Chereads / Tentara dan Dokternya / Chapter 33 - Fakta

Chapter 33 - Fakta

John sedang berada di dalam tenda Bianca. Tak biasanya John sakit seperti sekarang.

"Apa kau sudah merasa baikan, Mr. Miller?" Tanya Bianca.

"Ya, lebih baik dari siang tadi. Dimana Theo? Aku harus membicarakan hal yang penting dengannya." John bangkit lalu segera duduk di atas tempat tidurnya.

"Mr. Theo sedang keluar untuk mencari kayu bakar bersama para kadet yang tak bertugas. Mungkin ia akan kembali sebentar lagi," jawab Bianca.

"Baiklah," jawab John.

"Apa warga Kota Favela sudah baik-baik saja?" Tanya Bianca.

"Mereka akan segera pulih, kau tidak tahu? Apa Maria tidak sempat mengabarimu?" John bertanya intens.

"Ah, mungkin dirinya sibuk sehingga tidak ada waktu luang untuk mengabari diiriku. Aku paham," jawab Bianca gugup. Mana mungkin dirinya tidak tahu tentang perkembangan pasien di rumah sakit. Dia dan Maria memiliki koneksi yang sangat erat. Bianca hanya ingin berbincang dengan John, itu saja.

"Mmm... Mr. Miller," panggil Bianca.

"Ada apa Bianca?" John menolehkan kepalanya ke arah Bianca yang sedang duduk di meja makan.

"Bolehkah aku menanyakan suatu hal?"

"Tentu, tanyakan saja."

"Apa aku boleh tahu siapa istrimu?" Tanya Bianca ragu-ragu.

John terkejut, Bianca tidak tahu siapa istrinya? Jadi selama ini Bianca tidak tahu siapa suami dari Maria, sahabatnya?

"Apa kau yakin menanyakan tentang hal itu? Aku pikir kau seharusnya sudah tahu siapa istriku. Terlebih lagi, kau sangat dekat dengan istriku," ucap John.

"Ah, jika kau tidak ingin memberitahuku maka tak apa. Tapi jika boleh aku ingin mengajak istrimu untuk berteman." Bianca berdiri lalu melipat menggenggam tangannya gelisah.

"Bianca apa kau bersungguh-sungguh? Apa kau sungguh tak tahu siapa istriku?" John kali ini menatap Bianca dengan tatapan tak biasa. Bianca panik, apa pertanyaan yang ia lontarkan salah?

"Bianca, Maria adalah istriku. Sahabatmu adalah istriku," kata John.

"Apa?"

"Ya, Bianca. Maria Shendi adalah istriku. Aku tidak tahu kenapa kau tidak tahu siapa suami temanmu sendiri. Apa Maria merahasiakannya darimu?"

"Tidak, tentu tidak. Sebenarnya aku sudah tahu, hanya saja aku ingin memastikan. Siapa tahu Maria membodohiku, karena aku tidak sempat hadir di acara pernikahannya." Bianca salah tingkah, bagaimana bisa ia tidak tahu jika Maria merupakan istri dari John.

"Ka-kalau begitu aku akan keluar sebentar, kau istirahat saja. Jika membutuhkan sesuatu bisa panggil aku. Aku tidak akan pergi jauh dari sini," ucap Bianca lalu keluar dari tendanya.

"Ada apa dengan Bianca? Mengapa ia harus memastikan kebenaran jika aku suami Maria atau bukan." John berucap sambil sedikit terkekeh. Wanita memang aneh, pikirnya.

"Mr. Miller dan Maria adalah suami istri? Apa? Berani-beraninya Maria merahasiakan ini dariku. Oh, wait! Maria sempat mengatakan siapa suaminya. Apa aku tidak mendengarnya? Astaga Bianca!!! Untuk kau tidak sempat menyatakan perasaanmu kepada Mr. Miller!" Bianca terus mengomel kepada dirinya sendiri. Ia malu jika sampai mewujudkan niatnya menyatakan perasaan kepada John.

"Bianca, apa yang kau lakukan disini?" Tanya Jennifer yang kebetulan ingin melihat matahari terbenam dari tebing.

"Ah, aku? Aku hanya ingin menikmati angin sore. Bagaimana denganmu Mrs. Nessy?"

"Aku pikir kita sudah berteman lama, apa tidak sebaiknya kau memanggilku dengan namaku saja?"

"Baiklah, Jennifer." Bianca menahan senyumnya. Tidak menyangka ia akan berteman dengan wanita kasar dan tegas seperti Jennifer.

"Jadi, apa yang kau lakukan disini Jennifer?" Tanya Bianca.

"Aku hanya ingin menenangkan pikiranku."

"Apa ada sesusatu yang mengganggumu? Kau bisa membaginya denganku. Apa kau mau duduk bersamaku juga?" Bianca ingin mendengar keluh kesah dari Jennifer.

"Apa kau sudah tahu, jika diantara kita ada pengkhianat?" Tanya Jennifer. Tentu saja Bianca yang ditanyai merasa bingung.

"Pengkhianat? Apa maksudmu?"

"John dan Theo menduga ada yang berkhianat diantara kita, dan mereka masih belum menemukan siapa pengkhianatnya. Aku berencana ingin menggali informasi tentang pengkhianat itu, apa kau mau membantuku?" Tanya Jennifer.

