"Kapan kamu menikah dengan Alexa?" Tanyanya dengan hati hati.
"Baru beberapa hari yang lalu."
"Selamat ya." Manik matanya menatapku beberapa detik lalu membuang mukanya.
Dion meninggalkan kami berdua. Aku merasa bersalah padanya. Kenapa harus berjumpa di tempat yang tidak tepat dan suasana tidak bagus pula.
"Kalian saling mengenal?"
"Ya, dia pacarku. Atau kurasa sudah jadi mantan mungkin semenjak aku menyetujui menikah denganmu."
"Kenapa tidak bilang punya pacar?"
"Bilang atau tidak ini harus tetap dilakui lagian apa yang diharapkan lagi? Rencananya aku akan memberi tahunya beberapa hari lagi disaat aku sudah siap menjelaskan semuanya. Tapi lihatla takdir seakan mempermainkanku sesukanya. Aku pergi dulu ya kak."
Aku meninggalkannya. Perasaanku kacau. Tidak ada yang tersisa. Sulit sekali rasanya. Dijalan yang bahkan ramai dilalu lalang orang terasa hanya aku yang berdiri sendiri.
Aku mencintainya bahkan aku tidak sanggup mengatakan kebenarannya. Tetapi kenapa takdir menemukanku seperti yang bersalah. Apa aku sebersalah itu?
Aku memasuki bar. Aku gila. Meminum minuman yang seharusnya tidak kuminum tetapi aku prustasi. Sangat prustasi mungkin tanpa memikirkan kekacauan apa yang akan kubuat esoknya.
Ponselku berdering, aku tidak mempedulikannya. Kesadaranku sudah mulai hilang, sangat pusing rasanya.
"Satu lagi." Meminumnya sekali tegukan. Hah ini rekorku dalam meminum.
"Dasar ponsel sialan kenapa berbunyi terus. Apa maumu ha."
"Kamu dimana sudah malam. Kenapa musiknya keras sekali?"
"Sudah jangan mengganggu. Aku ingin menyenangkan diriku." Kulemparkan ponselku sembarangan.
"Hai cantik mau berdansa denganku? Kamu sungguh seksi."
"Dasar brengsek apa yang kamu lakukan ha." Pria itu menghajarnya kenapa Daren bisa disini? Atau hanya halusinasiku saja? Mana mungkin dia datang menjemputku.
"Ayo kita pulang." Katanya iya memengang pergelangan tanganku. Dimatanya memancarkan kekhawatiran. Apa dia peduli?
"Kenapa kakak kesini. Aku tidak suka diganggu." Kataku sambil memukul bahunya walaupun gak memberi efek apapun.
"Menjemputmu lihat kamu bau alkohol Ale."
"Kakak jijik padaku? Yasudah pergi saja. Jika tidak temani aku minum." Kataku sambil meneguk minuman.
"Kamu mabuk lihat sudah berapa botol yang kamu minum."
"Lepaskan. Jika tidak mau menemani pergi saja aku tidak akan pulang." Aku menyekak tangannya.
"Baiklah. Aku akan menemanimu." Putusnya akhirnya iya menatapku. Tidak bisa diartikan tatapannya kepadaku aku sungguh tidak tahu.
"Kakak tahu, hidup tidak pernah adil padaku. Dari kecil kesalahan yang Kak Alena perbuat selalu aku menanggungnya. Mulai dari hal sekolah, teman, bahkan menyangkut pernikahanpun aku yang menanggungnya."
Kutenguk satu lagi lalu berpindah diatas pangkuan pria ini. Gila. Sungguh gila. Kupandang wajahnya sangat dekat kupeluk dengan tidak tahu dirinya. "Sekarang pacarku juga akan meninggalkanku. Dia mengetahui statusku dari suami sialanku itu. Seharusnya dia tidak berbicara seperti dasar pria brengsek. Apa mau pria itu. Tidak ada satupun yang tersisa untukku." Aku menangis di pundak orang yang sedang kumaki. Kurasa jika aku sadar aku tidak akan sanggup memandangnya lagi. Sungguh.
"Apa yang kamu inginkan Ale."
Aku bangkit dari pangkuannya lalu pindah kesebelahnya menatap lekat pria ini. Tidak jelas melihatnya kepalaku sangat pusing. "Suamiku itu dia baik hanya saja kamu tahu dia membuatku seperti kambing hitam. Karena dia tahu di saat Kak Alena balik. Sudah jelas dia akan menemuiku. Tetapi Kakak tahu sebenarnya bukan aku, tetapi keluargaku. Mereka sangat menyayangi Kak Alena bahkan aku sempat iri dengan semua yang diberikan kepada Kak Alena."
