Tahun Matahari, 1500.
ANGIN malam berembus ringan. Lonceng gereja lokal berdentang. Pada sebuah atap bangunan, burung-burung berbulu putih hinggap dan berkicau pelan. Sinar rembulan tampak begitu terang, menyinari malam di wilayah barat Kerajaan Kendelin.
Malam yang hangat menyambut kehadiran seorang insan yang baru dilahirkan. Suara tangisnya memancing senyuman lega tiga orang dewasa yang ada di sana. Seorang tabib segera membopong sang bayi, menyeka noda darah yang masih menyelimuti tubuh. Ibu dari bayi tersebut tersenyum lelah. Dia menumpukkan tangan pada ranjang. Sang suami, yang setia menemani, dengan tangkas membantu istrinya untuk menegakkan diri. Ketika tabib itu kembali, sang bayi sudah diserahkan padanya. Sang ibu menerima dengan mata berkaca-kaca.
"Putri keluarga Dehnel lahir di hari baik, Tuan," ungkap sang tabib. "Dia akan menjadi berkah yang besar."
Pria bertubuh tegap dengan garis rahang yang ditumbuhi bulu-bulu kasar tampak menyunggingkan senyum.
"Syukurlah, semuanya berjalan lancar." Dia duduk mendekati sang istri, ikut memandang sosok kecil yang telah memejamkan mata. "Dewa memberkatinya. Kita perlu memberinya nama yang akan mengingatkan kita pada rasa syukur ini."
Sang istri mengangguk pelan. Dia mengamati sosok kecil dalam buaiannya lamat-lamat. Jari telunjuk mengusap kulit selembut kapas, memperhatikan geliat kecil yang semakin menghangatkan dada.
"Claire," ungkap sang istri. "Mari namai dia dengan nama mendiang Yang Mulia Pendeta Agung. Jasanya begitu besar. Budinya begitu baik. Aku ingin anak kita tumbuh menjadi wanita mulia dan berbudi sepertinya."
Sang suami tertawa rendah.
"Akan sulit untuk menanggung semua harapan itu. Tapi, nama adalah sebuah doa dan harapan. Aku menginginkan hal yang sama sepertimu." Dia tersenyum lembut, kembali menatap anak perempuannya yang baru terlahir ke dunia mereka. "Kita akan memanggilnya Claire, Claire Dehnel. Kuharap Dewa bisa mendengar doa kita."
Kedua mata sang bayi masih terpejam. Dia kembali menggeliat pelan. Dalam sudut pandangnya, hanya warna hitam yang terlihat, hanya samar suara yang terdengar.
Kepalanya menyimpan banyak pertanyaan.
Pertanyaan itu baru terjawab dua tahun kemudian, saat ketika dia sudah bisa memandang dengan jelas dan mulai memahami arti kehadirannya di dunia ini.
Memori dalam surga telah menghilang. Waktu istirahat panjangnya telah usai.
Claire mendapatkan kehidupan baru yang sama sekali tidak dia ekspektasikan. Mengapa Dewa memberinya kehidupan ini? Apakah Dia telah memberi hadiah besar padanya yang selalu menginginkan kehidupan baru? Hidup yang lebih bebas tanpa tanggung jawab besar yang selalu bersandar di atas pundaknya?
Mata kecil mengerjap, melihat senja di cakrawala.
Dilahirkan kembali … Claire akan memastikan bahwa kali ini dia akan menempuh jalan yang berbeda. Hidup dengan sederhana—dia akan mewujudkannya.
oOo
Tahun Matahari, 1518
Aliran air jernih begitu memanja mata. Sinar matahari sore menyusup melalui kanopi pohon-pohon tinggi. Claire manatap refleksi dirinya dari permukaan air, citra diri seorang perempuan muda dengan rambut cokelat bergelombang yang dibiarkan terurai bebas, tampak lepek akibat peluh. Wajahnya ternoda oleh tanah kering. Dedaunan menyembul dari sela-sela rambut.
Claire segera mengikat rambutnya. Dia menarik dedaunan tidak sopan yang telah berani bersarang di sana. Begitu merasa lebih segar, dia langsung membasuh mukanya dengan air sungai. Dingin yang menyapa kulit hampir membuatnya melenguh lega. Dia mengguyur wajahnya dengan air sampai beberapa kali. Ketika merasakan nikmat guyuran air itu, dia langsung menoleh, berseru pada dua orang yang ikut bersamanya.
"Blaise, Sera, kemari!"