"Apa kau yakin ingin meminta bantuanku?" Tanya Bianca yang tak yakin.

"Aku menduga, jika pengkhianat itu bukan merupakan salah satu dari tim ekspedisi ini. Aku tak sengaja melihat teman dekat John berlari dengan membawa pisau dan belati yang bersimbah darah." Bianca mendengar dengan serius.

"Aku menelusuri tetesan darah yang terjatuh di hutan dan menemukan sebuah gubuk tua yang sudah berantakan. Dan, aku menemukan mayat seorang laki-laki tua dengan kepalanya yang terpisah dengan badannya."

"Lalu, kau ingin aku melakukan apa?" Tanya Bianca.

"Aku ingin kau, mendukungku. Kita sama-sama seorang wanita bukan? Aku ingin kau menjadi temanku dan bantu aku menghadapi semua ini."

"Tentu saja, itu pekerjaan mudah. Aku akan menjadi temanmu, sepakat?" Jennifer menganggukan kepalanya.

"Oh iya Jennifer, apa kau tahu Maria dan Mr. Miller adalah suami istri?"

"Tentu saja aku tahu, John dan Maria adalah temanku dari semasa aku ada di perguruan tinggi. Mana mungkin aku tidak tahu."

"Tapi waktu itu kau marah karena Mr. Miller merahasiakan pernikahannya darimu."

"John menceritakan semuanya padaku, bagaimana mereka bisa menikah dan siapa istrinya. Aku sempat kesal karena John sangat tahu jika aku mencintainya sejak lama dan aku pikir dia merahasiakannya agar aku tak merasa sakit hati. Tapi ternyata aku salah, John merahasiakan pernikahannya dariku karena keinginan istrinya. Maria tidak ingin diketahui sudah menikah oleh teman-temannya. Apalagi itu dengan John, seorang tentara yang umurnya sangat berbeda jauh dengan Maria."

"Begitu ternyata... Maria juga tak mengizinkan diriku untuk datang ke acara pernikahannya. Dia juga bilang tidak ingin ditanyai siapa suaminya."

"Bianca!" Teriak Theo dari arah kejauhan.

"Apalagi yang dibawa oleh Theo?"

"Lihat, aku membawa bunga untukmu. Silahkan, ini untukmu," ucap Theo.

"Aku pikir ada yang menyukaimu Bianca," ucap Jennifer lalu meninggalkan dua orang itu.

"Dimana kau mendapatkan bunga dandelions ini?" Tanya Bianca.

"Di tengah hutan. Bianca, lihatlah warna jingga dari matahari terbenam itu."

"Hum, aku melihatnya. Indah," kata Bianca sambil tersenyum.

"Tidak, tidak ada yang lebih indah dari senyumnya. Haha," ucap Theo.

"Nya?" Bianca mengernyitkan dahinya menatap Theo.

"Kau tahu Bianca? Aku menyukai Maria," bisik Theo dengan senyum yang tak luput dari wajahnya.

Pluk!

Bianca memukul kepala Theo dengan tangan kosongnya.

"Why you hit me?" Rintih Theo sambil memegangi kepalanya.

"Maria adalah istri Mr. Miller. Kau mau merebut istri dari temanmu sendiri? Dasar pria murahan!"

"Bukan Maria Shendi, aku menyukai Maria yang ada di Desa Uma. Aku yakin kau tidak mengenal gadis manis itu."

"Oh? Maaf, aku tidak tahu. Mereka memiliki nama yang sama. Aku yakin mereka juga mirip."

"Ya, kau benar. Mereka sangat mirip. Hanya saja Maria di Desa Uma masih polos."

"Aku yakin kau akan cocok dengannya, kau suka wanita yang lebih muda kan?"

"Ya, mereka imut." Kata Theo sambil terkekeh."

"Bianca, apa kau tidak punya seseorang yang kau cintai?" Tanya Theo.

"Tentu saja aku punya seorang yang aku cintai. Tapi sayang, dia sudah menikah dan memiliki keluarga kecil."

"Benarkah? Sungguh menyedihkan, tapi kau bisa mencari seorang lagi untuk dicintai. Di dunia ini tidak mungkin ada pria yang sanggup menolak wanita seperti dirimu, aku yakin." Theo menatap mata Bianca.

"Apa yang membuatmu sangat yakin?" Tanya Bianca sambil tersenyum.

"Karena kau cantik, kau pintar, kau sempurna."

"Dengar Theo. Apa kau tahu kita tidak bisa memilih dengan siapa nantinya kita akan jatuh cinta?"

"Tidak, aku sendiri yang memilih siapa wanita yang akan aku cintai."

"Pria tidak akan paham. Sudahlah, matahari sudah tenggelam sempurna. Aku akan kembali untuk makan malam." Bianca lalu bangkit dari batu tempat ia duduk dan meninggalkan Theo yang masih bingung dengan ucapan Bianca.

"Mana mungkin hati kita memilih sendiri siapa yang akan ia cintai. Aku menyukai Maria saat aku pertama kali melihatnya, lalu otakku mengirimkan signal ke hati untuk menyuruhnya mencintaiku." Theo mengedikkan bahunya dan memutuskan untuk menyusul Bianca.