Chereads / The Ex Great Priest / Chapter 3 - 2; Bencana

Chapter 3 - 2; Bencana

SETENGAH jam pasca kepergian Blaise, Claire sudah jauh lebih tenang. Satu abad yang lalu, sebelum memasang segel eksekusi pada dirinya sendiri, dia sudah memastikan bahwa murid-muridnya menguasai seni sihir suci tertinggi. Dia telah menguji mereka dengan mengendurkan segel yang mengelilingi Dataran Hitam, membuat benih-benih noroi—aura gelap yang menyerupai kutukan—terembus melewati perbatasan lima dataran besar. Hasil yang didapatkan semakin meyakinkannya untuk melepas posisi sebagai Pendeta Agung. Isu mengenai kebangkitan bangsa Devildome sudah pasti bisa mereka tangani sendiri.

Claire mendaratkan diri ke atas ranjang. Dia memejamkan mata. Bibir mengulaskan senyum. Blaise memang masih muda, tapi dia sudah melihat kemampuannya. Dari seluruh ksatria sihir yang tinggal di desa barat Kerajaan Kendelin, Blaise merupakan salah satu yang terhebat. Claire dulu sering melontarkan ejekan kecil yang membuat Blaise mau tidak mau membenarkan teknik sihir dan berpedang yang masih salah.

Gagasan itu semakin menenangkannya. Dia mengambil buku resep obat-obatan herbal yang dipinjamkan sang ibu. Lampu kamar menyala redup. Remang cahaya tidak menghalanginya untuk membaca. Detak jam dinding di ruang tengah berdentang, menunjukkan pukul dua belas malam. Kantuk yang sedikit menerpa membuat Claire memutuskan untuk tidur. Dia melongok jendela, merasakan kesunyian yang sama seperti malam-malam sebelumnya.

Claire menutup jendela tersebut. Dia kembali berbaring. Tak perlu waktu lama baginya untuk kembali terlelap.

oOo

"Hadiah apa yang kau inginkan, Wahai Abdiku?"

Gema suara tanpa rupa bergaung. Telapak kaki menginjak gumpalan awan alih-alih tanah atau materiel padat lainnya. Kepala mendongak dan menoleh, memeriksa kondisi sekitar.

Terang, ruang ini begitu terang. Embusan angin terasa sejuk. Tubuhnya menjadi lebih ringan.

Kilas kejadian beberapa waktu lalu terbayang—dia yang membuat goresan segel yang mengelilingi tempat tidurnya sendiri, dia yang menyalakan segel dengan simpanan energi suci, hingga dia yang memosisikan diri di tengah-tengah segel tersebut, begitu siap untuk terlelap dalam peristirahatan panjang.

Bibir mengulas senyuman. Dia ternyata berhasil.

Dengan lembut, dia pun membalas suara yang tadi mengucapkan tanya.

"Masa tenang untuk beristirahat, Yang Mulia Dewa."

"Tinggal selamanya di tempat ini atau memilih jalan hidup yang berbeda?" tanya suara itu lagi.

Dia menarik napas pelan dan memandang langit-langit yang hanya berupa hamparan warna kebiruan.

"Semuanya atas kehendak Anda. Pilihan yang Anda berikan, sudah pasti terbaik untuk saya."

Ada tawa renyah yang terlepas.

"Claire De La Cour, kau memang satu-satunya Pendeta Agung yang tetap memiliki iman setelah berangkat ke alam ini, meski kau tetap kurang ajar dengan memutus tali hidupmu sendiri. Aku memberimu umur panjang dan tak membiarkanmu menua agar kau bisa berterima kasih padaku. Nyatanya, kau tetap ingin menentukan nasibmu sendiri."

"Tugas saya sebagai Pendeta Agung telah usai. Saya telah mempercayakan semesta kepada tiap bangsa di bawah sana. Mereka telah mendapatkan bimbingan yang cukup, Yang Mulia."

Tawa lain kembali bergema.

"Well, kau selalu pandai merangkai kata, tidak heran pengikutmu begitu banyak. Kedamaian ini … aku memang perlu memberimu penghargaan. Jika kau menyerahkan pilihan itu padaku, maka akan kuputuskan nanti saja, biar kau menerka-nerka."

Claire mengerjap, tak begitu memahami humor sosok dewata yang tengah berkata-kata. Dia melihat gerbang emas yang tiba-tiba muncul di hadapannya.

