Chereads / THE MADNESS : Masa Remaja / Chapter 1 - Who is he?

THE MADNESS : Masa Remaja

🇮🇩niskala00
  • --
    chs / week
  • --
    NOT RATINGS
  • 4.9k
    Views
Synopsis

Chapter 1 - Who is he?

Apa yang normalnya remaja berusia 17 tahun lakukan? Bagi sebagian orang, itu adalah usia emas di mana seseorang akan mulai beranjak mengenal kehidupan. Fokus dengan sekolah, banyak belajar tentang jati diri, banyak melakukan hal menyenangkan seperti jalan-jalan bersama dengan teman-teman. Ya, mungkin itu yang dilakukan oleh kebanyakan remaja normal.

Sama seperti Arunika. Seorang siswi dengan paras kelewat manis, yang mengikuti alur kehidupan remaja pada umumnya. Hari-harinya disibukkan dengan berbagai tugas dan diselingi hangout dengan para sahabatnya. Hal yang tak spesial, dan semua remaja bisa lakukan.

Namun masa emas remajanya ternyata hanya bertahan sesaat. Ini dimulai saat Arunika mengenal apa itu yang namanya 'tertarik dengan lawan jenis'.

Arunika balas tersenyum kepada gerombolan siswa di depannya yang kemudian terkikik geli. Lalu balas melambai pada seorang siswa di depan koridor. Dan kemudian mengangguk kepada beberapa senior yang berjalan melewatinya. Arunika berhenti di depan lokernya dan kemudian mengambil buku kelas pertama dan keduanya.

"Kau tidak capek terus membalas sapaan mereka?"

Arunika menutup lokernya dan kemudian bertatapan dengan sahabatnya yang bersandar pada loker di sebelahnya. Senyum masih tidak lepas dari wajah cantiknya.

"Bersikap ramah bukanlah dosa, Shaka." Jawabnya enteng.

Arshaka—Shaka— memutar bolamatanya dan berjalan beriringan bersama Arunika.

"Siapa yang bilang bersikap ramah itu dosa? Aku hanya bertanya kau capek atau tidak," jawabnya.

"Kalau begitu jawabannya tidak. Aku tidak capek."

"Kau tahu, kau seakan-akan memberi harapan pada para... apa ya sebutannya-penggemarmu? Ya, ya penggemarmu. Kau terus tersenyum seperti itu, bahkan kau tidak menolak mereka mengajakmu untuk belajar bersama!" Jelas Shaka dengan alis menukik.

"Memangnya salah kalau aku menerima ajakan mereka? Toh itu hanya belajar bersama," Arunika mengangkat bahunya dan membalas sapaan dua orang siswi yang baru saja mereka lewati, lagi.

"Itu dia masalahnya!" Shaka mendadak berhenti dan menunjuk Arunika tepat di hidungnya. "Kau mengira bahwa itu hanyalah sesi belajar bersama, tapi bagaimana dengan mereka? Mereka menganggap semua itu lebih, Aru!" Shaka berseru heboh.

Arunika menepis tangan Shaka dan kembali berjalan. "Kencan maksudmu?"

"Exactly. Mereka mungkin akan menganggapnya lebih, Aru. Tidak. Mereka pasti menganggap itu kencan," Shaka mengangguk yakin.

"Siapa yang kencan?"

Suara lain terdengar di belakang mereka. Seorang pemuda tinggi yang, berambut gelap yang tersisir ke belakang dan mata yang membentuk bulan sabit saat ia tersenyum berdiri di belakang mereka dengan kedua tangan memegang strap tas punggungnya.

"Jean!" Shaka menghambur dan segera menempel erat kepada pemuda yang bernama Jean tersebut.

"Baby tummy, hai," lalu hidung mereka saling menggesek dan kikikkan geli terdengar dari bibir mereka berdua. Arunika mengeluarkan suara seakan dia muntah. Membuat kedua temannya tertawa dan melepaskan diri.

"Kalian tadi membicarakan kencan siapa?" Tanya Jean setelah mereka sampai di ruang kelas.

Shaka mengedikkan dagunya kearah Arunika dan ia duduk di tempat biasanya di antara Jean dan Arunika. "Hal yang biasa. Aru yang tidak menolak ajakan 'belajar bersama' dari penggemarnya," Shaka membuat gestur tanda petik pada 'belajar bersama'.

Jean ber-ah paham. Arunika memutar bolamatanya. "Memang benar hanya belajar bersama tidak ada yang lain."

"Sure, babe, sure," jawab Shaka yang sudah mengeluarkan bukunya.

"Serius. Kalian berdua tahu benar aku tidak tertarik pada siapa pun," tambah Arunika.

