Chereads / Mellifluous (Unexpected Love) / Chapter 2 - Mellifluous

Chapter 2 - Mellifluous

Sometimes you fall in love with the most unexpected person at the most unexpected time ....

Jakarta masih saja pengap, dan tentu saja macet. Dave tengah dalam perjalanan untuk bertemu klien di sebuah restauran Jepang yang di fusion dengan makanan Korea di MD Place, Setiabudi. Ia menarik lengan jasnya untuk melihat jam tangan dengan brand ternama yang bertengger di pergelangan tangannya. Pukul 6 sore. Dan janji temunya satu jam lagi, ia punya waktu cukup untuk sampai disana.

Di sampingnya Kania tengah sibuk dengan berkas yang ia periksa ulang, ini adalah proyek kerjasama besar untuk melebarkan perusahaannya sampai keluar negeri sehingga mereka tidak ingin membuat kesalahan sekecil apapun.

Keduanya turun dari mobil dan naik lift ke lantai 12 yang langsung di sambut pelayan di pintu masuk, bertanya tentang reservasi yang kemudian di urus oleh Kania sementara Dave hanya berdiri dengan tak acuh, pria itu memang terlihat dingin dengan kharismanya namun sebenarnya seseorang yang penuh perhatian.

Keduanya kemudian diantar oleh seorang pelayan laki-laki yang terlihat masih muda ke sebuah ruangan VIP yang lebih private memberikan mereka ruang yang cukup untuk berbicara bebas mengenai bisnis. Tempat itu jelas memberikan kesan mahal hanya dari interior yang terlihat, dengan minimal order di atas satu koma lima juta per orang harga yang fantastis hanya untuk menikmati satu set menu makan mulai dari appetizer hingga dessert. Dave sendiri sangat jarang pergi ke tempat semacam itu, baginya selama makanannya enak di mana pun tempatnya bukan masalah terdengar seperti bukan orang dengan jabatan luar biasa memang tapi begitulah Dave.

Tidak lama menunggu klien yang mereka maksud datang, membuat Dave berdiri dan saling berjabat tangan.

Pembicaraan mengenai proyek kerjasama tersebut berjalan lancar diselingi dengan candaan santai untuk mencairkan suasana yang baru saja terlalu kaku padahal projeknya sudah akan memasuki tahapan selanjutnya hingga MOU di buat.

Dave sedikit lega, langkahnya melebarkan sayap perusahaan sampai ke luar negeri semakin di depan mata meski kesibukannya akan semakin bertambah. Kemudian pelayan datang membawa pesanan mereka setelah Kania memberi isyarat.

"Rania?" tiba-tiba saja Kania berhenti di salah satu meja yang di tempati dua orang wanita ketika mereka hendak keluar dari restoran, Dave tidak memperhatikan namun wanita yang di sapa Kania jelas memiliki suara yang menyebalkan baginya terdengar begitu centil dan manja. Ia tidak suka.

Dave mendongak berkata woww dalam hati dan untung saja tidak diucapkannya dengan mulut.

Wanita itu tampak cantik dan anggun dengan penampilan dari atas sampai bawah yang bisa Dave taksir memiliki harga fantastis namun melihatnya begitu akrab dengan Kania sudah memberi kesan yang berbeda juga pada pria tersebut, Kania jelas bukan dari kalangan yang sama dengannya namun tanpa ragu wanita itu memeluk wanita yang masih menggunakan setelan formalnya.

"Kamu apa kabar?" tanya wanita itu masih dengan gaya manjanya.

"Alhamdulillah, kaya yang kamu lihat." Kania tertawa.

"Mm ... iyaa tambah cantik yaa!" Kemudian keduanya kembali tertawa.

Dave sepertinya tak dianggap sama sekali kehadirannya begitupun wanita yang satunya yang hanya duduk menikmati tuna pizza yang Dave makan juga tadi dan rasanya luar biasa enak tanpa peduli kegaduhan yang dua wanita ini timbulkan.

Dave menepuk pundak Kania pelan memberi isyarat untuk pergi lebih dulu namun wanita itu menahannya dan malah menarik Dave agar mendekat, ahh yaa seandainya Dave tidak ingat bahwa Kania adalah sahabatnya ia akan memecat karyawan yang bertindak tidak sopan seperti ini.

"Ran, kamu harus kenalan sama dia. Dia bosku!" ucap Kania masih dengan senyumnya yang tidak hilang.