Seorang anak perempuan menengok melalui batang pohon besar. Wajahnya sama-sama kotor oleh noda tanah.
Claire tersenyum lebar.
"Sangat segar. Kemarilah!" tambahnya. Dia melambaikan tangan, memberi isyarat agar sang gadis muda mendekat.
Sera, perempuan muda yang dipanggilnya, pun menghampiri. Dia meletakkan keranjang yang dibawanya, berjingkat pelan saat harus melewati bebatuan besar.
"Arusnya sangat deras," komentar Sera. Dia memandang Claire yang berjongkok di tepi sungai. "Kau bisa terpeleset dan terbawa arus, Kak. Hati-hati."
Claire hanya tertawa.
"Tidak apa-apa, ini aman." Dia menyodorkan air yang berada dalam tangkupan tangannya, memperlihatkan air tersebut pada Sera. "Lihat, sangat jernih." Dia mengembalikan air itu ke sungai, lalu mengedikkan dagu ke samping. "Kemarilah, bersihkan wajahmu. Aku tidak ingin wajah manis adik kesayanganku jadi jelek seperti itu."
Selagi Sera mendekat, Claire menoleh ke belakang. Dia mendapati Blaise yang tengah bersandar pada batang pohon besar. Sebelah tangannya menggenggam sebuah busur panah. Rambut kecokelatan panjangnya diikat di belakang kepala.
"Kau sendiri yang membuat Sera ikut-ikutan kotor," komentar lelaki di awal umur dua puluhan itu. "Kenapa masuk ke bagian dalam hutan? Kalian tidak akan bertemu anjing liar kalau menuruti ucapanku."
"Apakah ucapan maafku masih belum kau terima, Kakak?" balas Claire dengan nada bercanda.
Blaise mengembuskan napas pelan. Dia meloncati sebuah batu besar dan ikut berdiri di samping Claire.
"Setelah dipromosikan menjadi pengawal putra sulung Earl Sulzer, aku takkan bisa mengunjungi kalian lagi. Mereka hanya akan memberiku jatah liburan sekali dalam sebulan. Kalau sudah begini, siapa yang bakal mencegah kalian agar tidak dimakan hewan-hewan liar?"
Claire duduk di atas rerumputan. Dia mendongak, melihat Blaise yang tengah memandang kosong pemandangan di hadapan mereka.
"Kau mengkhawatirkan kami?" tanyanya.
Blaise segera mengerling, menatapnya.
"Tentu saja," ujarnya datar. "Kalian adik perempuanku."
"Lalu?" timpal Claire, dia menaikkan sebelah alis. "Kau khawatir karena kami perempuan?"
Blaise mengacak pelan rambutnya, terlihat frustrasi.
"Tentu saja, Adik Nakal," tandasnya kesal. "Kau sering digoda laki-laki kurang kerjaan."
Di samping Claire, Sera tiba-tiba melenguh nikmat. Air sungai ini tampaknya memang begitu segar.
"Claire menendang kemaluan laki-laki kurang ajar itu!" seru anak perempuan itu. Dia menoleh pada kedua kakaknya. "Benar, 'kan, Kak? Kau membuat mereka lari seperti pecundang."
Claire tertawa pelan. Dia kembali menoleh pada Blaise.
"Well, kau mendengarnya."
Blaise menghela napas pelan, menyerah untuk terus berdebat. Dia mengulurkan tangan guna membantu Claire berdiri. Keranjang kayu kembali diangkat. Claire sempat merapikan rambut Sera sebelum mereka lanjut berjalan menuruni gunung.
"Earl Sulzer sering menanyakanmu," ujar Blaise ketika mereka berjalan bersisian. "Pria tua itu sangat tertarik padamu."
Claire tersenyum kecil.
"Kau ingin aku menikah dengannya?"
Blaise mengembuskan napas kasar.
"Tentu saja tidak. Sekaya apa pun dia, dia hampir berkepala lima. Dia juga sudah mempunyai tiga orang anak. Anak pertamanya bahkan seumuran denganmu." Blaise berdecak. "Tua bangka tidak tau diri."
"Kau akan dipecat kalau mengatakan itu."
Blaise mengabaikan ucapan Claire.
"Apakah kau masih belum mempertimbangkan tawaran pertunangan keluarga Livith?" Blaise megerutkan kening. "Tuan Livith memang bukan pewaris utama keluarga besarnya. Tapi, teknik berpedangnya sangat tinggi. Dia juga menguasai seni sihir tingkat tinggi, meski belum sampai pada sihir suci."
