"Habib, Nak bangunlah!" aku mengguncangkan tubuh Habib yang diam bergeming.
Dokter yang sedari tadi menangin Habib, berusaha agar bisa menyelamatkan nyawanya. Beberapa suster mencoba membantu dokter, memasangkan jarum infus dan selang oksigen.
Racun arsenik yang bekerja dalam tubuh Habib bereaksi sangat lambat. Namun, bisa mematikan kalau terlambat menanganinya. Bisa berakibat fatal dengan kematian yang terkena racun tersebut.
Aku terisak melihat tubuh Habib, tak sadarkan diri. Hati ibu mana yang tidak sedih, bila menyaksikan buah hatinya terbaring sakit. Ustaz Rahman mencoba menenangkanku. Aku menangis sejadi-jadinya menyaksikan jarum suntik menusuk tubuh Habib yang kurus. Andai bisa, biarlah aku saja menggantikan rasa sakit yang dirasakan Habib.
"Sudah, Ay jangan menangis! Doakan, Habib segera sadar. Kamu ingat-ingat dulu makanan apa yang membuat Habib keracunan. Menurut dokter racun yang bersarang di tubuh Habib berjalan lambat. Cara kerjanya pun tidak terlihat," jelas ustaz Rahman.
Aku berusaha mengingat-ingat makanan apa saja yang sudah dikonsumsi Habib.
Ingatanku tertuju pada Ustaz Adam, yang mengaku sebagai teman Ustaz Rahman sewaktu mondok di pesantren.
"Ada, Ustaz" sahutku berusaha mengingat.
"Apa, Ay?"
"Kemarin ada teman Ustaz yang datang ke kamar wisma. Namanya, Ustaz Adam. Dia memberikan kerak telor yang di beli dari seberang wisma," jawabku menerangkan.
Kening Ustaz Rahman berkerut. "Ustaz Adam?"
"Iya, Ustaz. Dia memberikan kerak telor, katanya Ustaz Rahman juga sudah diberi. Jadi sisanya ia berikan kepadaku."
"Sepertinya, Ustaz Adam sengaja memberi racun dalam makanan Habib, agar tidak bisa mengikuti lomba," jelas Ustaz Rahman.
"Kenapa, Ustaz Adam ingin, Habib tidak ikut lomba, Ustaz?" tanyaku penasaran.
Ustaz Rahman menghela napas. "Entahlah, aku juga tidak tahu motif dia apa."
Aku sejenak tertegun, tubuhku lunglai tak berdaya bersandar pada tembok rumah sakit. Air mata pun tidak bisa kubendung lagi. Nara yang sedari tadi diam, kini ikut berbicara dengan bahasa yang membuatku makin terharu. Nara mengusap air mataku dengan jari mungilnya.
"Bunda, jangan sedih! Abang pasti selamat," ucapnya sembari menghapus jejak air mataku.
Kupeluk dan kucium Nara kecilku. Bangganya aku mempunyai anak seperti Nara. Di tengah kepanikan Nara menghiburku layaknya seorang teman.
"Bunda, gak sedih Nak. Bunda, hanya terharu," jawabku berbohong.
Senyum Nara mengembang saat memeluk tubuhku.
Sedetik kemudian Nara bangkit dari pangkuanku, dan mendekat ke arah Ustaz Rahman.
"Pak Ustaz, Bang Habib pasti sembuhkan?" tanyanya polos.
Ustaz Rahman mengangguk pelan. "Iya, Nak. Mari kita sama-sama berdoa untuk kesembuhan, Abang Habib."
Nara mengangkat ke dua tangannya ke atas dan mengenadahkan wajahnya. Layaknya orang berdoa dengan khusuk, dia pun melakukannya sembari berkata.
"Ya, Allah. Tolong selamatkan Abang Habib. Aku janji, bila nanti ia selamat maka akan kuberikan jatah makan untuk dia. Aamiin," ucapnya dengan tulus.
Aku, dan Ustaz Rahman hanya tersenyum mendengar doanya.
Sedetik kemudian kuraih Nara dalam dekapan. Rasa haru tak dapat kusembunyikan, mendengar doanya yang tulus.
"Aamiin. Abang pasti sembuh, Nak," bisikku.
Kukecup kening Nara dengan lembut.
Satu jam kami menunggu dengan tegang, akhirnya dokter memberi kabar baik.
"Kami bangga dengan semangat Habib, yang mempunyai keinginan untuk sembuh. Racun yang ada dalam tubuhnya kini tidak terlalu berbahaya," ucapnya saat menemui kami di ruang tunggu.
Kami mengucap puji syukur secara bersamaan. "Alhamdulilah."