Huek...huek... cairan itu keluar dari mulutku. Dan lihat pakaian pria ini terkena imbasnya. Dia tidak marah hanya mengusap punggungku dengan lembut. Aku tersenyum.
"Jangan minum jika tidak sanggup."
Aku menggeleng "Aku tidak akan minum jika tidak kacau seperti ini. Bahkan suami bukan dia tidak pantas disebut suami. Lihat dia tidak mencariku sekarang."
"Ayo kuantar pulang."
"Tidak mau. Bawa aku kemana saja yang jauh jika bisa."
"Kemana kamu inginnya?"
"Belahan dunia lain. Aku lelah sangat lelah."
"Sesuai permintaanmu."
Dia mengendongku. Aromamya sangat mirip dengan suamiku. Tetapi suamiku tidak mungkin seperti ini. Aku menatap kearah jalanan. Sunyi ternyata.
Iya memasangkan sabuk padaku. Perhatian sekali aku. Apa pria ini jarang tersenyum? Wajahnya begitu serius.
"Kemana kita pergi?"
"Tempat yang jauh."
"Benarkah."
Yang dijawabnya dengan anggukan semoga saja dia tidak menipuku. Kami turun. Tempat yang indah. Pemandangannya begitu asri.
Aku mentapnya. Bingung. "Dimana ini?"
"Villa keluargaku kita bisa disini dulu untuk menenangkanmu."
"Benarkah? Kamu sungguh baik."
"Ganti pakaianmu." Aku hanya berjalan dan masuk. Setidaknya disini masih terlihat pemandangan yang sejuk tidak seperti kota. Setelah selesai pria itu masuk. Duduk ditepi ranjang sebelahnya. Merapikan tatanan rambutku.
"Kamu cantik."
"Kamu orang kedua yang mengatakan itu padaku."
"Hanya dua orang yang mengatakan kamu cantik?"
Aku mengangguk mantap. Terdengar menyedihkan memang tetapi lwbih bagus dari satu.
"Kamu tidak mau bertanya siapa yang pertama mengatakannya?"
"Ayahmu?"
Aku menggeleng. Sudah jelas bukan dia. Walaupun pernah bilang begitu tetapi itu untuk membujukku menikah dengan suamiku yang sekarang.
"Yang tulus mengatakannya hanya Dion dan dirimu. Ayah mengatakannya ketika membujukku untuk menikah dengan tunangan kakakku. Dia sering memuji Kak Alena dalam segala hal. Mengatakan salah satunya padaku tidak akan mengurangi pujiannya ke Kakakku itu. Tapi tidak pernah dia lakukan."
Air mataku tumpah. Aku tidak pernah secengeng ini. Sungguh. "Aku tidak pernah mengharap pujiannya lagi tetapi disaat dia memujiku itu yang kuharapkan keluar dari mulutnya bahkan kata itu terucap untuk menyelamatkan putri kesayangannya."
Dia menghapus air mataku dengan jarinya. Senyumnya tulus sangat tulus. Jika aku tidak menemuinya mungkin aku sudah berada dimana sekarang.
"Apa yang membuatmu sesedih ini?"
"Karena orang yang sangat mengerti diriku meninggalkanku. Dia satu satunya orang yang memberiku semangat. Dia yang selalu menghargai setiap usaha kecil yang buat. Dia sekarang akan meninggalkanku."
"Aku bersamamu Ale."
"Terima kasih untuk janji yang kamu ucapkam ini. Walaupun aku tidak tahu aku akan mengingatnya besok."
Dia memelukku. "Jangan lepaskan."katanya
"Kenapa."
"Biarkan saja seperti ini dulu. Nyaman bukan?"
Aku mengangguk. Ternyata aku merasakan hal yang sama dengan pria ini. Aku tidak tahu sudah berapa lama tautan ini. Iya melepaskan pelukannya.
"Bagaimana rasanya?"
Aku mengangkat satu alisku ketika tangannya berada disekitar bibir bawahku dan menatapnya dengan serius.
"Kamu sudah pernah melakukannya?"
"Tt-idak." Kataku jujur. Meskipun aku sering keluar dan mempunyai pacar aku tidak pernah melakukan hal itu.
Pria ini tersenyum samar, walau hanya sedikit tetapi aku melihat iya tersenyum. Jantungku berdebar begitu cepat. Pria itu mendekatkan wajahnya sangat dekat. Deru napasnya terdengar begitu jelas. Menempelkan bibirnya kepadaku. Entah berapa lama hingga Alexa merasa dunianya gelap total.