Senyum Ibu Nian membeku, jarinya pun mengepal di meja.
"Ibu tidak bermaksud memutuskan sesuatu untukmu. Hanya saja, saat kamu menikahi Qingqing, dia bahkan tidak tahu. Sekarang dia sudah sadar, jadi dia punya hak untuk memilih apakah dia ingin bersamamu atau tidak."
"Aku tidak tahu bahwa Ibuku sungguh peduli pada hak memilih orang lain."
Saat kata-kata ejekan penuh sarkasme itu terucap, senyumnya sudah tidak secerah tadi.
Senyumnya hanya terlihat seperti senyum sopan yang hanya digunakan untuk membuat dirinya tetap terlihat anggun.
Dia mengingatkan dengan tenang, "Lie'er, aku ini Ibumu."
Sudut bibirnya setengah terangkat, udara dingin di sekitar tubuh Nian Lie menjadi semakin intens.
"Kamu seharusnya berterima kasih bahwa kamu masih Ibuku."
Senyum Ibu Nian akhirnya menghilang dari wajahnya. Wajah hangatnya sudah hilang. Wajah sederhana dan elegan itu akhirnya menunjukkan sikap acuh tak acuhnya, "Nian Lie, kamu tahu kamu seharusnya menceraikan dia."
"Apa maksudmu dengan seharusnya?"
Ibu Nian menghela nafas karena marah kemudian berkata dengan penuh kesombongan.
"Kamu dan dia sudah menikah selama dua tahun. Faktanya kalian tidak punya perasaan apa-apa di masa lalu. Ini sudah tiga bulan sejak dia sadar, tapi hubungan kalian berdua masih saja seperti berjalan di atas es yang tipis dan tidak bisa berbaikan. Karena itu, berpisah adalah keputusan yang paling baik bagi kalian."
Mendengar ini, mata Nian Lie memancarkan kilat suram yang tidak bisa diabaikan.
Dia berkata dengan penuh arti, "Kalian masih suka memainkan trik seperti ini."
Ibu Nian mengenal putranya dengan baik. Pikirannya berbeda dari orang biasa, dia sangat sensitif dan teliti. Dia pasti tahu bahwa mereka menyuruh seseorang untuk memantaunya dan Ning Qing. Ibu Nian tidak terkejut sama sekali.
Dia mengangkat dagunya kemudian berkata dengan tegas, "Kami melakukan ini untuk kebaikanmu sendiri."
Nian Lie menaikkan sudut bibirnya yang tipis lalu melihat sekeliling, tidak ada yang bisa disembunyikan di paviliun sederhana itu.
Dia bertanya, "Kali ini dia menyuruhmu, dimana dia bersembunyi dan menunggu hasilnya?"
Ibu Nian menaikkan suaranya, jelas dengan maksud melindunginya.
"Dia adalah ayahmu!"
Nian Lie sama sekali tidak takut pada kemarahannya. Matanya yang tajam sangat dingin, "Biar kutebak. Apa dia disana?"
Di paviliun yang terletak secara diagonal di depannya, ada sebuah jendela mahoni berukir di lantai dua yang tertutup, itu adalah tempat terbaik untuk melihat semuanya.
Saat menatap ke bawah, orang yang berada disana bisa melihat keseluruhan manor. Matanya tampak menatap melewati jendela, bertemu dengan mata kejam yang ada di dalam.
Ning Qing melihat ke arah itu, dan jantungnya berdetak kencang. Ayahnya… ada disana?
Bukannya katanya dia tidak ada disini?
Ning Qing langsung mengerti sesuatu hatinya pun berubah menjadi dingin.
Ternyata, sedari awal Ibunya punya motif dan tujuannya sendiri.
Dia menarik kembali pandangannya, lalu menatap wanita elegan di depannya dengan matanya yang dingin.
Ibu Nian menebak apa yang dia pikirkan, matanya berkedip tanpa sadar, kemudian dia mengubah topik pembicaraan.
"Ini semua adalah ideku. Jangan selalu menganggap bahwa ayahmu punya niat buruk."
"Kalau begitu kamu juga coba tebak apa yang ada dalam hatiku?" Bibir Ibu Nian yang cantik bergerak.
Ekspresi Nian Lie muram. Matanya acuh tak acuh, tapi pada saat yang sama ada kemarahan yang memuncak di matanya.
"Bercerai atau tidak, itu bukan urusan orang lain."
"Kecuali aku."
Ketika kata-kata itu terucap, dia menggenggam tangan Ning Qing dengan erat dan berjalan pergi.
Dari kejauhan, kata-kata Ibu Nian terdengar sangat jelas. "Kamu tahu dengan jelas bahwa itu tidak adil baginya."
Pria itu tidak berhenti maupun berbalik.
Di paviliun, seorang wanita dengan sosok cantik berdiri di sana.
Di atas meja batu, ada sedikit uap panas muncul dari panci.
Kepala pelayan Lu maju, "Nyonya, Tuan muda dan Nona Ning sudah pergi."
Kemarahan muncul di wajah wanita itu. Dengan lambaian tangannya panci porselen berisi sarang burung yang mahal itu terjatuh dan hancur berkeping-keping.
Noda air memercik di rok berwarna gelapnya dan segera menghilang.
Kepala pelayan Lu terlihat sedikit takut, "Nyonya, jangan marah."
Kulit di tangan Ibu Nian kencang dan halus. Dia menundukkan kepalanya untuk menepis roknya yang basah. Dia mengerutkan kening ringan, seolah-olah dia marah tentang ini.
Dia melirik ke ujung jalan di taman, melihat bahwa kedua orang itu sudah tak ada disana.
Dia menahan ekspresinya kemudian melambaikan tangannya pada kepala pelayan Lu.
"Suruh orang membereskannya."
Kepala pelayan Lu menundukkan kepalanya, "Baik."