Chereads / Istri yang Tak Dirindukan / Chapter 11 - Bab 11 Tertawa Di Atas Derita

Chapter 11 - Bab 11 Tertawa Di Atas Derita

Mobil yang di kemudikan ustadz Rahman memasuki rumah sakit. Kami pun segera turun, dan membawa Habib ke ruang UGD.

Sampai di ruang UGD kami disambut oleh para petugas medis.

"Suster, dokter, tolong anak kami," teriak Ustaz Rahman. Seraya meletakkan tubuh Habib di atas ranjang periksa.

Suster menyambut dengan segera ke datangan kami.

"Tenang, Pak. Kami akan menolong anak, Anda," ucap dokter.

Habib segera ditangani para dokter, dan suster.

Lima menit kemudian dokter keluar dari ruang UGD.

"Maaf, Ibu dan Bapak. Anak Anda mengalami keracunan makanan yang di namakan arsenik. Racun ini bekerja dalam waktu dua puluh empat jam. Sehingga saat makan yang di bubuhi racun tidak berbau rasa dan warna. Tapi, akan membuat pasien kehilangan kesadaran dan demam tinggi," jelas dokter.

Aku, dan Ustaz Rahman saling berpandangan. Seingatku Habib tidak makan sembarangan saat tiba di Jakarta.

"Bagaimana kondisinya sekarang, Dokter?" potongku kemudian.

"Kami akan mengeluarkan racun tersebut dari dalam tubuhnya segera. Silahkan selesaikan adriministrasinya dulu, tetapi ada satu obat yang harus segera ditebus, sekarang juga untuk mengembalikan jantungnya agar berfungsi normal kembali. Obat penawar tersebut seharga satu juta lima ratus ribu," lanjut dokter menerangkan.

Jantungku terasa berhenti berdetak mendengar ucapan dokter. Dimana akan kucari uang sebesar itu untuk menebus obat Habib.

"Dokter, apa tidak ada jalan lain untuk menebus obat itu?" tanyaku.

Dokter menggeleng. "Tidak ada."

Aku terduduk lemas seketika.

"Dokter, tolong selamatkan anakku. Akan kuusahakan sekarang juga mencari uangnya," ucapku kemudian.

Aku segera beringsut dari tempat duduk, dan membawa Nara ikut serta.

Ustaz Rahman kemudian menahan langkahku.

"Tunggu, Ay! Mau kemana kamu?" tanyanya.

Aku berbalik menoleh ke arah Ustaz Rahman.

"Ustaz, aku titip Habib, ya?"

"Mau kemana, Ay? Ini, kota Jakarta tidak ada yang kamu kenal sama sekali di sini. Jangan sampai kamu hilang dan nyasar nanti," pungkasnya.

Aku terdiam sejenak memikirkan ucapan Ustaz Rahman. Tekatku akan pergi ke rumah Mas Anan, untuk meminta bantuan darinya agar membantu pengobatan Habib.

Bukankah, Habib adalah darah dagingnya. Berharap Mas Anan terbuka hatinya, mau memberikan aku uang untuk pengobatan Habib.

"Aku titip, Habib, ya, Ustaz. Aku akan pergi sebentar mencari uang untuk biaya menebus obat, Habib."

"Tapi, Ay. Tunggu, Ay! Jangan pergi!" Ustaz Rahman mencoba menghentikan langkahku. Aku terus saja melangkah tanpa berhenti dan menoleh lagi pada Ustaz Rahman.

Kupercepat langkahku menuju keluar rumah sakit. Aku teringat alamat yang di berikan Pak Nurmin, ketika akan berangkat ke Jakarta. Dia memberikan alamat rumah Mas Anan.

Kupanggil ojek yang mangkal di seberang rumah sakit. Kutunjukkan alamat Mas Anan agar mengantarkan ke sana.

Ojek pun segera mengantarku ke alamat yang dituju. Sesampai di depan rumah besar yang berpagar tinggi, aku berhenti. Aku meminta tukang ojek agar menunggu sampai urusanku selesai.

Rumah Mas Anan di Jakarta ternyata sangat besar, dan mewah. Ada dua mobil yang terpakir di halamannya. Mobil mewah seharga ratusan juta terparkir dengan rapi. Kutekan bel yang terletak di depan pagar besi yang menjulang tinggi.

Seorang satpam penjaga keluar dengan memakai seragam putih biru.

"Maaf, cari siapa, Bu?" tanyanya kemudian.

"Apa benar ini rumah, Bapak Anan Adelio?" tanyaku sembari menunjukkan kartu nama pada satpam.

"Benar," jawabnya. "Ibu, siapa dan ada perlu apa dengan Bapak Anan?"

"Maaf, Pak. Izinkan saya masuk. Saya mau bertemu dengan Bapak Anan," ucapku memohon.