Dave tidak punya pilihan selain menyodorkan tangan kanannya sambil memamerkan senyumnya juga, jam tangan Rolexnya terlihat ketika lengan jas pria itu tertarik ke ke atas membuat ia memperhatikan ekspresi wajah wanita itu hanya untuk menilai saja namun wanita itu jelas tidak peduli ia bahkan hanya melihat sekilas tangan Dave dan tersenyum menatap pria itu, senyum yang membuat sesuatu dalam dirinya berdesir.

"Rania," ucapnya masih dengan nada manja yang entah kenapa kali ini terdengar lebih nyaman di telinga Dave, tenggorokannya kering ia masih terdiam menatap wanita di depannya,

"Ohh ... ya, saya Dave. Davin." Ralatnya.

"Ohh Pak Dave? Panggil gitu aja ya, Kania?" ujar Rania dengan tawa nyaringnya sambil menatap Kania namun tangan keduanya masih belum terlepas.

"Apa saya setua itu?" Dave mulai masuk dalam candaan mereka.

"Enggak dong, kayaknya kita cuma beda dua tahun deh. Soalnya aku kenal Kania pas SMA dia kakak kelas aku," jelas Rania sambil menoleh pada Kania. "Dulu galak banget waktu di paskibra, ya kan Kania?" dan lagi-lagi wanita itu tertawa kali ini ia menutupi mulutnya dengan telapak tangan yang entah sejak kapan sudah terlepas dari genggaman Dave.

"Yahh bisa saya bayangin soalnya pas di kampus dulu juga begitu. Anyway saya kakak tingkatnya juga jadi mungkin kita beda 4 tahunan." Kali ini Dave yang tertawa.

Pria itu bukan tipikal yang mudah bergaul, mungkin juga karena ia menghabiskan banyak waktunya dengan hal yang serius sehingga sulit sekali masuk dalam percakapan yang lebih sering kaku bahkan Sany pun selalu mengeluh betapa dinginnya Dave pada teman-temannya di dunia model. Kecuali sifat aslinya hanya ia tunjukkan kepada orang-orang yang membuatnya nyaman saja.

"Wahh kalian gibah di depan orangnya."

"Mm ... sorry ya Ran," Kania melirik jam di ponsel yang di genggamnya. "Kita harus pergi duluan kerjaan belom beres nih!"

"Ohh iyaa gak apa-apa, next time kan bisa ngobrol lagi."

"Aku minta kontak kamu deh!" pinta Kania sambil menyodorkan ponselnya dan Rania dengan cepat menuliskan beberapa digit angka di sana. Dave dan Kania kemudian pergi setelah wanita itu kembali memeluk Kania dengan hangat.

Pikiran Dave tiba-tiba terus dihantui bayangan Rania belum lagi aroma parfumnya yang terasa masih menempel pada genggaman tangan Dave membuat pria itu merasa dirinya gila sebab menghirup aroma tersebut dari telapak tangannya sendiri.

"Ngelamun? kenapa? kepikiran cewek barusan yaa!" ejek Kania ketika keduanya sudah duduk di mobil sementara sopir mulai melajukan kendaraannya keluar dari area tersebut.

Dave hanya mendengus kemudian berdehem mencari suara yang tercekat di tenggorokan karena sahabatnya itu bisa menebaknya dengan mudah.

"Rania itu setahu gue punya florist juga bakery yang di rintis mungkin sekitar 7 tahun yang lalu, dia cuma jual bunga kualitas premium buat kalangan elite yang satu bucketnya aja bisa jutaan, gila gak sih?" Kania mulai bercerita bahkan tanpa diminta namun Dave dengan senang hati mendengarkan.

"Ada yang mau beli?" Untuk Dave yang tidak paham soal bunga hal itu terdengar luar biasa.

"Banyak banget, gue sering cek di insta dia. Well, beberapa dia sendiri yang ngerangkainya dan itu keren banget sih. Gue kalo ada cowok yang ngasih bunga buatan dia bakal gue pajang di ruang tengah biar orang tahu," ujar Kania sambil terkekeh.

"Kalo toko bakery-nya?"

"Mm ... itu di Pondok Indah cabang pertamanya."

"Pertama?" Dave terlihat antusias.

"Ahh ... dia punya 5 cabang kalo gak salah sih soalnya gue cuma tahu dari insta dia aja mungkin sistem Frenchies."

"Menarik yaa, padahal cara ngomong dia itu gak sesuai sih sama apa yang lo omongin barusan."

"Ya kan!! Rania itu selalu jadi pusat perhatian karena tingkahnya tapi dia aslinya baik banget. Lo cocok tuh sama dia!" Kania lagi-lagi mengejek Dave namun pria itu hanya tersenyum dan Kania dapat melihat potensi dirinya untuk menjadi Cupid bagi dua makhluk ini.