"Dokter, boleh aku menemui Habib sekarang?" tanyaku girang.
Kabar Habib sudah lewat kritis, membuatku hampir melompat karena kegirangan.
Dokter mengangguk tersenyum. "Silahkan."
Aku segera masuk ke ruangan tempat Habib di rawat. Ustaz Rahman juga mengikuti dari belakang.
"Nak, kamu sudah sadar Sayang? Apanya yang sakit, Nak?" tanyaku bertubi-tubi.
Habib hanya tersenyum lemah tanpa menjawab pertanyaanku.
Kuusap telapak tangannya yang kini mulai hangat. Wajahnya juga sudah terlihat memerah. Denyut nadinya kurasakan berjalan normal kembali. Antibodi yang berada dalam tubuh Habib, mampu bertahan dengan serangan racun itu. Meskipun aku melihat tubuh Habib masih kelihatan lemah, tetapi semangat hidupnya tinggi.
"Habib, gapapa, Bunda," sahutnya tersenyum.
Notifikasi dari ponsel Ustaz Rahman berbunyi dengan nyaring. Ustaz Rahman meraih ponsel yang terletak dari saku celananya.
Ustaz Rahman membuka aplikasi whatsapp, dan membaca pesan dari seseorang. Aku tidak tahu, dari siapa pesan itu dibaca. Mendadak mimik wajah Ustaz Rahman kini berubah tegang.
"Ustaz, ada apa?" tanyaku penasaran. Terlihat wajah Ustaz Rahman menegang melihat ke arah Habib.
"Ustaz Iman, mengirim pesan agar kita segera kembali ke wisma. Dalam waktu tiga puluh menit kita harus segera sampai. Jika tidak, Habib akan dianggap gugur," jelasnya dengan ekspresi gelisah.
Tatapannya kini beralih pada jam tangan yang dikenakannya.
"Tidak mungkin kita bisa sampai dalam waktu tiga puluh menit Ustaz. Melihat kondisi Habib sekarang itu mustahil," ucapku bersedih.
Bagaimana mungkin tiba di tempat perlombaan, dalam waktu tiga puluh menit, sementara jalanan macet di jam sekarang.
Saat kami sedang membicarakan masalah perlombaan, ternyata Habib mendengar lalu segera bangkit dari tempat tidurnya. Keadaannya yang lemah memaksanya untuk segera bangkit, dari sakit yang dia rasakan.
"Ustaz, Habib, mau tetap mengikuti lomba," ucapnya memelas.
Jarum infus yang dipasang dia lepas, dan menariknya begitu saja.
Aku terkesiap melihat Habib bertekad mengikuti perlombaan. Semangatnya yang membara, membuat dia mengalahkan rasa sakit yang kini sedang dideranya.
"Habib, Nak. Apa yang kamu lakukan? Kamu mau kemana, Nak? Kamu masih sakit, Bunda tidak mengizinkanmu mengikuti perlombaan itu," sergahku.
Sedikit darah mengalir dari nadinya turun begitu saja. Setelah jarum infus dilepas paksa.
Habib berjalan tertatih-tatih mendekat ke arahku. Sedetik kemudian tubuh kurusnya ambruk ke lantai.
"Habib," teriaku histeris.
Segera aku, dan Ustaz Rahman berlari menolongnya.
"Bunda, tolong izinkan aku untuk ikut perlombaan ini!" pintanya memelas.
Wajahnya terlihat sedikit pucat menahan sakit. Terlihat sorot matanya yang sesekali meringis kesakitan.
"Tidak, tidak, Nak. Bunda, tidak izinkan karena keadaanmu masih sakit," aku masih bersikeras tak memberi izin.
"Bunda, aku mohon kabulkan keinginanku sekali ini saja. Aku janji akan membuat Bunda bangga. Plis!" ucap Habib sembari menangkupkan tangan.
Detik itu juga hatiku luluh dengan keinginan Habib, yang bersikeras mengikuti lomba. Aku memandang ke arah Ustaz Rahman untuk meminta pendapat. Sedetik kemudian Ustaz Rahman mengangguk, agar aku menyetujui keinginan Habib untuk meneruskan perlombaan.
"Biarkan saja, Habib ikut lomba, Ay! Mungkin dengan ini semangatnya akan bangkit meraih mimpinya," tukas Ustaz Rahman.
Pada akhirnya aku pun harus mengalah dan menyetujui permintaan Habib. Dengan kondisi yang masih lemah akhirnya, kami memutuskan untuk segera keluar dari rumah sakit. Dokter sempat menolak, karena kami membawa Habib dalam kondisi sakit.
