I'm not a second option. You either choose me or you lose me.
**
Keramaian terdengar dari salah satu ruangan di ujung koridor dengan pintu kayu berwarna cokelat yang sudah di beri label pada bagian depannya, bertuliskan "Sany Andriana's make up room" yang di dalamnya terdapat orang-orang yang tengah sibuk dengan tugas mereka masing-masing, kebanyakan wanita hanya beberapa saja pria yang sebenarnya tampak seperti wanita juga.
"Ra, tolong bawain hape aku dong di sana!" Seorang wanita yang tengah duduk di atas kursi itu menunjuk ke arah tas yang tergeletak di sampingnya tanpa menoleh, ia mengenakan gaun tile hitam dengan motif bunga berwarna silver sepanjang tumit dengan inner dress berwarna senada yang lebih pendek dari outer yang ia kenakan.
"Thanks, Ra!" Wanita itu tersenyum setelah menerima benda tipis tersebut tanpa menoleh pada orang yang menyodorkannya, bukan tidak ingin namun seseorang lainnya tengah sibuk memoleskan make up di wajah tirus wanita itu sehingga ia tidak bisa leluasa bergerak.
"Sany 10 menit lagi kita mulai, ya!" teriak seorang pria dengan name tag menggantung di lehernya masuk tanpa mengetuk pintu lebih dulu, Dio. Tidak ada yang menjawab, semuanya sudah paham apa yang harus dilakukan bahkan meski instruksi itu tidak diberikan.
"Darl, kau tenang saja make up-nya akan selesai bahkan sebelum pria itu datang lagi ... lagi ... dan lagi untuk ketiga kalinya," ucap lelaki yang tengah sibuk memoleskan lipstik berwarna nude di bibir Sany dengan wajah tampak sedikit jengkel, gaya kemayunya membuat wanita itu tersenyum ketika kegiatan panjang tersebut akhirnya selesai.
Perempuan cantik itu berdiri dan kini semua bisa melihat betapa mempesonanya ia menggunakan gaun tersebut, tingginya 175 cm tanpa heels dengan rambut panjang yang sudah di tata cantik dengan ornamen bunga yang elegan, kemudian seorang wanita yang di panggilnya Ira membawa high heels berwarna gold yang terlihat simple namun ketika digunakan benar-benar menambah sempurna penampilan wanita itu.
"Best ... bessssttt!!!" Pria yang mendandaninya tadi mengacungkan kedua ibu jarinya sambil tersenyum membuat Sany mau tidak mau harus bangga dengan dirinya.
Ya, wanita itu Sany Andriana seorang model berusia 26 tahun yang sudah menggeluti dunia modeling sejak kecil, karirnya tidak pernah redup ia adalah bintang di catwalk dan kini mulai menjadi aktris yang di perhitungkan dalam industri film layar lebar. Alasan kenapa di usianya yang matang ia masih ramai digunakan adalah karena pesona juga wajahnya yang sulit dilupakan.
Ia terlalu sempurna di lahirkan dengan wajah Asia, kulit putih dan mata sedikit menyipit, rambut lurusnya berwarna brown alami tanpa perlu sentuhan hair color lagi dan tentu saja tubuh seorang model. Ia adalah pusat perhatian di mana pun dirinya berada.
Ponsel yang ia letakkan di meja rias berdering memecah konsentrasi Sany pada semua kekaguman yang ia terima lalu dengan sigap ia mengambil benda tipis tersebut dan membuat beberapa mata memperhatikan wanita yang tengah tersenyum melihat sebuah panggilan masuk dari seseorang yang ditunggunya sejak tadi.
"Udah selesai?" tanya seseorang di seberang sana.
Sany menggeleng sebelum akhirnya menjawab. "Belum Dave!" tangannya meraba membenarkan posisi heelsnya agar nyaman sebelum ia melangkah, dari balik pintu Dio hanya menampakan kepalanya saja memberi isyarat agar wanita itu segera keluar.
"Kita bisa ngobrol nanti aku harus pergi sekarang. Oke!" Sany tidak punya pilihan, ia sangat sibuk sampai tidak satu suap pun makanan sempat masuk ke dalam mulutnya. Baginya mendengar suara Dave seperti itu saja sudah lebih dari cukup, ia tidak mau membuang waktunya dengan basa basi juga.
"Ya, oke!" Pria di seberang tampak kecewa, ia meluangkan waktunya untuk menghubungi Sany tapi waktu keduanya selalu sama-sama sulit. Dave menarik napas. "Kapan kamu berhenti dan mulai urus pertunangan kita?" tanya pria itu sesaat sebelum Sany menutup teleponnya.
Gadis itu kembali mendekatkan ponselnya ke telinga menarik nafas lelah dan mengurut keningnya sedikit. "Dave please, kita udah pernah bahas ini berkali-kali dan aku enggak bisa ninggalin catwalk yang udah besarin nama aku sekarang, aku perlu waktu lagi." Sany hanya dapat mendengar pria itu mendesah terdengar begitu putus asa baginya. "Sorry dear, aku harus pergi sekarang!" Sany tidak menunggu jawaban, ia langsung memutus panggilan tanpa permisi.