"Masuklah ke tempat idaman para makhluk bumi, De La Cour. Akan kubolehkan kau beristirahat. Satu hal yang perlu kau ingat, kekuatan besar ada seiring dengan tanggung jawab besar. Suatu saat, kau sendiri yang akan memilih jalan hidupmu, kembali mengabdikan diri untuk Kami atau mewujudkan mimpi untuk mendapatkan keluarga dan hidup seadanya saja. Saat momen itu datang, ingatlah bahwa aku sudah memberi penghargaan terbaik buatmu. Tolong, jangan memakiku, kau sendiri yang menyerahkan nasibmu padaku."

Dewa Langit memang mempunyai selera humor yang aneh. Claire agak bersyukur, dewata yang menyambutnya bukan dewa kematian atau dewa lain yang jauh lebih eksentrik. Dia memberi penghormatan terakhir dan membungkuk. Kedua kaki melangkah mendekati gerbang emas. Embusan angin semakin kencang. Cahaya terlihat begitu terang. Claire memejamkan mata dan memaksakan kaki untuk berjalan.

Berat, begitu berat.

Cahaya itu sangat menyengat. Sekarang rasanya teramat panas, seperti terbakar, seperti terlilit jerat api ….

Kedua mata membeliak terbuka. Ingatan dalam mimpi itu begitu nyata.

Claire mengerling pada kedua lengan, melihat asap gelap yang telah membelenggunya.

Asap ini … Claire hampir menghela napas lelah.

Noroi selalu berulah. Mereka sangat menyebalkan.

Rasa sesak dan sakit sedikit ditahan, Claire memejamkan mata saat belenggu asap hitam mulai menjerat kaki, membuat tubuhnya terperangkap di atas ranjang. Selagi masih bisa menoleh, Claire menatap jendela yang tertutup gorden. Kamarnya cukup gelap, tetapi dia bisa melihat bayang cahaya merah di luar sana, sesuatu yang menyerupai kobaran api.

Saat aroma gosong menghinggapi indra pencium, Claire semakin yakin bahwa cahaya merah di luar sana memanglah kobaran api.

Dia mendelik kesal pada noroi. Aura kutukan ini benar-benar merusak rencananya.

Dia memejamkan mata sesaat, mencoba memadatkan energi kehidupan yang terkumpul pada ulu hati. Ketika membuka mata, dia telah menjentikkan jari. Asap hitam noroi segera terlalap cahaya keperakan, sepenuhnya hilang hanya dalam kejapan mata.

Kedua tangan telah terbebas. Claire bangkit terduduk. Dia menyatukan jari telunjuk dan tengah, mendekatkan jari tersebut di depan mulut. Detik berikutnya, dia menyentak jari itu ke arah noroi yang masih membelenggu kakinya. Aura kutukan tersebut kembali terlahap cahaya perak, hilang sepenuhnya.

Claire turun dari ranjang. Dia mengikat rambut dengan asal, kemudian menghampiri ruang tengah yang sudah dipenuhi asap hitam noroi. Dari kejauhan, dia mendengar seruan Blaise. Claire sedikit melebarkan mata, dia mengacak rambutnya, sengaja membuatnya lebih berantakan. Ketika pintu dibuka dengan paksa, Claire telah duduk di lantai, seolah baru saja terjatuh.

Blaise langsung menghampirinya. Dia menggenggam pundak Claire, memegangnya erat.

"Claire, kau bisa mendengarku?" serunya cepat, sarat akan kepanikan.

Claire mengangguk lemah. Dia mencoba untuk terbatuk. Telapak tangannya seolah bergetar, dia menunjuk pintu.

"Sera, ayah, dan ibu," gumamnya pelan.

Blaise menggertakkan rahang.

"Aku tahu, kita akan segera keluar dari sini. Kondisi di luar sangat kacau. Noroi ini … tidak, makhluk terkutuk itu, Hydra dan Cerberus mengepung desa. Bagaimana bisa monster kuno itu menembus segel sampai ke dalam desa?!" tandas Blaise, penuh kemarahan.

Claire terdiam.

"Hydra?" gumamnya pelan.

Blaise telah memapahnya. Dia menyarungkan pedang, kemudian melakukan segel pemanggil sihir seperti yang beberapa saat lalu dilakukan Claire. Cahaya kebiruan muncul dari ujung jemarinya. Dia mengayunkan tangan dan melemparkan cahaya itu untuk memusnahkan asap-asap hitam.

