Chereads / Pengantin Pengganti (Istri CEO) / Chapter 4 - Mawar dan Hujan

Chapter 4 - Mawar dan Hujan

Alexa terbangun dari tidurnya. Dengan kepala yang terasa akan meledak, sambil memegang kepalanya yang amat pusing. Rasanya sepertu ditusuk tusuk ribuan pisau dan dipukul oleh palu. Alexa melirik jam yang menunjukan pukul sepuluh. Ternyata kesiangan sudah menjadi kebiasaan barunya.

"Kepalaku pusing." Desis alexa pelan.mencoba bangkit dari kasur dan berjalan menuju kamar mandi. Bahkan dirinya tidak mengingat apapun yang terjadi kemarin. Memori akhir terlintas dikepalanya. Jemarinya yang lentik menyentuh bibirnya. Hal bodoh apa yang dilakukannya semalam.

Meminta maaf mungkin bisa membantu. Tetapi bagaimana mungkin atas semua kegilaan dia memaafkanku. Iya mengetuk kepalanya agar mengingat memori yang tertinggal. Hasilnya nihil iya tidak mengingat apa apa. Aku keluar dari kamar. Tidak menemukan seorangpun disini. Kemana dia? Saat menuju kebelakang aku takcup dibuatnya. Bunga mawar yang tertata rapi. Jelas bukan Kak Daren yang menanamnya.

Aku mendekat kesana memetik satu tangkai mawar. Tidak akan mengurangi kecantikananya meskipun kupetik karena ada beribun disini. Sungguh nyaman. Jauh dari pusat kota. Mendengar kicauan burung. Sungguh tempat yang kuidamkan. Andai saja aku bisa tinggal disini selamanya.

"Sudah baikan?" Suara pria itu. Aku membalikan badanku. Bahkan aku tidak mendengar suara kakinya mengarah sini. "Sudah. Terima kasih."

"Minum ini untuk mengurangi sakit kepalamu." Aku menerimanya dengan senang hati. "Maaf merepotkanmu. Dan jika ada kesalahan yang kuperbuat menyinggungmu. Dari hati yang paling dalam aku memohon maaf."

"Mabuk bisa membuat kita jadi diri sendiri. Dan aku tidak menyalahkanmu jika mengumpat diriku terus."

Aku tersentak. Sungguh malunya. "Maaf"

"Tidak apa. Nikmati aja pemandangan ini sesukamu. Kurasa kamu menyukai tempat ini sebelum pulang lakukan hal yang ingin kamu lakukan. Aku akan melanjutkan pekerjaanku."

Aku tersenyum menatap punggungnya yang menjauh. Langit yabg cerah berubah menjadi gelap. Rintik air terjatuh. Sepertinya akan hujan. Bahkan hujan sudah turun dengan deras. Menikmati hujan ditaman ini sungguh membuatnya tidak mempedulikan jika iya akan sakit.

Orang lain mungkin akan berlari mencari perlindungan. Tidak denganku, menikmati hujan yang luruh seperti mengurangi rasa sakit yang ada. Membiarkan dirinya basah tanpa bergeming. Membiarkan iya menyatu dengan keadaan sekitar. Iya dan bumi sama sama bersedih.

"Apa yang kamu lakukan?" Suara bariton pria dibelakangnya membuat iya berbalik menatap pria yang masih memakai pakaian yang sama. Mencoba berlindung dari hujan dengan payung yang iya genggam.

"Aku menikmati hujan."

"Dirimu akan sakit Ale."

"Tenanglah Kak, ini caranya menghilangkan rasa sakit itu."

Beberpaa detik kemudian membuat dirinya terkejut. Ya dia melepaskan payungnya dan berdiri disebelahku. "Kurasa kakak tidak akan cocok disini. Kakak akan terkena flu nantinya."

Dia tertawa didalam derasnya hujan. "Setiap manusia pernah merasakan sakit Ale, apalagi aku. Sakit karena tubuh kurang sehat ataupun sakit karena ditinggal pergi wanita yang kita cintai."

Hatiku berdesir. Yang dikatakannya memang benar. Semua punya rasa sakitnya masing masing. Manik matanya yang hitam menatapku. "Ayolah Ale, jangan membuat dirimu menjadi sakit."

"Aku baik baik saja kak. Sebaiknya kakak masuk terlebih dahulu."

"Kenapa tidak mencegah tubuhmu agar tidak sakit Ale? Orang yang menyayangimu akan sedih melihatmu begini."

Aku tersenyum kecut. "Sayangnya tidak ada yang seperti itu dalam hidupku."

"Tentu saja kamu punya."

Aku menaikan sebelah alisku. "Siapa?"

"Orang tuamu, Dion, Mama dan Papa."

Aku berjalan melewatinya. Tiba tiba tubuhku terbalik dengan paksa ketika tangannya mencoba memutar tubuhku. Aku menatap matanya dengan tajam. Bahkan tidak kalah tajam dari matanya. "Aku peduli padamu. Kita bisa jadi teman Ale."