Perempuan itu meletakkan ponselnya lagi di atas meja sebelum keluar dari ruangan make up untuk mulai pemotretan, pikirannya sedikit terganggu dengan pacarnya barusan. Davin. Atau semua orang lebih akrab memanggilnya Dave. Tidak ada yang salah dengan keinginan seorang pria untuk membuat wanitanya hanya menikmati menjadi ibu rumah tangga berdiam diri di rumah dan memiliki segalanya yang bisa ia dapatkan namun tidak bagi Sany, ia tidak menginginkannya. Baginya menjadi model adalah dunianya, ia suka menjadi pusat perhatian dan tampil di depan banyak orang dan melepaskannya untuk harapan orang lain adalah ide yang begitu menggelikan.
Sementara Dave terlihat tengah duduk di kursi besarnya dalam sebuah ruangan dengan dinding kaca yang cukup luas, di depannya bertumpuk berkas juga komputer model terbaru dan tentu saja ponselnya, ponsel yang ia gunakan tadi. Pikirannya pergi entah ke mana ia hanya merasa lelah membujuk wanita yang sudah di pacarinya lebih dari 3 tahun itu untuk meninggalkan dunia model dan hanya fokus pada dirinya. Ia hanya ingin teman hidup, namun keduanya selalu memiliki hanya sebagian kecil waktu untuk bersama. Dave bukan tidak suka Sany berkecimpung dalam dunia modeling namun ada saat di mana ia hanya ingin bertemu dan Sany menyediakan waktu lebih banyak untuknya.
Seseorang masuk setelah mengetuk pintu kaca tersebut, Kania, membuyarkan lamunan Dave yang tidak pernah berubah isinya selain tentang Sany apalagi belakangan rasanya semakin runyam saja. Sekertarisnya itu membawa lagi map berisi laporan keuangan dari kantor cabang di Medan. Perusahannya adalah salah satu perusahaan besar di Indonesia dengan lebih dari 11 kantor cabang dan pabrik belum lagi outletnya yang tersebar di semua pulau besar di negara tersebut dan membuat Dave menjadi seseorang yang teramat sibuk.
Wanita itu tersenyum sebelum menyodorkan map merah yang dibawanya sementara Dave hanya diam saja mengetuk-ngetuk ballpointnya di meja.
"Lo kenapa lagi, Soal Sany?" tanya Kania sambil menyilangkan tangannya di dada, dengan mudah dapat menebak apa yang di pikirkan oleh Dave, ia mulai berbicara informal pada atasannya yang sebenarnya teman kuliahnya juga dulu.
"Gak tahu, gue cuma enggak ngerti apa sesulit itu minta dia rehat dan urus soal rencana pertunangan!" Dave kembali diam ia tampak sedikit putus asa.
"Dave, mungkin bagi Sany enggak mudah. Dunia itu udah buat nama dia besar kayak sekarang. Dia suka ketenaran." Kania tidak berusaha membela Sany tapi bagi beberapa orang ia yakin mimpi adalah hal yang teramat besar.
Dave tidak membantah, Kania sepenuhnya benar. "Ya gue tahu, tapi dunia yang gue tawarin ke dia juga bukan main-main!" Kania juga jelas mengerti maksud sahabatnya itu, seharusnya tidak ada yang menolak menjadi istri yang fokus mengurus suami dan tidak kekurangan suatu apapun. Pria di hadapannya ini adalah seseorang dengan penghargaan pengusaha muda paling sukses sejak 10 tahun yang lalu saat ia mendirikan pabrik roti pertamanya dan hebatnya tanpa bantuan nama besar ayahnya.
"Apa tindakan lo selanjutnya?" Kania tampak tidak sabar dengan akhir cerita yang di dengarnya setiap hari ini. "Dan gue enggak ngerti sih kenapa elo jadi mau nikah setelah selama ini kayaknya pernikahan itu sesuatu yang gak jadi tujuan hidup elo gitu?"
"Orang tua gue udah terlalu tua dan gue rasa semua mimpi udah gue capai, mungkin yaa ... menikah adalah cerita akhir gue." Dave mengedikkan kedua bahunya.
"Sama Sany?" tanya Kania lagi. "Lo yakin mau hidup sama dia?"
"Apa salahnya? gue pacaran 3 tahun dan dia perempuan baik." Bahu Dave mengedik. Lagi.
"Gimana ibu? Apa dia udah bilang oke buat cewek yang setahu gue, dia enggak suka," tanya Kania. "Dave, Sany itu baik menurut elo tapi semua orang tahu dia gak bisa lepas dari pub, clubing, bar dan tentu aja alkohol."
"Ahh dan yang paling penting dia adalah perempuan yang prinsipnya sampai hari ini gak bisa lo rubah, dia punya mimpi dan dia suka ketenaran."
Kania bangkit dari duduknya, setelah Dave mengesampingkan map yang di bawanya tanpa mengecek. Ia punya banyak pekerjaan di mejanya juga. "Pikirin lagi Dave, Sany gak jadiin elo prioritas dia, sebaik apapun dia di mata lo tapi dia gak pernah mau ngikutin mau lo. Hubungan lo ama dia itu gak ada tujuan. Ngambang." Jawaban tegas itu adalah saran untuk sahabatnya, "Dan sejujurnya menurut gue dia cuma cari keuntungan dari hubungan kalian. Lo ngerti maksud gue kan!"
Kania sudah pergi dari sana, Dave bisa melihat wanita itu sudah sibuk lagi di mejanya sementara dirinya masih berkutat dengan pemikiran yang tidak habis-habis.