"Ayah sedikit menguasai sihir, aku akan membawa pergi Sera dan ibu dulu," ujar Blaise saat membawa Claire keluar rumah. Sang adik sengaja disandarkan pada pagar. Dia membentuk garis pembatas dengan jari telunjuk dan tengah. Garis itu melindungi Claire dari noroi yang masih berkumpul di atas tanah.

Blaise meminta Claire menunggu. Dia kembali ke dalam rumah untuk membantu adik dan orang tuanya.

Di bawah cahaya rembulan yang dihalangi oleh awan hitam, Claire mendengar suara pertarungan. Rumah mereka berada di kaki gunung. Terdapat banyak hutan yang mengelilingi tempat tinggalnya. Walau begitu, dari jarak yang cukup jauh, dia bisa melihat cahaya kebiruan yang bertebaran di atas langit. Ledakan, asap putih, dan getaran tanah … seluruh indikasi itu cukup menjelaskan omongan Blaise mengenai kehadiran Hydra.

Monster gelap itu seharusnya tinggal di Dataran Hitam. Jalur laut selalu dimurnikan oleh pendeta langit. Segel perbatasan akan menahan mereka memasuki pemukiman warga. Dengan seluruh lapisan keamanan itu, mengapa mereka bisa menyusup masuk?

Claire menoleh ke belakang ketika Blaise berhasil membawa keluar Sera dan ibu mereka. Sang ayah tengah membopong Sera, sedangkan ibu dipapah oleh Blaise.

Pandangan sang ayah langsung jatuh pada titik cahaya biru di atas langit. Dia mengutarakan pertanyaan yang sempat hadir di kepala Claire.

"Kenapa kubah pelindung tidak diaktifkan?"

Blaise menghela napas panjang. Dia melukis pola kuno pada punggung tangan sang ibu. Cahaya biru yang digunakan untuk menggambar pola tersebut langsung meresap masuk, menjaga sosok yang diberi lukisan agar tidak terpengaruh noroi.

"Formasinya hancur," jelas Blaise dengan pahit. "Garis formasi yang tahun ini baru kami perbarui tiba-tiba sudah menghilang. Kubah pelindung tidak bisa diaktifkan."

Blaise menarik telapak tangan Claire, memberi segel pelindung yang sama seperti yang diberikan pada sang bunda.

"Para warga sudah dievakuasi. Tempat terjauh sudah penuh. Kita akan berlindung di titik evakuasi lain." Blaise meminta Claire memegangi Sera yang masih terlelap. Dia bersuit, memanggil dua kuda sekaligus. "Di sana sedikit berbahaya, tapi kami akan berusaha melindungi para warga."

Claire hanya mengangguk.

Edwin menarik tali kekang kuda. Dia membantu istrinya naik, sementara Sera dibiarkan ikut dengan kakak lelaki dan perempuannya.

"Para tetua pendeta seharusnya bisa mengatasi mereka," komentar Edwin. "Hydra dan Cerberus bisa ditangani oleh penyihir tingkat menengah."

Blaise, Sera, dan Claire sudah menunggangi kuda yang sama.

"Kuharap, Ayah." Blaise melecutkan tali kekang. "Mereka ini … jumlahnya luar biasa. Kami hanya bisa mengandalkan bala bantuan dari pusat kota."

Angin malam menyapu helaian rambut. Claire melihat titik perkelahian. Tanpa sepengetahuan Blaise, dia telah memejamkan mata, berkonsentrasi untuk merasakan energi kehidupan dari monster gelap yang sedang meneror desa.

Tak sampai lima detik, Claire sudah membuka mata lebar-lebar.

Segel penahan di wilayah ini benar-benar kacau. Dia perlu melihat sendiri, bagaimana para pendeta kecil menangani makhluk yang biasanya hanya bisa ditahan oleh murid-murid terlatihnya.

oOo

Claire hampir tidak mengenali area hutan yang mereka kunjungi. Tempat yang seharusnya dipenuhi pepohonan rindang telah sirna. Batang tinggi itu telah tumbang, mengubah area hutan menjadi tanah lapang. Medan pertarungan berada cukup jauh dari tempat evakuasi. Namun demikian, suara dan getar ledakannya masih sangat terasa.