"Belum," balas Claire, terdengar sangat singkat.
Ketika merasakan tatapan lurus sang kakak, Claire langsung menoleh. Dia menambahkan, "Bukankah kau sudah pernah bertemu dengannya? Kau tahu dia orang seperti apa."
"Dia pria yang terhormat, selalu menjaga reputasinya."
"Meski harus menindas orang-orang tidak bersalah?" Claire bertanya balik. Dia kembali menatap ke depan, memperhatikan Sera yang tengah berjalan sambil meloncat riang. "Tuan Livith sangat arogan. Dia memperlakukan orang-orangnya sendiri dengan buruk. Dibandingkan dia, Earl Sulzer jauh lebih baik."
"Tapi, hanya dia kandidat terbaik yang kau punya. Ibu dan ayah sudah mulai mengkhawatirkanmu. Kau selalu menolak tawaran pertunangan yang datang."
"Aku tidak perlu menikah dengan mereka yang berstatus." Claire kembali menoleh. Dia tersenyum jenaka. "Bagaimana dengan temanmu itu? Lelaki yang menjaga perpustakaan keluarga Sulzer? Dia sangat baik."
Blaise langsung melebarkan mata.
"Tidak. Kau gila? Dia sangat aneh. Pekerjaannya hanya mendekam di tempat gelap itu. Dia akan selalu bersembunyi kalau melihat orang. Bagaimana bisa aku menyerahkanmu pada orang tidak kompeten sepertinya?!" tandas Blaise.
Claire tertawa rendah.
"Dia sangat manis, Kak. Dia akan menjadi tipeku."
Detik itu, Blaise menyerah untuk membahas masalah pernikahan adiknya. Mereka masih mempunyai waktu tiga tahun sebelum orang-orang mulai bergosip dengan lebih terang-terangan. Sebagai seorang perempuan manusia di Dataran Tengah, menikah di usia tujuh belas sudah menjadi aturan tidak tertulis. Blaise sempat mendengar Claire mengomentari tradisi konyol itu. Namun, dia tak kelihatan begitu menentang karena dia memang sudah mengenal tradisi ini.
Ketika menginjak usia tersebut, tawaran pernikahan langsung membanjiri pintu rumah keluarga Dehnel. Claire sempat menemui pria-pria bangsawan yang mengirimkan bunga dan berbagai hadiah lain. Dia bersikap begitu ramah dan bersahabat. Mereka semua yang pernah bertemu langsung pasti akan menganggap bahwa Claire akan menerima mereka. Blaise cukup mengasihani orang-orang itu. Mereka tidak tahu bahwa adiknya memang sopan kepada semua orang, bukan hanya pada mereka. Seluruh tawaran yang datang akan ditolak mentah-mentah, Claire bahkan tidak repot-repot memberi mereka alasan yang jelas.
Kemarahan orang-orang ini sering membuat telinga Blaise berdengung sakit. Mereka memaki dan mengumpati adiknya. Walau begitu, adiknya ini selalu membalas dengan senyuman, sama sekali tidak terlihat marah.
Sikapnya terlampau dewasa untuk perempuan muda yang baru menginjak usia delapan belas.
"Aku tidak akan membuat ayah dan ibu khawatir. Kau tenang aja," ujar Claire ketika mereka telah mendekati rumah. "Aku sudah sempat bertemu lelaki yang cukup baik. Tahun depan mungkin kau perlu mengajukan cuti untuk menghadiri pernikahanku."
Blaise mengerling, dia tersenyum dan mendengkus pelan.
"Sebaiknya kau memegang janjimu."
Claire hanya tertawa kecil. Dia mengikuti Blaise yang membuka pagar. Mereka memasuki rumah dari pintu belakang. Claire meletakkan keranjang berisi obat-obatan di atas meja yang ada di dapur. Dia menyuruh Sera untuk segera membersihkan diri. Tanaman obat yang dikumpulkan segera dicuci bersih. Claire memilah tanaman itu dan memasukkannya ke dalam wadah yang telah disediakan.
Begitu selesai dengan urusan kecilnya, Claire juga membersihkan diri. Dia sedang sibuk menyiapkan makan malam ketika Blaise kembali bergabung dengannya. Sang kakak lelaki datang bersama Sera. Mereka membantu Claire menyiapkan perabotan makan.
"Apakah ayah dan ibu akan segera pulang?" tanya Sera.