Namun, saat Habib menjelaskan kondisi yang mendesak, maka dengan terpaksa dokter mengizinkan. Dengan catatan harus mengontrol selama masih saki,t dua hari sekali datang ke rumah sakit ini.
***
Perjalanan yang kami tempuh berdurasi empat puluh lima menit, dari rumah sakit menuju tempat perlombaan. Sementara kami diberi waktu hanya tiga puluh menit untuk segera sampai. Ustaz Rahman mengemudi mobil dengan kecepatan tinggi, hingga waktu kami sampai di tempat perlombaan menyisakan dua menit. Hampir saja kami terlambat dengan batas waktu yang diberikan panitia .
Ustaz Rahman memapah Habib memasuki ruangan perlombaan. Di sana semua peserta sudah menampilkan suara emasnya, dengan membaca Al-Quran. Tinggal satu peserta lagi yang akan tampil yaitu Habib dengan nomor terakhir.
Pembawa acara memanggil nama urut Habib, untuk maju ke depan membaca surat yang sudah ditentukan dewan juri.
"Habib Adelio bin Anan Adelio, waktu dan tempat kami persilahkan untuk naik ke atas," ucap sang pembawa acara.
Hening tidak ada jawaban. Para dewan juri saling berpandangan satu sama lain karena kemunculan Habib, belum juga sampai di atas mimbar yang sudah disediakan, oleh panitia penyelenggara perlombaan.
Pembawa acara mengulang lagi panggilanya, untuk yang kedua kali tapi Habib belum muncul juga. Ketiga kalinya dipanggil baru Habib muncul bersama Ustaz Rahman. Ustad Rahman menggendong tubuh lemah Habib, dan mendudukkannya di atas mimbar.
"Habib Adelio bin Anan Adelio, harap segera naik ke atas mimbar! Jika dalam waktu lima menit tidak naik ke atas mimbar maka akan dianggap gugur," ucap pembawa acara.
"Satu ... dua ... tiga ... empat ... li ...."
"Tunggu!" sergah Ustaz Rahman. Seraya menggendong Habib.
Di menit kelima Habib datang dengan dipapah Ustaz Rahman naik ke atas mimbar.
Para penonton, dan dewan juri tertegun, melihat tubuh Habib yang lemah dituntun Ustaz Rahman, menaiki atas mimbar untuk membacakan surat Ar-Rahman.
"Maaf, dewan juri yang terhormat! Bukan ada unsur kesengajaan kami datang terlambat. Tapi, karena kondisi peserta sedang tidak fit. Mohon maaf atas keterlambatan peserta," Ustaz Rahman berkata sembari menangkupkan tangan di dada, menghadap dewan juri dan para penonton.
Sekilas terdengar para hadirin yang datang kasak-kusuk, menggunjingkan kedatangan Habib. Ada yang mencibir, ada yang iba, dan ada pula yang memberi semangat. Dewan juri saling berpandangan. Ustaz Iman sebagai salah satu dewan juri mempersilahkan Habib, untuk menyelesaikan tantangan perlombaan.
"Habib, silahkan dimulai membaca surah Ar-Rahman. Waktu dan tempat kami sediakan," ucap Ustaz Iman mengulas senyum.
Habib mengangguk tanpa menjawab.
Sedetik kemudian para hadirin terdiam begitu lantunan ayat suci dibacakan Habib. Takjub itulah yang dirasakan oleh para hadirin, yang menyaksikan suara emas Habib yang mendayu-dayu dengan merdu. Bait demi bait ayat suci, dilantunkan Habib dengan merdu, dan hikmat.
Para awak media yang meliput dari berbagai media tv, dan surat kabar juga ikut meliput. Kamera para wartawan tertuju pada wajah Habib yang melantunkan ayat suci, dengan merdu dan menyentuh kalbu.
Di tempat lain,Mas Anan yang sedang mendengarkan siaran radio dalam mobilnya saat melakukan perjalanan pulang ikut mendengarkan suara merdu Habib. Seketika air mata Mas Anan menetes, mendengar suara emas Habib yang membaca ayat suci dengan merdu.
"Habib," serunya.
Tanpa disadari mobil Mas Anan menabrak truk yang melintas di hadapannya. Hingga menimbulkan suara rem yang berbunyi nyaring.
***
Bersambung.
Apakah yang terjadi dengan Anan kemudian? Jawaban ada di episode berikutnya. Apakah karma sedang menimpa Anan dan apakah Anan akan menyesal karena sudah menyia-nyiakan anaknya? Tunggu kisah selanjutnya ya guys. Jangan lupa tekan tombol like dan komen di bawah biar author tahu kamu tidak menjadi pembaca gelap.