"Maaf, Bu. Saya tidak mengizinkan sembarang orang masuk ke dalam rumah ini," lanjutnya.

"Tolonglah, Pak. Saya ada keperluan dengan Bapak Anan," ucapku sedikit memaksa.

"Mohon maaf, Bu. Saya hanya menjalankan tugas. Silahkan, Ibu pergi dari sini!" usirnya kemudian.

"Katakan pada Bapak Anan. Ayi Fradilla ingin menemuinya. Kumohon, Pak," aku berkata dengan menangkupkan tangan di dada.

Akhirnya hati sang satpam penjaga luruh seketika, dan membiarkanku masuk menemui Mas Anan. Seraya mengantar menemui Mas Anan ke dalam.

Langkahku terasa kaku, saat memasuki rumah berlantai geranit yang mengkilap. Rumah mewah bertingkat dua, menunjukkan sang pemilik kaya raya. Kaki ini terhenti seketika mendengar suara seorang wanita menghentikan ku, memasuki halaman rumah.

"Berhenti!" ucapnya.

Kubalikkan wajah ini, ke arah suara yang menyapa barusan.

"Sarah!" seruku.

Dia melangkah mendekat ke arahku dengan gayanya yang sombong, dan angkuh.

"Mau apa kau kemari, perempuan kampung?" tanyanya dengan angkuh.

"Aku mau bertemu dengan Mas Anan," sahutku.

"Hah, Mas Anan? Tidak ada," ketusnya.

"Sarah, kumohon tolonglah aku sekali ini saja. Izinkan aku bertemu dengan Mas Anan sebentar. Setelah itu aku akan pergi dan tidak akan mengganggu kalian," ucapku memohon.

"Pergi! Sudah aku katakan, Mas Anan tidak ada di rumah," hardiknya. "Satpam, usir perempuan kampung ini, sekarang juga!"

Satpam segera menyeretku keluar, sebelum aku masuk ke rumahnya dan menemui mas Anan.

"Sarah, kumohon!" aku bersimpuh memeluk lutut sarah.

Tiba-tiba Sarah memdorongku, hingga membuat tubuh ini terjerembab ke belakang.

"Sudah aku katakan, Mas Anan tidak ada. Apa kau tidak dengar, hah?"

"Sarah, bukalah sedikit hati nuranimu sebagai seorang wanita dan seorang Ibu. Aku datang kemari sebagai seorang Ibu, yang mengharap belas kasihan dari seorang anak, yang sakit dan membutuhkan, Ayahnya. Bukan sebagai seorang istri yang mengemis cinta suaminya."

Sarah mendengkur kesal.

"Cih, aku tidak peduli. Mau kamu datang sebagai seorang Ibu atau seorang istri, bagiku tetap sama. Cepat pergi dari rumahku atau aku akan meminta Satpam, untuk menyeretmu dari sini," hardiknya.

Aku terisak mendapat perlakuan buruk, Sarah yang semena-mena. Memperlakukan diri ini tidak manusiawi.

"Satpam, seret perempuan kampung ini keluar, sekarang juga!" titahnya.

Satpam pun, kemudian membawaku keluar paksa dari rumahnya.

"Sarah, aku mohon jangan usir aku. Nyawa Habib dalam pertolongan, Sarah," ucapku kembali memohon belas kasihannya.

Namun, hati Sarah ternyata terbuat dari batu. Dia tak bergeming sedikit pun atau merasa iba melihat penderitaanku.

"Pergi sekarang juga! Itu bukan urasanku."

Satpam menyeretku kembali dengan paksa. Aku mencoba meronta melepas cengkraman, pria separuh baya yang menyeretku tanpa ampun. Baru saja aku akan diseret keluar pintu kamar, seketika Mas Anan muncul dengan membawa mobil dari arah luar. Kemudian dia turun menghampiri.

"Ayi, apa yang kamu lakukan di sini?" tanyanya sembari membantuku berdiri.

Mata Sarah menatapku dengan tajam.

"Mas, Habib sakit. Sekarang ada di rumah sakit. Tolonglah! Aku butuh biaya untuk menebus obatnya," ucapku memohon.

"Dasar lintah darat. Enak saja meminta uang pada suamiku," sela Sarah menghampiriku.

"Mas, kumohon. Habib darah dagingmu, Mas. Kumohon jangan abaikan dia," pintaku memohon.

Mas Anan mengeluarkan uang dari dompetnya, lalu memberikannya kepadaku. Baru saja aku hendak menerima pemberiannya, Sarah sudah merampas terlebih dahulu.

"Sini! Enak saja minta uang," Sarah berkata sembari mengambil uang dari tangan Mas Anan.

"Sarah, biarkan Ayi mengambil uang itu! Dia sedang membutuhkan sekarang," tukas Mas Anan.

