Banyukarta, tahun 1350.
"Aku Wusena, seorang pendekar lepas."
"Aku tidak suka menjadi prajurit kerajaan, karena mereka pasti banyak mengaturku."
"Setiap hari seperti inilah pekerjaanku, mencari orang yang membutuhkan jasaku di Banyukarta. Ibukota Kerajaan Banyu."
Wusena, pendekar muda dengan senjata pedang ganda andalannya mendekati seorang petani yang telah menunggunya sejak tadi.
"Sudah lama?"
"Tidak Tuan Pendekar."
"Baiklah, mari kita berangkat."
Sang petani pun mengangguk senyum. Sebelumnya Wusena sudah membuat janji dengan petani tersebut bahwa sang petani ingin memakai jasa pengawalannya.
Para petani belakangan ini sangat resah karena ada sekelompok perampok yang menamai dirinya dengan Kelompok Tengkorak hilir mudik mencari mangsa orang lemah yang sedang melintas di hutan.
Wusena, terus waspada berjalan di belakang pelanggannya. Dalam hatinya Wusena menggerutu, "Mungkin dia satu-satunya petani yang mempunyai ladang cukup jauh dari ibukota."
Tapi sesampai di ladang si petani. Tidak ada gangguan apapun yang mereka dapatkan. Wusena pun sedikit lega karena tidak perlu memakai tenaganya.
Beberapa waktu telah berlalu. Wusena yang awalnya terus waspada sambil terus memantau pelanggannya bekerja sampai terbawa suasana karena tidak ada gangguan apapun yang datang kepada mereka. Wusena sampai tertidur di sebuah joglo tempat biasa para petani beristirahat.
"Tuan Pendekar, Tuan Pendekar..."
Wusena yang dibangunkan langsung gelagapan. Ia pikir ada sesuatu yang terjadi, tapi ternyata tidak ada apapun. Pelanggannya membangunkannya karena hari telah menuju petang. Pekerjaannya sebagai petani telah selesai.
"Ayo kita kembali Tuan."
"Ah iya maafkan aku. Ayo."
Wusena pun segera turun dari joglo. Dan kembali bekerja untuk mengawal pelanggannya pulang.
Sudah lama Wusena dan pelanggannya berjalan. Tapi tidak ada tanda-tanda kehadiran bandit. Justru Wusena merasa gelisah jika memang tidak ada muncul bandit hari ini saat ia bekerja. Ia merasa tidak enak untuk menerima bayaran nanti karena seperti menerima gaji buta.
"Ayo muncul lah kalian.. muncul lah..." gumam Wusena melihat kesepenjuru arah berharap ada bandit keluar dan menyerangnya.
Tapi hingga mereka kembali ke rumah sang petani. Bandit yang diharapkan Wusena pun tidak muncul.
"Akhirnya kita sampai juga," ujar sang petani sepertinya sangat lega.
"Yah syukurlah," balas Wusena datar.
"Sebentar Tuan."
Petani tersebut tampak merogoh kantung emasnya.
"Astaga Tuan..."
"Eh ada apa?"
"Aku sepertinya tidak memiliki emas sepeserpun."
Wusena pun terbelalak. Bagaimana mungkin orang yang tidak mempunyai emas berpikiran untuk menyewa pendekar. Ketus Wusena dalam hatinya.
"Ah tapi tunggulah sebentar Tuan. Aku sepertinya punya sesuatu yang lain."
Petani tersebut dengan cepat masuk ke dalam rumahnya. Ia sangat terburu-buru mencari sesuatu. Hingga akhirnya petani tersebut keluar dengan membawa barang yang sejak tadi ia cari.
"Ini Tuan, mohon terimalah. Hanya ini yang aku punya," ucap sang petani sambil menyodorkan sebuah bola berwarna putih dan cukup berat.
"Eh apa ini?"
"Saya pun tidak tahu Tuan, tapi bola ini sangat cantik. Saya pikir pasti berharga. Saya menemukannya kemarin saat kemarin pergi berladang."
"Eh tidak usah Pak. Mungkin saya kembali saja lain waktu saat anda sudah memiliki emas atau perak.
"Tuan mohon terimalah, saya belum tahu kapan akan mendapatkan uang lagi. Akhir-akhir ini perdagangan sangat sulit mengingat kelompok Tengkorak masih ada di sekitar kita," melas petani tersebut.
Wusena pun jadi merasa tidak enak. Apalagi mengingat dirinya seolah tidak melakukan apapun hari ini kecuali mengekornya dari belakang.
"Baiklah, akan saya terima."
"Terimakasih Tuan!"
Akhirnya Wusena menerima bayaran berupa bola aneh tersebut. Segera ia memasukkannya ke dalam baju pendekarnya dan berpamitan untuk pulang kepada pelanggannya.
***
Sesampai di rumah, Wusena begitu kesal karena hari ini ia tidak mendapatkan bayaran apapun. Ia tidak tahu harus memakan apa jadinya, karena sehari-hari upah pendekarnya memang hanya habis untuk makan. Belum lagi jasa pendekarnya tidak selalu ada tiap hari.
"Benda apa ini," ucap Wusena kesal sambil mengeluarkan bola putih tadi.
Wusena memutar-mutar bola tersebut kesana kemari. Memang tampak cantik dan unik. Tapi rasanya tidak berguna sama sekali.
"Argh!!!"
Wusena pun dengan kesal melempar bola tersebut ke sembarang sudut rumahnya. Hingga bola tersebut membentur dinding dan lantai dengan keras.
Tapi tiba-tiba Wusena kemudian terkejut, bola tersebut mengeluarkan cahaya. Semakin lama kian membesar.
"Ehhh apa ini!"
Cahaya tersebut semakin membesar hingga menutupi seluruh ruangan di rumahnya.
Sayup-sayup Wusena seperti melihat sebuah lorong tepat di tengah cahaya tersebut. Wusena pun yang penasaran dan tidak tahu harus bagaimana lagi segera ia mendekati lorong tersebut secara perlahan.
Lorong tersebut kemudian bergetar hebat ketika Wusena sudah sudah sampai di dalamnya.
"Heee apa lagi ini!"
Lorong tersebut semakin kuat goncangannya dan mengeluarkan suara yang memekakkan telinga. Dan jleb! Dalam sekejap Wusena hilang di rumahnya.
**
Jakarta, 2010
Zleb!!!! Sebuah cahaya muncul dan dalam sekejap Wusena keluar dari cahaya tersebut.
Mata Wusena sontak melotot menatap ke sekitarnya. Terdapat banyak gedung yang sangat tinggi hampir menyentuh langit, bahkan seingatnya menara kerajaan tidak setinggi itu.
Pakaian orang-orang pun ia lihat sangat aneh. Dan semua pria kini memakai rambut pendek.
Orang-orang yang melihat Wusena menahan-nahan senyum menatapnya.
"Hey lihat, apakah memang ada acara cosplay di taman ini?"
"Haha mungkin saja. Dasar wibu."
"Hey pelankan suaramu."
Wusena tampak bingung mematung di tengah taman tersebut.
"Tuhan apa yang terjadi, dimana aku sekarang..."
"Apakah aku sudah mati? Apakah ini kehidupan setelah kematian?" Wusena tampak sangat merinding melihat segala hal di sekitarnya yang tampak sangat baru di depannya.