Dia menaruh tangannya diwajahku. Membelainya lembut. Mencoba meneliti setiap incinya"Lihat wajahmu sangat pucat." Ucapnya lirih.

"Itu juga terjadi dengan orang yang kulihat." Iya menggendongku. Membawaku kedalam. Memberikan handuk dan aku hanya nenurutinya saja. Iya membawa nampan berisi makanan. Pria ini sudah berganti pakaian terlebih dahulu.

"Maaf merepotkanmu. Apakah kakak sudah makan?"

Dia mengangguk sebagai jawaban. Aku menyantap makanannya. Aku memang sedang lapar jadi malu malu juga tidak ada gunanya.

"Minum obat ini setelah makan. Aku tidak ingin kamu jatuh sakit. Aku mengangguk melanjutkan makananku. Menghabiskannya lalu meminum obatnya. "Istirahatla. Aku tidak akan mengganggumu." Dia pergi meninggalkan kamar, hilang dibalik pintu dan menandakan keberadaannya yang menjauh.

Aku berjalan ke tirai jendela. Melihat hujan yang masih tidak berhenti. Sungguh kerasan itulah yang dirasakannya mungkin. Kembali keranjang untuk mengistirahatkan badannya sedikit. Atau flu itu akan datang menyerangnya.

***

Aku turun menatap pria yang mungkin sudah lama duduk disana sambil meminum kopi yang ada ditangannya. Mungkin dia tidak sadar kedatanganku. Hingga ekspresi terkejut muncul di wajahnya. "Sudah lebih baik?"

Aku tersenyum. "Terima kasih mau menjadi temanku."

"Kita akan menjadi partner kedepannya jadi agar lebih mudah menjadi tepat tidak sulit."

Aku mengangguk. "Ngomong ngomong kapan kita kembali?"

"Sampai kamu menintanya kembali."

"Bagaimana jika aku tidak ingin kembali? Tinggal jauh dari kota sungguh menyenangkan."

Dia menatapku lekat. Apa ada yang salah dari ucapanku? Dia mengacak rambutku. "Ini dirimu bukan. Ini dia Alexa Hinston. Ralat Alexa Diwangga. Aku meminta maaf atas perkataan yang kuucapkan kepada Dion tempo lalu."

"Kakak tidak salah. Itu kenyataannya. Menyesali sesuatu yang sudah terjadi tidak akan mengubahnya. Besok kita kembali itu keputusanku."

"Baiklah."

"Siapa yang menanam bubga mawar sebanyak itu?"

"Jika kuberi tahu apa kamu akan percaya?"

Keningku mengkerut. "Siapa?"

"Alena. Dia menanamnya karena dia bilang Alexa menyukai bunga mawar. Ibu tidak menyukainya dia menanam dirumah. Jadi sebagai bentuk kasih sayangnya dia menanamnya disini."

Aku tertekun. Antara percaya dan tidak. Mustahil bukan? "Selama aku berhubungan dengan Alena dia selalu menceritai mu Ale. Ale begini Ale begitu. Makanya pas kabur aku mengatakan padamu pasti dia akan mencarimu."

"Mengapa begitu?"

"Karena disetiap pertemuan kami tidak ada percakapan tentang dirimu yabg terlewat." Aku mengetahui satu fakta baru, fakta yang seharusnya tak perlu kutahu. "Mungkin untuk menutupi rasa bersalahnya padaku." Kataku cukup pelan kurasa iya tak akan mendengarnya.

"Bukan. Karen dia menyayangimu."

Fakta yang tidak mungkin terjadi. "Jangan bilang kakak hanya menghiburku."

Dia tertawa. "Aku tidak berbohong. Aku pernah bertanya padanya. Kenapa selalu membicarakan Alexsa saat bersama ku. Kamu tahu jawabannya? Dia bilang jika aku bertemu denganmu aku akan mengerti."

"Dan kakak mengerti?"

Dia mengangguk.

"Apa?"

"Bahwa kamu gadis cengeng yang bertumbal balik dengan apa yang kakakmu sampaikan padaku. Kurasa yang dikatakan kakakmu tentangmu itu dusta."

"Hey. Aku bukan gadis cegeng." Kataku tidak terima.

"Lalu apa? Tangguh? Setelah beberapa hari denganmu kamu aja menunjukan bahwa kamu lebah butuh perlindungan."

"Aku bukan seperti itu."

"Lalu apa?" Aku terdiam. Menerima lebih baik karena beberapa hari belakangan nyatanya memang begitu. " bagaimana bisa kakak menceritakan orang yang meninggalkan kakak begitu santainya?"

"Karena membenci juga tidak berarti. Hanya menambah beban diri kita. Dan tentu saja tidak mengubah apapun. Yang salah bukan mereka Ale." Ini menunjuk ke hatiku. "Ini letak salahnya. Kamu gak mau menerima kamu merasa tidak adil dirimu yang mempersulit semuanya."

Ribuan jarum menusuk hatiku. Hal baru yang harus kusadari semua memang dari cara kita menerimanya.