"Kau berhasil membunuhnya?" tanya seorang perempuan paruh baya kepada Sagara saat Sagara sudah pulang ke rumah besar atau bisa disebut mansion miliknya.
"Ya, Mom. Dia mati keracunan minumannya sendiri. Tidak ada yang melihatku karena cctv sudah kusadap sejam sebelum aku datang. Tidak ada tetangga di sekitar rumahnya. Radius sepanjang 100 meter rumahnya hanya dikelilingi pekarangan penuh pepohonan tinggi. Kupastikan tidak ada yang melihatku. Aku tidak meninggalkan jejak sama sekali." Sagara masih membungkuk menjawab pertanyaan ibunya. Ia tidak berani menatap wajah ibunya sebelum ibunya mengizinkannya melakukan hal tersebut.
Ibu Sagara terlihat sedikit puas dengan jawaban anaknya. "Butuh berapa lama kau membunuhnya?"
"Seminggu. 6 hari untuk menganalisa, memperhitungkan gerak dan kebiasaannya lalu satu hari untuk mengeksekusinya."
Plak!
Tamparan keras mengenai pipi kanan Sagara hingga memerah. Laki-laki berambut abu itu masih tetap membungkuk, ekspresinya tetap tenang, tidak berubah sama sekali walaupun ia merasakan rasa panas dan sakit dari tamparan ibunya.
"Bodoh. Seharusnya kau bisa lebih hebat dari itu." Ibu Sagara memandang remeh anak semata wayangnya. Tidak ada emosi marah atau apapun itu tersirat di wajahnya. Sama seperti ekspresi wajah Sagara yang tetap tenang dan tak bisa dibaca.
Sebelum ibunya berlalu meninggalkan Sagara, wanita paruh baya tersebut menendang Sagara dengan tenaga penuh, membiarkan anaknya terpental hingga punggungnya membentur tembok. "Lain kali, lakukan dengan lebih baik."
Sagara yang meringkuk karena tendangan ibunya, dengan segera bangkit berdiri lalu membungkuk lagi, "Maaf, mommy, aku akan melakukannya dengan lebih baik lagi."
Seperti itulah malam demi malam yang dilalui seorang Lembayung Sagara. Murid tercedas di sekolah menengah atas terelit di kotanya adalah seorang pembunuh bayaran. Sejak ia masih sangat kecil, keluarganya mendidiknya untuk menjadi seorang pembunuh. Ia bahkan sudah belajar kimia dan alkimia sejak berumur 6 tahun. Anatomi tubuh manusia sejak 7 tahun dan segala macam ilmu yang sebenarnya belum dipelajari oleh anak-anak seumurannya.
Sagara berjalan linglung menuju ke kamarnya di lantai atas. Masih dirasakannya rasa sakit di pipi dan perutnya karena ulah ibunya sendiri. Setiap malam, ia selalu mendapatkannya, tak pernah sekalipun ibunya puas dan memuji pekerjaannya. Saat ia membuka pintu kamarnya, seseorang sudah duduk di atas ranjangnya. Dengan sigap, Sagara melemparkan pisau kecil yang ia sembunyikan di lengannya.
"Whoa, apakah ini caramu menyambut sahabatmu sendiri, Bayu?" orang tersebut menghindar dengan tangkas dari lemparan pisau Sagara yang terfokus mengincar wajahnya. Yang ada, pisau Sagara sudah menancap ke sisi ranjangnya sendiri.
"Aku benci melihatmu disini. Sudah berapa lama kau disini?" Sagara tidak memperdulikan orang itu, ia melepaskan jaket dan kaosnya, menyisakan tubuhnya yang bertelanjang dada terlentang di atas sisi ranjang yang lain yang tidak ditempati oleh orang tersebut.
"Baru saja. Aku masuk lewat jendela. Sebenarnya aku ingin pindah ke sekolahmu dan ikut mengawasimu disana. Aku benci jika kau memiliki teman lain selain aku dan Matheo."
Sagara terkekeh mendengar ocehan sahabatnya itu. "Bicara apa kau ini? Lakukan saja pekerjaanmu dengan benar. Tak usah pedulikan aku, Gentala."
Sahabat Sagara yang bernama Gentala Andaru tersebut tersenyum mendengar balasan Sagara. Kini ia ikut terlentang di atas ranjang sahabatnya itu, memandang ke langit-langit kamar Sagara. "Matheo bilang, hari ini kau mendekati Arunika. Kau benar-benar tidak bisa melupakannya ya?"
"Walaupun dia tidak mengenaliku lagi, setidaknya aku bisa mendekatinya dari awal lagi bukan?" Ekspresi Sagara yang sulit ditebak kini berubah sendu. Hanya pada Gentala lah ia bisa menunjukkan sisi manusianya, bukan sisi gelap dimana ia harus pintar berakting dan menyembunyikan perasaan serta nafsu membunuhnya.
"Kalau dia sampai mengingatmu, kau berada dalam masalah." Gentala memperingatkan Sagara.
"Aku sudah punya rencana sendiri untuk Arunika. Dia tidak akan kubiarkan lepas lagi dariku." Sagara bertekad.
"Walaupun Matheo bukan pembunuh bayaran seperti aku dan ayah, kau tetap harus melibatkannya dalam rencanamu, Bayu."