Shaka menutup kembali mulutnya saat melihat guru pelajaran pertama sudah memasuki ruang kelas dan mengumpulkan tugas akhir minggu mereka. Mereka bertiga diam dan fokus pada pelajaran yang diterangkan-Shaka sudah mulai bosan sebenarnya.

Tiga puluh menit kemudian, pintu kelas menjeblak terbuka dan seseorang berdiri disana. Dengan wajah tampannya datar tanpa ekspresi sembari jari-jari kurus menyisir poni gelapnya yang terus menutupi mata coklat madunya. Tangannya yang lain menggenggam strap ransel biru muda di punggungnya. Anting-anting perak panjang di telinga kanannya berayun.

Seisi kelas hening.

"Kau selalu datang terlambat, Sagara!" Guru pelajaran di depan kelas mereka berseru.

Namun pemuda itu masih menatap datar tanpa ekspresi, dan berjalan pelan menuju kursinya di belakang kelas.

"Hey! Sagara, kau fikir sekolah ini milikmu?! Seenaknya saja kau memasuki kelasku!" Mr. Jang, guru yang sedang mengajar di kelas mereka menggertakkan giginya kesal. Dan Sagara yang berlagak seolah tidak terjadi apa-apa semakin membuatnya kesal.

"SAGARA!" Teriak Mr. Jang.

Sagara mengangkat wajahnya perlahan dan menatap Mr. Jang. "Dasar anak tidak tahu sopan santun! Sudah datang terlambat dan kau melewatiku seolah tidak terjadi apa-apa! Aku yakin kau bahkan tidak mengerjakan—"

SLAM!

Mr. Jang membeku seketika.

Sagara tanpa sadar menghentakkan buku tugasnya di meja. Sial, dia terbawa perasaan lagi. Mencoba menenangkan diri, Sagara kemudian berjalan menuju Mr. Jang yang mundur satu langkah dan memberikan buku tugasnya padanya.

"Tugas akhir mingguku," bisiknya, lalu Sagara berjalan keluar kelas dan membanting pintu, berjalan keluar kelas dan membanting pintu.

Arunika yang sedari tadi hanya diam memperhatikan menoleh ke belakang menatap Jean dan Shaka—yang ternyata sudah menatapnya duluan.

Seolah tahu apa yang difikirkan Arunika, Shaka berucap pelan.

"Tidak tertarik pada siapa pun, kecuali satu orang."

Mereka bertiga menatap pintu kelas yang tertutup setelah dibanting oleh Sagara. Pemuda yang entah kenapa selalu menarik perhatian Arunika. Rambut gelapnya yang terlihat sangat halus. Mata sewarna langit malam yang selalu tampak kosong. Dan wajahnya selalu terlihat datar seolah ia tidak memiliki stok ekspresi lain.

Pemuda itu memesona siapa saja yang memandangnya. Membuat orang-orang akan menoleh dua kali karena sangat rupawan tapi bukan itu yang membuat Arunika tertarik padanya.

Sagara itu terlihat gelap, sama seperti matanya. Tampak manis namun terlihat beracun. Terlihat diam namun memiliki aura berbahaya. Namun tidak bisa membuat Arunika tidak merasa candu. Dan sejak awal Arunika melihatnya, Arunika merasa rindu. Aneh memang, mereka tidak pernah tegur sapa maupun terlibat percakapan apapun setelah Arunika menginjakkan kaki di sekolah ini. Namun entah mengapa, Arunika merasa—dekat?

Terkesan sebagai berandalan memang tingkah Sagara. Siswa berusia 17 tahun itu sering membolos dan sering tidur di kelas. Namun nilainya tak pernah buruk. Alih-alih tinggal kelas, Sagara justru sering menjadi juara. Meski bukan sebagai juara pertama walaupun nilainya memang yang tertinggi, sikapnya sedikit banyak juga berpengaruh.

Merasa aneh? Tentu. Awal mula Arunika berpikir jika Sagara adalah anak dari pemilik sekolah, makanya pemuda dengan aura dingin itu bisa menjadi juara. Namun nyatanya tidak. Sagara memang cerdas. Sudah berulangkali Sagara membuat guru-gurunya bungkam dengan kemampuannya.

Seperti hari ini. Tidak ada yang bisa menyelesaikan tugas Mr.Jang sebelumnya, namun dengan santainya Sagara mengumpulkan tugas dengan kesulitan dewa itu.

"Sikapnya… apa dia titisan iblis?" gumam Arunika degan tawa pelan di akhir kalimatnya.

Shaka yang mendengarnya menoleh, mengerutkan kening lalu berbisik pelan.

"Kau itu sedang memuji atau apa?" bisik Shaka.

"Aku memujinya,"

"Pujianmu payah, bodoh."

Arunika berdecih pelan, tak menanggapi ucapan sahabatnya yang kini kembali fokus ada bukunya.

