Bel tanda istirahat sudah berbunyi sejak 10 menit lalu. Dan di sinilah sekarang Arunika dan Shaka berada. Di kantin, dengan sajian semangkuk mie ayam dan juga segelas jus jeruk. Dan ya… seperti biasa, celotehan Shaka yang membahas berbagai topik kini menemani keduanya. Shaka itu cukup kelewat aktif, ngomong-ngomong.
"Hai Aru!" seruan terdengar. Dennis—student council president— nampak tersenyum ke arah Arunika, sembari membawa nampan berisi makanan pesanannya.
"Hai," sapa Arunika seadanya.
Shaka yang tadinya berceloteh tanpa henti seketika membungkam melihat Dennis menyapa Arunika dan bahkan tidak menganggapnya ada.
"Aku juga ada di sini, ngomong-ngomong. Apa aku tidak terlihat?" celetuk Shaka yang membuat Dennis menoleh ke arahnya.
"Halo Shaka!" sapa Dennis
Shaka berdecih pelan, "Telat!" katanya lalu menyuap seseondok mie ayam dengan tatapan nyalang ke arah Dennis.
"Hari ini aku pulang telat, ada rapat setelah pulang sekolah. Kau tidak apa-apa pulang sendiri?" ujar Dennis memulai percakapan.
Arunika menoleh, mengangguk dengan senyuman.
"Tidak apa-apa. Aku bisa naik bus," jawabnya dengan lembut.
Dennis dan Arunika memang tetangga. Arunika pindah beberapa bulan lalu, rumahnya tak jauh dari rumah Dennis, mereka masih satu komplek perumahan. Dan berkat rekomendasi dari Dennis juga Arunika bisa bersekolah di sini.
"Let me get this straight, you both dating or something?" tanya Shaka tiba-tiba.
Dua orang yang duduk bersebrangan dengannya kompak mengangkat wajahnya.
"Hentikan pertanyaan bodohmu itu, Shaka. Aku dan Dennis itu hanya teman, jangan membat gosip yang tidak-tidak." Arunika menjawab dengan alis yang menukik.
"Oke. Tapi memangnya kenapa? Rasanya akan bagus kalau student council president kita punya pasangan. Aku rasa aku akan sibuk," kata Shaka dengan mata yang mengedip lucu sembar menaik-naikkan alisnya.
Ah ya, Shaka itu ketua dari ekskul jurnalistik radio. Bayangkan saja jika yang dikatakan Shaka itu terjadi, mungkin saja dirinya akan sibuk membalas pertanyaan dan request dari para murid yang sering menitipkan salam ada Dennis maupun Arunika. Dennis sudah jelas, dia adalah murid yang cukup disegani karena jabatannya. Arunika? Meskipun dia murid baru, aura dan wajah cantiknya serta sifatnya ramah membuatnya menjadi dikenal dalam waktu dekat oleh teman-teman sekolahnya.
"Habiskan cepat makananmu itu, Arshaka. Atau kau tidak akan kuizinkan untuk melihat tugas geometry milikku." Ancam Arunika.
"Aih, c'mon Aru…"
"Ya makanya cepat selesaikan, dan jangan banyak bicara!"
Dennis tersenyum, kembali menikmati maknan yang dibawanya. Mengesampingkan perasaan aneh, yang entah mengapa rasanya sedikit terasa saat Shaka bicara soal dirinya dan Arunika.
Ketiganya kini kembali fokus pada makanannya masing-masing, diselingi pembicaraan ringan yang wajar, seputar tugas, sekolah, dan pertemanan antar remaja.
"Permisi, boleh aku duduk di sini?"
Perhatian ketiganya instan teralihkan. Arunika nampak membeku, sama seperti Dennis yang kini sedikit mengernyitkan dahi. Shaka lain lagi, remaja manis itu nampak mengerjap dengan mulut yang terbuka.
Bagaimana tidak? Yang meminta izin adalah Sagara. Siswa yang tidak pernah sekalipun mengajak siapapun berbicara.
"Meja yang lain penuh, boleh aku gabung dengan kalian?" merasa tak ada jawaban, Sagara kembali mengulang.
"Boleh, silahkan." Dennis mengambil suara lebih dulu. Mengabaikan dua temannya yang masih mematung.
"Thanks," lirih Sagara lalu mengambil tempat di sebelah Shaka.
Si remaja berisik yang sukanya berceloteh itu kini nampak bungkam. Lidahnya seolah kelu tak bisa untuk berbicara. Matanya mengerjap memandang pemuda dingin di sampingnya.
"Renjana Arunika,"
Yang punya nama mendongak, memandang Sagara yang baru saja memanggilnya.
"Sepertinya kita satu kelompok," kata Sagara dengan senyuman manis di akhir kalimatnya.
"Ya?"
"Tugas seni rupa, sepertinya aku satu kelompok dengan Renjana Arunika. Itu dirimu, kan?"
Arunika mengangguk pelan. Memutar ingatannya sendiri tentang tugas seni rupa yang dikatakan Sagara.