Blaise tengah mengikat tali kekang pada sebuah tombak besi yang telah ditancapkan ke dalam tanah. Ayah dan ibu mereka sudah beranjak ke dalam tenda sihir yang menampung sebagian warga desa. Claire tak bisa menahan keinginan untuk tetap berada di luar. Dia bisa melihat Hydra besar yang tengah mengamuk. Monster menyerupai naga ular itu telah memiliki lima kepala, artinya para pendeta, ksatria, dan penyihir yang mencoba melawan telah gagal. Mereka tak bisa memusnahkannya, tetapi malah semakin memperkuat monster tersebut.

Hydra dan Cerberus memang memiliki ciri khas yang lumayan sama, meskipun Hydra berbentuk naga ular dan Cerberus berupa anjing neraka. Kepala mereka terus tumbuh dan bertambah jika lawan mencoba memenggalnya. Cara paling ampuh untuk memusnahkan mereka adalah dengan menahannya dalam segel. Segel tersebut dibuat dengan pola formasi sihir yang rumit, persiapannya cukup panjang. Cara lain yang bisa dilakukan yakni dengan membakar mereka dengan api suci, api keperakan yang hanya bisa diciptakan pendeta langit.

Para pendeta dan penyihir desa ini jelas-jelas tidak memiliki kemampuan itu.

Claire mulai khawatir. Pekik mengerikan Hydra dan lolongan buas Cerberus terdengar begitu jelas. Noroi yang mengelilingi mereka juga semakin pekat, mereka bisa dengan mudah merasuki orang-orang dan mengubah si pemilik tubuh menjadi mayat hidup, salah satu bangsa Devildome yang dikenal sebagai zombie.

"Masuklah, tempat ini sudah kami amankan," ujar Blaise dari belakang. Dia menarik lengan Claire, membuatnya mundur sehingga dia tetap berada dalam lingkar suci. "Aku harus kembali membantu mereka."

Percuma.

Claire ingin mengatakannya.

Dia hanya mengulas senyum dan mengangguk.

"Berhati-hatilah," ujarnya pendek.

Blaise menepuk pelan kepalanya. Dia lalu mengayunkan kaki dan menghilang di balik kabut hitam.

Claire mengerling pada lingkar suci yang melindungi tenda evakuasi. Dia berjongkok, menyentuh cahaya putih menyala yang membentuk pola melingkar. Setelah merasakan kuat energinya, dia langsung menghela napas pendek. Mantra sihir langsung dirapalkan. Dia mengayunkan jemarinya pada garis lingkar, menambah kekuatan dalam lingkaran suci.

Cahaya putih bersinar semakin terang. Noroi yang mengitari cahaya langsung bergerak mundur. Area bersih di tempat tersebut mulai meluas.

Claire menegakkan diri. Dia menjentikkan jari, mengeluarkan kupu-kupu perak untuk mengintai perkembangan dari perlawanan. Setelah mengirimkan mereka, dia berbalik untuk memasuki tenda.

Dia perlu berhati-hati dalam menggunakan kekuatannya.

Tirai tenda disibak. Claire mengedarkan pandangan, mencoba mencari keberadaan adik dan orang tuanya. Dia baru selangkah bergerak saat koneksi kupu-kupu perak memberinya gambaran yang membuatnya mematung.

Cipratan darah, lolongan murka, jerit kesakitan.

Basmi.

Bunuh.

Lenyapkan.

Gaung berat memasuki telinga. Gambaran itu memudar. Kupu-kupu perak dihancurkan.

Claire langsung menoleh ke arah pintu masuk tenda ketika dentuman keras terdengar. Tanah bergetar, orang-orang di belakangnya berteriak ketakutan.

"Tetap di dalam! Jangan mencoba keluar!" seru seorang pria paruh baya yang tak lain adalah ayahnya.

Edwin Dehnel merentangkan tangan, meminta para warga tetap berdiam diri. Claire sempat mengerling, dia melihat sang bunda yang tengah memeluk Sera. Sera telah terbangun. Wajahnya pucat, dia ketakutan.

Lolongan murka kembali terdengar, diikuti dengan guncangan tanah lain. Seorang pemuda di samping Claire nekat membuka tirai tenda. Matanya langsung membeliak begitu melihat pemandangan di hadapannya.