Claire menghirup aroma sup lobak yang sudah mulai masak. Dia mengangkat tungku yang digunakan, kemudian mulai memindahkan sup ke dalam mangkuk keramik mereka.
"Ayah dan ibu berangkat saat fajar. Aku yakin, sebentar lagi mereka kembali."
Claire mendengar jawaban Blaise. Dia mengangguk.
"Festival Budaya sebentar lagi akan diadakan. Pasar di tengah kota pasti jadi sangat ramai. Mereka mungkin hanya sedikit terlambat. Bagaimanapun juga, obat herbal dan makanan buatan ibu selalu dinanti-nanti, begitu pula kerajinan yang dibuat ayah." Claire tersenyum. Kedua matanya menyipit. "Ah, besok mungkin kita bisa makan banyak daging!"
Sera langsung ikut tersenyum lebar. Dia meloncat menghampiri Claire, membantunya membawa mangkuk sup ke atas meja makan. Saat itu, perempuan dua belas tahun tersebut telah mengoceh tentang menu daging olahan favoritnya. Claire hanya tertawa saat mendengar cerita antusias itu. Blaise sama-sama mendengkuskan tawa. Dia sempat mengejek Sera beberapa kali, membuat adik terakhirnya mengerucutkan bibir dengan lucu selagi berusaha untuk memukul pundaknya.
Gurauan mereka terhenti ketika mereka melihat kedatangan kereta kuda melalui jendela. Sera langsung melebarkan mata. Dia meloncat dari kursinya, tampak sangat antusias untuk menyambut kedatangan sang orang tua. Claire dan Blaise mengikuti adik bungsu mereka. Dia membuka pintu belakang, hendak ikut membantu menurunkan barang-barang. Ekspresi tidak menyenangkan yang terlukis di wajah kedua orang tuanya langsung membuatnya waswas.
Blaise segera melebarkan langkah. Dia mengerling pada sang ibu yang tengah membalas pelukan Sera, melihat senyum kaku yang terukir di sana.
"Ayah—-"
Edwin Dehnel, sang ayah, telah menepuk pundaknya. Dia menggenggam erat pundak sang putra sulung.
"Berkumpullah di perbatasan. Mereka membutuhkan banyak bantuan para ksatria dan penyihir," ujarnya tiba-tiba.
Saat itu, Claire baru menyadari pakaian kedua orang tuanya yang terlihat begitu lusuh, seolah mereka baru saja terjatuh. Claire mendekati ayahnya. Dia menatap dengan khawatir.
"Ayah baik-baik saja? Apa yang terjadi?"
Edwin menghela napas pelan. Dia menoleh pada istrinya.
"Ibu …"
Sang istri langsung mengerti, dia menggenggam telapak tangan Sera dan membawanya masuk ke dalam rumah. Perhatian Edwin kini kembali pada kedua anaknya.
"Ketika berada di ibu kota, kami mendapatkan kabar dari kekaisaran," awal Edwin. Dia menarik napas pelan. Wajahnya terlihat pucat. "Kaisar Julien meninggal dunia. Yang Mulia terbunuh oleh makhluk gelap dari Dataran Hitam. Penasihat kekaisaran langsung menyuruh tiap kerajaan untuk menutup perbatasan dan membuat segel pelindung. Bangsa Devildome telah bangkit."
Blaise mengerutkan dahi. Dia tak bertanya apa pun dan langsung melesat ke dalam rumah untuk mengambil persenjataan. Tak lama kemudian, dia sudah berpamitan pergi untuk bergabung dengan para ksatria yang lain. Claire membantu ayahnya untuk memasuki rumah. Sang ayah seperti baru mendapatkan serangan panik. Claire berusaha menekan rasa terkejutnya. Begitu menyelesaikan makan malam dan membersihkan perabotan makan, dia segera kembali ke kamar. Kaca jendela dibuka lebar-lebar. Kedua mata memandang lurus langit hitam yang menghalangi terangnya cahaya bulan.
Ada warna kemerahan yang menggantung di atas udara. Kicauan burung gagak terdengar lebih nyaring dari biasa. Embusan angin terasa lebih kencang.
Claire memandang jalan tanah yang merentang, membayangkan perbatasan desa yang telah dipenuhi oleh para ksatria dan penyihir.
Air wajahnya mengeruh.
Selama delapan belas tahun kembali menjalani kehidupan, tak pernah ada masalah semacam ini. Mengapa bangsa Devildome, yang beratus-ratus tahun lalu sudah dia amankan, kembali melakukan pergerakan? []