, mereka sudah mau menghilangkan stigma buruk terhadap manusia."
"Dan sebaliknya," timpal sang raja. "Kita, para manusia, juga sama-sama belajar untuk menghilangkan stigma buruk dari tiap ras di muka bumi ini."
Claire mengangguk.
"Semua itu … aku perlu berterima kasih padamu dan para raja dari wilayah lain."
"Tak perlu berterima kasih. Kami melakukannya karena kami tak menyukai perpecahan."
Claire tertawa pelan.
"Begitu pula denganku. Perang adalah hal yang buruk." Dia menyesap teh hangat yang disediakan untuknya. Manik kebiruan menatap cakrawala yang mulai memerah. "Perdamaian akan terjaga selagi kalian saling memahami. Kalau sudah begini, kurasa aku bisa beristirahat dengan tenang."
Angin sore berembus pelan. Dua pasang mata memandang sang wanita berparas muda dengan sorot penuh tanda tanya.
"Apa yang Anda maksud dengan beristirahat?"
"Tidur dengan tenang di ruang pribadiku, Tuan Ahlbrecht," jawab Claire dengan spontan. Dia tersenyum hingga matanya menyipit. "Kau juga seorang pemimpin, kurasa kau juga tahu beratnya beban yang perlu kita pikul. Sulit bagiku untuk tidur tenang kalau satu masalah belum terselesaikan."
Sang raja memandangnya sesaat. Dia tak lagi menanyakannya setelah mendengar ungkapan lain yang terucap dari bibir sang pendeta agung. Waktu berbincang mereka terpaksa dihentikan ketika salah seorang jendral kerajaan menghampiri sang raja. Pria kepercayaan raja itu langsung menunduk hormat pada Claire. Dia menyampaikan pesan kepada raja. Mengerti akan kepentingan mereka, Claire langsung izin untuk beranjak. Dia berterima kasih terkait jamuan yang telah diberikan. Tak lama setelahnya, dia telah berjalan menyusuri beranda, menikmati taman kerajaan yang tak kalah indahnya dengan Kerajaan Langit.
Embusan angin di atas tanah memang jauh lebih bersahabat daripada di langit sana. Claire mengulurkan sebelah tangan, menyentuh kelopak bunga yang tersapu embusan angin, hampir terjatuh dari tangkainya. Dia berjalan mendekati taman bunga merah itu, mendiamkan jari yang tiba-tiba dihinggapi sebuah lebah kecil.
Manik kebiruan memandang lama serangga tersebut, merasakan energi kehidupan yang tersimpan pada tubuh kecilnya. Dia hendak menerbangkan sang lebah. Jemarinya goyah setelah mendengar suara sesuatu yang terjatuh. Serangga di jari telunjuknya langsung terbang menjauh.
Claire menegakkan diri, dia menoleh untuk memindai area sekitar. Pandangannya terhenti pada sebuah semak yang terpangkas rapi. Mencoba berkonsentrasi sesaat, Claire bisa merasakan energi kehidupan seorang anak. Dia melangkah mendekati semak, rambut kemerahannya jatuh melalui pundak saat melihat bocah lelaki yang babak belur. Dari pakaian yang dikenakan, anak ini merupakan bagian dari keluarga kerajaan. Walau begitu, Claire tidak pernah melihat si anak meski dia sudah beberapa kali berkunjung.
Kehadiran Claire langsung disadari anak tersebut. Dia mendongak. Mata keemasannya menatap Claire lurus-lurus, terlihat begitu tajam dan mengancam. Claire sempat terkejut. Dia mengerjap pelan, kemudian mengulaskan senyum.
"Apakah kau baru berkelahi?"
Anak itu tidak menjawabnya. Dia malah balik bertanya, "Siapa kau?"
Suara curiganya … Claire tertawa rendah.
"Hm, menurutmu siapa?" Dia berjalan mendekati si anak, merapikan rambut dan pakaian dengan model semi kimono yang dikenakannya. "Bisa kau tebak?"
Si anak menatap sesaat, memandang rupa jelita di hadapannya, sosok dengan surai kemerahan dan manik kebiruan. Bibir dengan senyuman ramah dan mata yang menyimpan kehangatan.
"Selir baru raja?" ujarnya dengan datar.
Claire mengerjap. Dia kemudian tertawa, hampir terbahak-bahak.
"Raja akan terlalu muda buatku," ujarnya sambil mengibaskan tangan. "Ah, pipiku sakit. Kakek Yang Mulia bahkan masih lebih muda dariku. Aku yang sudah tua ini tidak bisa menikah dengan siapa pun. Kalian semua terlalu muda."