Cerberus, monster setinggi tujuh meter dengan tiga kepala, tengah mencoba merangsek masuk melewati lingkar suci. Mereka meloncat dan menubruk udara di atas lingkar tersebut. Ketika melakukannya, dinding transparan langsung tercipta. Dinding tersebut mementalkan sang monster, membuatnya meraung murka selagi menggeram berbahaya.

Jika Claire tidak sempat menguatkan lingkar suci itu, tenda evakuasi ini pasti sudah luluh lantak.

"Demi Dewa Dewi! Di mana para pendeta dan penyihir itu?! Apa yang mereka lakukan?!" seru salah seorang warga. "Bagaimana bisa mereka membiarkan monster ini menyerang kita?!"

Tanah kembali berguncang. Cerberus lain mulai berdatangan, ukuran mereka jauh lebih kecil, kurang lebih dua hingga tiga meter saja. Walau begitu, jumlah mereka begitu banyak. Mereka mengepung tenda evakuasi, bersama-sama mencoba mendobrak lingkar suci yang terpasang.

Claire mulai berkeringat dingin.

Kondisi ini benar-benar buruk.

"Aku akan mencoba melawannya!" seru pemuda yang sempat berdiri di samping Claire.

"Cornell! Tidak!" seru seorang wanita, kentara sekali ibu sang pemuda.

Sosok yang diperingatkan telah merangsek keluar. Dia menarik pedang dari sarungnya, berancang-ancang lari dan berteriak untuk menyerang.

Beberapa pemuda lain mengikuti.

"Kita tidak bisa diam saja! Apakah kalian tidak bisa berpedang?!" seru salah satu di antara mereka, memprovokasi.

Pemuda yang jelas-jelas belum sepenuhnya menguasai seni berpedang langsung mengatupkan mulut. Mereka memalingkan wajah. Telapak tangannya bergetar ketika meraih pedang yang tergeletak di atas tanah.

Sekitar sepuluh orang pemuda melesat pergi melewati Claire. Mereka semua menghunus senjata, tidak mendengar peringatan para orang tua. Ketika menoleh ke belakang, tahu-tahu orang yang membawa senjata sudah tiada. Mereka semua telah keluar untuk mencoba melawan monster gelap.

Edwin telah berdiri di samping Claire, dia memintanya mundur ke belakang.

"Mereka akan mati. Kita tak bisa menyelamatkannya," ungkap sang ayah. "Para pendeta dan penyihir itu kemungkinan besar telah mati. Ayah akan membuat mekanik baru. Kau, ibu, dan Sera sebaiknya pergi—-"

Raung kesakitan mengalihkan perhatian. Seorang pemuda telah terhempas keras ke atas tanah. Dia jatuh tepat di atas garis suci. Cerberus setinggi tujuh meter berdiri di hadapannya, menatap dengan mata semerah darah. Telapak kakinya terangkat. Kuku-kuku tajam mengilap, terkena pantulan sinar cahaya obor.

Cerberus meraung. Seorang ibu di belakang sana menjerit.

"CORNELL!"

Claire mengatupkan mulut. Kedua mata menyipit.

Di sampingnya, Edwin hendak menarik lengan Claire untuk mundur. Uluran tangannya menggenggam udara kosong. Putrinya telah melesat pergi, meloncat dengan begitu cepat selagi menyabetkan cahaya keperakan tepat ke tubuh sang monster. Sabetan cahaya itu menghasilkan embusan angin kencang. Cerberus besar dan kecil yang mengepung tenda evakuasi langsung terdorong mundur. Claire mendarat dengan mulus di samping pemuda bernama Cornell. Dia menatap mata ketakutannya, kemudian langsung meraup tubuh tinggi besar itu ke dalam gendongan, membawanya kembali ke dalam lingkar suci.

Tubuh sang pemuda diturunkan ke atas tanah. Semua mata terkunci pada seorang perempuan muda yang baru saja melakukan hal yang paling tidak terduga.

"Jangan menyerang tanpa rencana," ujar Claire, masih memandang para pemuda lain yang terlihat bagaikan semut di antara para monster besar. "Kita perlu memikirkan sedikit taktik."

Claire membenarkan ikat rambutnya. Dia menepuk gaun tidur yang telah kusut, lalu berjalan mendekati sang ayah. Senyuman minta maaf tersemat pada bibir.

"Dulu aku sempat diam-diam belajar sihir, Ayah. Ayah tidak perlu membuat mekanik itu. Aku akan mencoba mengulur waktu dengan para calon ksatria." []