***

Langkah Sagara terasa berat, netranya yang sekelam malam nampak menyorot redup tanda lelah. Langkahnya kini membawanya ke arah rooftop sekolah. Tak ada yang menarik di sana, hanya ada sebuah sofa panjang usang yang sudah tak layak pakai, kardus tak terpakai yang bertumpuk dengan bahan-bahan bekas mading, beberapa sampah bekas bungkus makanan dan rumput liar yang ada di sudut. Serta beberapa anak yang tengah membolos yang nampak merokok di sana.

"Pergi."

Masih degan tanpa ekspresi, Sagara mengusir dengan nadanya yang rendah mengintimidasi. Tak memakan banyak waktu, kini segerombolan anak yang tengah merokok itu perlahan berjalan turun dari rooftop. Meninggalkan Sagara kini sendiri, duduk di sofa usang.

"Sudah enam hari, dan aku belum menyelesaikan tugasku," gumamnya lalu sekian detik berikutnya mengusap wajahnya kasar.

Helaan napasnya terdengar kasar. Netranya kini mengerjap, setengah memicing mengamati langit cerah. Tangannya kini bergerak membuka tasnya, mengambil sebuah drone kecil dan pengendalinya.

"Bayu?"

Kilat, Sagara menoleh ke arah sumber suara. Matanya sedikit mengerling mendapati seorang pemuda dengan rambut cokelat gelap acak-acakan, dengan mata bengkak mengerjap ke arahnya.

"Jangan panggil aku dengan sebutan yang kubenci, Matheo. Aku sudah berulang kali memperingatkanmu," kata Sagara dengan tajam.

Pemuda yang dipanggil—Matheo— itu terkekeh pelan. Tungkainya kini bergerak, membawanya mendekat ke arah Sagara yang kini sudah kembali berfokus pada drone-nya.

"Kenapa kau ada di sini? Bukannya ini ada pelajaran favoritmu dari Mr.Jang?" tanya Matheo yang kini mengambil tempat duduk di samping Sagara.

"Aku benci dia."

Singkat Sagara menjawab, dan itu membuat Matheo kini tertawa.

"What's wrong, dude? Sepertinya kau sedang kesal hari ini?" ujar Matheo setelah tawanya mereda.

Sagara tak segera menjawab. Pemuda dengan netra sekelam mata itu justru fokus pada drone-nya. Menerbangkannya, dan menggerakkannya ke kanan dan kiri lewat pengendali, sebelum akhirnya drone itu terbang tinggi dan menjauh dari jangkauan dari keduanya.

"Aku belum berhasil dengan tugasku minggu ini, dan mama akan pulang besok." Setelah sekian lama terdiam, suara Sagara terdengar.

Matheo nampak mengerjapkan matanya, memandang wajah Sagara dari samping.

"Walikota Adi? Bukannya dia tagetmu?" ujar Matheo.

Sagara tak menjawab, hanya anggukan samar yang diberikannya.

"Kenapa? Tidak biasanya kau lama melakukannya."

Sagara diam. Netranya kini tertuju pada layar RC drone di kedua tangannya yang menampilkan sebuah komplek perumahan. Matheo di sebelahnya kini ikut memperhatikan, meski belum paham akan yang dilakukan Sagara.

"Apa karena anak baru itu?" tanya Matheo kembali memecah keheningan.

Pergerakan tangan Sagara yang tengah mengontrol drone-nya kini terhenti. Netra sekelam malamnya sedikit melirik Matheo yang kini mengangkat alis seolah meminta jawaban.

"Apa dia benar-benar Renjana?" imbuh Matheo yang kini membuat Sagara menghela napas panjang.

Sagara kembali fokus pada RC drone di tangannya. Kepalanya entah mengapa mendadak pening dengan denging yang tak mengenakan.

"Dia benar-benar Renjana. Renjana Arunika, sayangnya dia sama sekali tak mengingat siapa aku."

'PLAK!'

"Awh…holy shit!"

Umpat Sagara setelah menerima pukulan di belakang kepalanya. Matanya nyalang ke arah Matheo namun dibalas oleh Matheo.

"Bagaimana dia akan ingat kalau kau tidak memberitahunya? Kalian tidak bertemu setelah 7 tahun. Lagipula kau di sini dikenal dengan nama Sagara, bukan Lembayung, bodoh!" kesal Matheo.

Ah, Lembayung. Lembayung Sagara.

Nama lengkap yang selama ini disembunyikannya. Nama yang Sagara tidak ingin ada yang menyebutnya.

"Haruskah aku memberitahunya?"

"Teruslah berpikir, dan biarkan ibumu membunuhmu saat dia tiba besok, karena anaknya tidak bisa menyelesaikan tugasnya."