"Kau masih muda," timpal si anak.
"Isi kepalaku sudah tua," balas Claire. Tawanya mulai mereda. Dia berjalan mendekat, kemudian menggenggam gaunnya agar bisa berjongkok dengan mudah. Tanpa aba-aba, dia menyeka rambut yang sedikit menutupi pelipis sang anak, melihat jejak darah segar dari sana. Si anak langsung menegang. Dia mengerling dengan awas.
"Kau berkelahi dengan siapa?" tanya Claire.
Si anak mengalihkan pandangan. Dia menjauhkan tangan Claire darinya.
"Bukan urusanmu."
Claire tersenyum.
"Aku baru melihatmu di sini. Apakah kau tamu kerajaan?" tanyanya.
Si anak hanya mengerling.
"Bukan," timpal si anak, pendek.
"Hm, kalau begitu … kau menyusup ke taman kerajaan?"
Anak itu berdecak.
"Kau belum memberitahukan dirimu. Kenapa aku harus menjawab pertanyaan-pertanyaan itu?"
Claire tertawa pelan.
"Ah, benar juga. Namaku Claire, tamu Raja Ahlbrecht." Dia memandang sang anak, mengamati telinga lancip yang jelas-jelas tidak mencirikan seorang ras manusia. "Apakah kau sudah bisa menjawab pertanyaanku?"
Si anak menghela napas pendek.
"Aku berkelahi dengan anak Jendral Temur."
"Mereka menjahilimu?" tanya Claire lagi.
Anak itu tidak menjawab.
Claire mengamatinya lamat-lamat, dia mengenali sorot tajam yang mengingatkannya pada Raja Ahlbrecht ketika beliau masih muda. Saat melihatnya lebih lama, tiba-tiba dia jadi ingat pada desas-desus yang selama tiga bulan ini didengarnya saat dia berjalan-jalan di wilayah kekuasaan sang raja. Perlu tiga detik baginya untuk mengerti.
Claire mengulas senyum, mulai paham alasan mengapa anak ini kelihatan tidak nyaman berada di istana.
Anak ini adalah putra pertama raja dari seorang wanita elf, sesosok wanita yang pernah menjalin hubungan dengannya sebelum dia menikah dengan wanita ras manusia. Claire tak pernah menanyakan hal ini secara langsung. Namun, dia tahu bahwa selama ini Raja Ahlbrecht menjaga anak pertamanya jauh dari istana. Sesuatu pasti telah terjadi sehingga membuatnya harus membawa sang anak untuk tinggal di istana.
"Apakah kau takut ayahmu akan mengomel setelah tau kau berkelahi?" Claire tersenyum hangat. "Kalau memang begitu, kau tak perlu khawatir. Tuan Ahlbrecht selalu siap untuk menerima penjelasan. Kau hanya perlu jujur padanya."
"Kau tahu kalau aku anaknya?"
Claire mengangguk.
Anak itu memalingkan wajah.
"Pergilah."
Alih-alih pergi, Claire telah meraih telapak tangan sang anak. Anak itu ingin melepaskan genggaman Claire, tapi tenaganya tidak sebanding dengan sang wanita. Senyum Claire masih terulas. Dia mengusap bekas luka pada buku-buku jari anak itu. Sentuhannya meninggalkan bekas berupa cahaya perak. Goresan luka langsung menghilang bersamaan dengan memudarnya cahaya tersebut.
Sang anak terpaku. Dia tak lagi mencoba menarik tangan Claire darinya.
"Ayahmu mengenal ibumu di medan perang. Ibumu menyelamatkan nyawanya. Dia seorang tabib yang hebat," ujar Claire tiba-tiba. Kali ini kembali menyeka surai gelap sosok muda itu, mengusap tetesan darah yang mengalir dari pelipisnya. "Mereka tidak bersama dikarenakan alasan yang rumit. Walau begitu, dia peduli pada kalian. Apa pun yang terjadi pada ibumu … kau perlu merelakannya."
Luka parah di pelipis sang anak sudah sepenuhnya sirna. Claire telah sedikit menyalurkan mana miliknya. Sisa luka lebam di sisi wajah anak itu juga mulai menghilang. Dia memandang mata gelap sang anak, lalu kembali mengulas senyuman.
"Cobalah terima kehidupan barumu."
Sang anak mengatupkan mulut.