Sarah hanya tersenyum miring ke arahku.

"Jika, kau mau ambil uang ini, cium dulu kakiku," ucapnya.

Aku terkesiap dengan permintaan Sarah. Tidak ada pilihan lain bagiku, kecuali menuruti kemauannya demi menyelamatkan nyawa Habib.

"Baiklah, Sarah. Jika, itu maumu akan kuturuti," kucium kaki Sarah sesuai kemauannya.

Dengan derai air mata aku bersujud sembari mencium kaki Sarah.

Sarah tertawa girang. Sedetik kemudian dia menghamburkan uang itu ke lantai. Tanpa punya hati Sarah, membuang uang itu, lalu memintaku mengutip dengan memakai mulut.

"Ayi, jangan lakukan itu, Ay," pinta Mas Anan.

Aku tidak mengindahkan teriakkannya. Mengutip uang tersebut satu persatu memakai mulutku seperti anjing.

"Jika, dengan ini aku bisa menyelamatkan nyawa anakku, maka akan kulakukan apa pun untuk menyelamatkan nyawa, Habib, Mas," ucapku lirih.

Aku memunguti uang yang berserakkan dengan mulut.

Sarah kembali tertawa dengan keras menyaksikan, aku memunguti uang dengan menggunakan gigi. Air mata tak dapat kubendung saat uang yang jatuh beserakan dikutip.

Mereka yang menatapku dengan iba, hanya memandang belas kasihan kepadaku. Sementara Mas Anan hanya menjadi penonton saja. Dia hendak mendekatiku tapi langkahnya tertahan, saat Sarah menghentikannya.

"Berhenti, Mas!" titahnya. "Jika, berani menolongnya maka aku, tidak segan-segan menendangmu keluar dari rumah ini," ancamnya.

Mas Anan mundur dua langkah kebelakang.

Aku mengais sisa uang yang berserakkan masih menggunakan mulut. Nara, kecil menangis saat melihatku mengais uang dengan menggunakan mulut. Entah terbuat apa hati Sarah, hingga memperlakukanku tidak manusiawi.

Selesai mengkais uang, aku beranjak bangkit dan menyeka air mata dengan punggung tangan. Menuju pintu keluar pagar besi yang menjulang tinggi. Sesaat langkahku terhenti ketika sarah berucap.

"Hei, perempuan kampung. Ingat! Aku memberi uang padamu tidak geratis. Kau harus membayarnya dengan catatan hutang berikut bunganya," ucapnya dengan nada satu oktaf.

Seketika langkahku berhenti mendengar ucapan Sarah.

"Akan aku ingat, Sarah," ucapku. "Seorang, Ibu rela mengorbankan apa saja demi nyawa anaknya. Jangankan hanya uang, nyawa pun akan di berikan. Tapi, seorang istri belum tentu rela mengorbankan dirinya," sarkasku.

"Cih, jangan sok suci, Ay. Dasar perempuan kampung, udik," cibir Sarah.

Dia kemudian melangkah pergi setelah menghinaku habis-habisan.

"Ingat, Sarah. Hukum karma berlaku, setiap kejahatan akan mendapat balasan yang setimpal. Bertobatlah sebelum terlambat," kataku memberi nasehat.

"Ceramah saja di mesjid, Ay! Di sini bukan tempatmu," ketusnya.

Melangkah masuk, lalu menutup pintu pagar dengan pandangan sinis.

Aku kemudian kembali pada tukang ojek yang sedari tadi menunggu, di luar pagar. Pandangan tukang ojek menatapku dengan rasa iba. Pertunjukkan yang dramatis barusan dia saksikan.

"Jalan, Pak!" titahku pada tukang ojek.

Tukang ojek pun mengangguk. "Baik, Bu."

Sesampai di rumah sakit, aku langsung bertanya pada suster, dimana Habib dirawat.

Suster mengatakan Habib, masih di tangani dalam ruang UGD. Sesampai di ruang UGD, aku menemui Ustaz Rahman.

"Ustaz, bagaimana keadaan, Habib sekarang?" tanyaku penasaran.

Ustaz Rahman hanya menghela nafas pelan, dan menghembuskan perlahan.

"Dokter, masih menangani, Habib, Ay," jawabnya tanpa ekspresi.

Aku mendekati Habib, perlahan. Wajahnya pucat pasi, bibirnya terlihat biru. Mendadak Habib, merasakan sesak nafas, dan kejang-kejang. Aku langsung panik melihat Habib, yang kejang-kejang hingga seluruh tubuhnya terasa dingin. Kupanggil namanya berulang-ulang kali tapi tidak ada respon.

"Habib, Nak. Bangun, Nak! Bunda, bawakan obat untukmu dan uang untuk biaya rumah sakit," bisikku pelan.

***

Bersambung.