"Ya, aku tau. Kakak tirimu itu sangat membantu di sekolahku."
"Pembunuh tidak akan melibatkan perasaan dalam melakukan pekerjaannya, Bayu."
Hening. Tidak ada yang bersuara diantara kedua sahabat tersebut. Pandangan keduanya kini berubah serius masih tetap terfokus pada langit-langit kamar Sagara.
"Gentala, jika aku harus membunuh Matheo dalam misiku, kuharap kau tidak akan membunuhku."
"Tidak masalah. Pekerjaan tetaplah pekerjaan. Selesaikan urusanmu dengan Arunika secepat mungkin."
"Aku juga berharap begitu. Walau bagaimanapun, yang membunuh kedua orang tuanya adalah aku."
***
Sagara memainkan ponselnya, melihat isi rekeningnya yang sudah bertambah puluhan kali lipat dari sebelumnya. Kematian targetnya tadi malam yang merupakan rival bisnis dari kliennya menghasilkan banyak sekali uang masuk ke rekening Sagara. Ya, begitulah caranya mencari uang sejak kecil. Sagara bahkan lupa sudah berapa nyawa yang mati di tangannya dari seluruh penjuru dunia.
Selama tinggal di Amerika, mungkin ia memiliki banyak klien dan target yang bisa dibunuh. Namun, menurutnya, tantangan di negara paman Sam tidak begitu menarik untuknya. Ia lebih suka membunuh di wilayah Asia dimana nama keluarganya pun memang besar dari benua tersebut.
Nama Gentala sendiri tak sebesar nama Sagara, bahkan jauh berada di bawah laki-laki berambut abu itu. Kemampuan mereka berdua bahkan berbeda jauh. Sagara berkali lipat jauh berbakat dan lebih baik dalam hal bunuh-membunuh dibandingkan dengan sahabatnya yang berparas tampan itu. Walau begitu, Gentala tetap tidak menganggap Sagara sebagai rival. Ia selalu setia membantu jika Sagara membutuhkan bantuan meskipun belum pernah satu kali pun Sagara meminta bantuannya. Sagara terlalu cerdas untuk menyelesaikan semua pekerjaannya sendiri.
Setelah mengecek isi rekeningnya melalui ponsel, Sagara memasukkan ponselnya ke dalam tas dan berangkat menuju ke sekolah. Sesampainya disana, orang yang pertama kali menyapanya adalah Matheo yang sudah menunggu di depan gerbang sekolah. "Yo, man!"
"Aku akan membolos hari ini. Kau ikut?" ajak Matheo saat Sagara sudah sampai di depan gerbang, mereka kemudian berjalan beriringan menuju ke kelas.
"Lain kali saja, aku ingin tidur di kelas hari ini Matheo," balas Sagara. "Kenapa kau ingin membolos? Apa terjadi sesuatu?"
Matheo menghela nafas berat. "Aku belum tidur, tadi malam aku meladeni Gentala bermain game dari pagi setelah ia pulang dari tempatmu. Mau apa sebenarnya dia menemuimu?"
"Tidak banyak yang kami lakukan, dia hanya menanyakan tentang Arunika dan aku. Setelah itu dia memintaku menemaninya bermain video game tapi aku sudah sangat lelah karena pekerjaan, jadi aku mengusirnya."
Sagara dan Matheo sudah menaiki tangga menuju ke kelas mereka di lantai dua.
Mendengar kata pekerjaan dari mulut Sagara, Matheo hanya mengangguk. Ia sudah tahu apa pekerjaan Sagara bahkan ia kadang terbiasa mendapati ayah tirinya dan Gentala membicarakan pekerjaan mereka ketika berada di rumah. Ibu Matheo yang merupakan ibu tiri Gentala juga berada di Kanada karena pekerjaan bisnisnya.
Sejujurnya Matheo tidak takut sama sekali berada di dekat Sagara. Ia bahkan sangat tahu bagaimana sistem kerja pembunuh bayaran professional apalagi dengan nama sebesar keluarga Sagara. Mereka tidak akan sembarangan membunuh orang yang tidak ada dalam kontrak kerja. Diam-diam ia menyayangkan kenapa laki-laki semanis Sagara, secerdas Sagara dan sebaik Sagara harus menjadi seorang pembunuh.
"Ya, karena kau tidak mau menemaninya, ia membangunkanku jam 3 dini hari hanya untuk menemaninya bermain game sampai jam 6 pagi. Memang sudah gila. Padahal dia juga harus sekolah keesokan harinya." Matheo mengeluh tiada henti dan Sagara hanya tertawa kecil menanggapinya. Tipikal Gentala, sahabatnya sejak kecil itu sangat suka perhatian dan ditemani.
"Gentala bahkan bilang ingin pindah kesini dan mengawasimu dan Aru. Tentu saja ayah tidak akan mengizinkannya," lanjut Matheo.
"Gentala memang bodoh. Pekerjaannya sendiri juga masih banyak yang belum ia selesaikan di sekolahnya sekarang."
"Dia hanya cemas padamu dan rindu dengan Aru, Sagara." Matheo terus berjalan melewati kelas mereka saat Sagara berbelok masuk kelas. Tak lupa, Matheo melambaikan tangan pada Sagara sebelum berlari meninggalkan laki-laki berambut abu itu.