"Kapan kita bisa mengerjakannya?" tanya Sagara kembali membuat perhatian Arunika teralihkan.
Arunika sedikit melirik ke arah Shaka yang masih bertahan dengan eksresi bodohnya. Berdoa saja Sagara tak menganggap dirinya berteman dengan orang idiot.
"K-kau sendiri kapan ada waktu luang?" tanya Arunika kini bersuara.
Si tampan itu nampak mengerjap, memasang ekspresi seolah berpikir. "Bagaimana kalau besok setelah pulang sekolah?" tawar Sagara.
"Oke, di mana?"
"Di rumahmu saja,"
Jawaban Sagara kini berhasil membuat Dennis yang tadinya hanya menyimak sembari makan makanannya kini menoleh, memandang Sagara dengan tatapan yang –sedikit menyelidik.
"Ah, apa aku harus izin kekasihmu?" ujar Sagara menyadari ekspresi Dennis kepadanya.
Aruna spontan menoleh ke arah Dennis. "Ah, kami hanya berteman. Kalau kau tidak keberatan, kau bisa datang besok ke rumahku."
Sagara tersenyum lebar, mengangguk paham. Tanpa sepengetahuan ketiga insan di sekitarnya, Sagara mengedipkan satu matanya pada Matheo yang nampak menyunggingkan senyum sembari menikmati segelas jus di pojok kantin.
***
Sagara mendongak, memandang langit serupa netra miliknya. Semua orang terlelap dalam tidur mereka masing-masing. Kesunyian pun menyelimuti setiap sudut jalan. Hanya beberapa orang saja yang akan keluar pada jam-jam seperti ini. Siapa lagi jika bukan pekerja lembur, pekerja malam dan para kriminal berbahaya yang mengancam nyawa. Jam sudah menunjukkan pukul 1 dini hari sekarang. Anak-anak sekolah tidak akan berkeliaran di jalanan pada jam ini kecuali satu Sagara.
"Waktu yang sempurna, aku akan menyelesaikan tugasku kali ini. Bawakan aku sekaleng soda dan juga kentang goreng nanti," gumam Sagara yang ditunjukkan pada earpods yang bertengger di telinga kanannya
Sagara berdiri dengan tenang di depan sebuah rumah besar berpenjaga ketat. Kamera cctv ada di setiap sudut rumah. Anjing penjaga siap menggonggong dan mencabik dagingnya jika mereka mencium atau mendengar sesuatu yang asing di telinga mereka. Rambut berwarna abu milik Sagara tersebut menari pelan karena hembusan angin malam. Ia masih berdiri terfokus pada gerbang tinggi di depannya.
"Berhenti dan jangan ganggu aku dulu,"
"Aku ingin menyelesaikan tugasku dulu, bodoh." Ujarnya lalu memutus panggilan suara.
Detik demi detik berlalu, Sagara yang tak mengenakan jam tangan itu bahkan bisa mengetahui sudah berapa lama ia berdiri disana tanpa melihat jam. Kakinya berdiri kokoh di atas hoverboard warna hijaunya, matanya menatap kosong memperhitungkan rencana dalam otaknya.
Dua menit berlalu, Sagara tetap berdiam diri tanpa ada niat masuk ke dalam rumah besar berpagar tinggi itu. Semua cctv sudah ia sadap sinyalnya sehingga tak bisa merekam kejadian apapun di dalam maupun di luar rumah tersebut. Kedua tangannya fokus memainkan tab pengendali drone yang kini terbang tenang di salah satu sudut rumah, titik buta dari para penjaga dan anjing-anjingnya, menitik target yang sedang bersiap makan malam bersama keluarganya.
Menit berikutnya, drone tersebut masuk ke dalam rumah dan menjatuhkan beberapa tetes cairan untuk mengisi gelas berisi minuman yang ada di lantai tiga rumah tersebut. Semuanya berlangsung sangat singkat, cepat dan hening. Tak ada seorang pun yang menyadari kehadiran drone milik Sagara yang sudah menjatuhkan racun mematikan ke dalam minuman targetnya hingga kemudian drone tersebut keluar lagi dan membidik gerak-gerik target dari luar.
Setelah sudah dipastikan sang target meminum minumannya, Sagara segera menerbangkan drone tersebut sangat rendah dan berkamuflase pada pepohonan di sekitar rumah agar tidak ada seorang penjaga pun yang curiga. Ia melaju tenang dengan hoverboard-nya menembus hening malam yang mencekam. Tak ada yang mencurigainya, taka ada satupun saksi yang melihatnya saat ia beraksi. Semuanya selalu berjalan sesuai rencana dan perhitungannya.
Saat Sagara berbelok dari gang suara teriakan dan tangisan panik terdengar dari rumah targetnya tadi. Ia menyeringai dan berlalu dengan tenang membawa drone di tangannya, meninggalkan gang sepi nan gelap tersebut tanpa jejak kaki sedikitpun.
"Misi selesai, target terbunuh dengan damai."