"Tahu apa kau tentang kehidupan baruku?" tandasnya kaku. "Istana ini penuh sampah. Mereka hanya bisa memaki ibuku yang sudah tiada." Rahangnya mengeras, dia berdecih. "Wanita itu juga, dia selalu menjelek-jelekannya. Marah dan melampiaskan semuanya padaku." Dia memalingkan wajah, semakin mengatupkan bibir. "Kalau kehadiranku hanya merusak keluarga barunya, lebih baik dia meninggalkanku di bawah rerutuhan bersama ibu."
Claire berjongkok mendekat, membuat anak itu mundur dengan awas. Dia tersenyum lembut selagi menjentikkan jemari. Cahaya keperakan muncul dari ujung jarinya. Perhatian sang anak langsung teralihkan pada cahaya itu.
"Kau tahu ini apa?"
Ketika sang anak menolak untuk menjawab, Claire menjawabnya sendiri.
"Benar sekali. Ini adalah sihir." Dia mematikan cahaya itu, kemudian menjentikkan jari lagi. Kupu-kupu perak tercipta dari jentikannya. Mereka berdua melihat kupu-kupu tersebut terbang menjauh. "Ayahmu adalah salah satu penyihir paling berbakat. Ibumu adalah tabib yang hebat. Potensi mereka ada padamu. Apakah kau tidak ingin mempelajarinya?"
Sang anak mengerling skeptis.
"Apa yang mau kau sampaikan?"
Claire kembali tersenyum.
"Mudah saja." Dia sedikit memiringkan kepala. Helai kemerahannya tersapu embusan angin. "Jangan pernah menyesali hidup yang kau dapatkan. Kenali orang-orang di sekitarmu. Lihatlah mereka. Di antara kita, masih banyak orang yang bisa saling memahami dan menerima satu sama lain." Claire menepuk punggung tangan sang anak. "Cari alasan untuk bertahan. Seni sihir bisa menjadi salah satu alasan itu."
Claire menerawang ke atas, menatap cakrawala.
"Sihir menyimpan banyak misteri. Jika kau menghargai keberadaan ibumu, pelajarilah ilmu ini. Dia akan sangat bangga, meski dia tak pernah mengatakannya." Claire menoleh, dia kembali tersenyum. Kali ini, senyumnya sampai membuat kedua mata menyipit. "Selain itu, penyihir tingkat tinggi sangatlah keren. Tidak akan ada yang berani merendahkanmu, meski akan tetap banyak yang mengajakmu berkelahi."
Anak itu mengerjap.
"Aku tidak masalah kalau terus diajak berkelahi."
Claire tertawa. Dia mengacak rambut gelap sang anak, kemudian beranjak berdiri.
"Semangat yang bagus. Aku perlu anak-anak muda yang berbakat, biar mereka bisa menggantikan tugasku untuk menjaga perdamaian. Aku ingin istirahat."
"Kau bisa beristirahat kapan pun kau mau," timpal sang anak, melihat Claire dengan asing.
"Kau benar. Aku bisa beristirahat kapan pun aku mau." Claire tersenyum. "Aku mengandalkanmu."
Gema suara di kepalanya membuat Claire terpaksa harus beranjak. Dia menjawab panggilan sihir salah satu muridnya, kemudian pergi setelah membuat garis portal di udara. Anak tersebut memandang cahaya perak yang ditinggalkan sang wanita. Dia memandang udara kosong, kemudian menatap langit yang sempat memperlihatkan citra diri seseorang yang meloncati udara.
Anggun dan jelita, hanya dua kata itu yang terukir dalam memorinya.
Dia mengembuskan napas pelan, bertanya-tanya kapan lagi dia bisa melihat sosok asing yang memiliki aura jernih itu.
Sayang beribu sayang, satu bulan setelahnya, berita kematian sang penyihir agung berembus kencang. Berita tersebut begitu menggemparkan orang-orang, entah itu manusia, kurcaci, elf, anima, maupun mereka yang tersegel dan tertidur lelap di Dataran Hitam.
Pendeta Agung yang selama ini menjadi simbol perdamaian telah tiada. Setelah melayani dunia selama lebih dari tiga ratus tahun, akhirnya dia mendapatkan waktu istirahatnya. Semua orang bertanya, mengapa? Ada pula yang berseru, bagaimana bisa?
Namun, hanya sosok itu yang tahu jawabannya.
Pada tahun matahari 1400, pendeta agung meninggalkan dunia.
Claire De La Cour menyerahkan enam dataran utama kepada para manusia, elf, peri, kurcaci, dan anima. Mereka semua sudah dewasa. Ajaran gereja sihir telah diterima. Mereka sudah tidak lagi memerlukan bimbingannya.
Dia telah mendapatkan waktu istirahatnya. []