You Are Not Hard To Love Maybe You're Expecting Love From Those Incapable Of Loving You.
Dave menarik nafasnya kemudian membuangnya dengan kasar obrolannya pagi ini dengan Sany membuat kepalanya sedikit sakit, menyandarkan bahunya di kursi tidak menghilangkan rasa itu dan kesibukannya tidak membuat ia lupa.
Kania masuk setelah mengetuk pintu kaca ruangannya sebanyak 3 kali mungkin, atau lebih Dave tidak sadar. Ia hanya menatap wanita yang menenteng kotak berwarna pink pastel yang sedikit membuatnya penasaran namun ia enggan bergerak dari sandaran kursinya untuk menjulurkan kepalanya melihat lebih dekat.
"Gue bawain lo cake yang bakal bikin lo gak cemberut terus kayak tadi." Ucap Kania sambil menyimpan kotak tersebut di depan Dave
Pria itu membukanya dan membiarkan Kania berdiri disana menunggu, kemudian memberi tatapan bertanya yang langsung di pahami sahabatnya itu,
"Chocolate Red Velvet Cake." Ujarnya yang well, bisa di tebak dengan mudah sebenarnya oleh Dave namun apa istimewanya?
Dave kemudian mengambil satu suapan dari ujung slice cake tersebut, aroma rum yang kuat tercium dari sana kemudian ia memasukannya ke dalam mulut dan merasakan lembut tekstur cakenya. Cokelat dan kombinasi red velvet yang Dave kira akan sangat memuakkan ternyata memiliki manis yang pas dan menggoda untuk terus di cicipi.
Dave mengambil suapan kedua dan seterusnya sementara Kania masih berdiri dengan setia menunggunya selesai.
"Enak banget kan??"
"Hmm ... Beli dimana?" Dave tidak membantah, ia setuju bagaimana pun ia mengakui selera Kania memang tidak pernah buruk.
"Red Shoes ... Toko kuenya Rania." Penjelasan Kania membuat Dave terdiam, nama itu lagi. Entah kenapa sedikit mengganggunya sejak pertemuan pertama mereka, tawa gadis itu seperti candu entah kenapa terdengar begitu nyaring.
"Kania, lo kasih ke Pak Heri suruh dia cobain siapa tahu dapet ide buat varian roti kita." Tiba-tiba saja pemikiran itu muncul di kepala Dave
"Wahh otak businessman emang beda ya, oke nanti gue minta Rania eksklusif anterin ke sini."
"Dia yang anter?"
"Gak juga sih, tapi tadi dia bilang mau mampir ke sini yaudah sekalian aja gue minta dia bawain. Gimana?"
Dave mengangguk tanda setuju namun dalam hatinya seperti ada sesuatu setiap kali nama wanita itu disebut, ia tidak mengerti apa namun rasanya aneh untuk seseorang yang baru di kenal.
Rania datang sore harinya dengan tangan penuh cake box yang sengaja di siapkannya sejak tadi satu kotaknya berisi 3 jenis cake andalan di tokonya yang Rania ingin sekali semua orang mencobanya.
Kania mengantar temannya itu untuk menemui Dave di kantornya dan membiarkan keduanya mengobrol soal Kue mungkin atau lebih dari itu. Batinnya.
Rania datang dengan gayanya yang santai namun tetap menampilkan kesan mewah mungkin karena t-shirt yang di gunakannya berlogo LV dengan handbag yang jelas Dave tahu keluaran terbaru dari sebuah brand ternama Paris, dan ia tahu seberapa mahal harga benda kecil tersebut karena ia pernah membeli model yang sama untuk Sany saat dinas di Paris.
Harga yang fantastis untuk benda yang bagi Dave tidak masuk akal, namun Dave yakin sebagai seorang pebisnis Rania pasti membeli barang-barang semacam itu sebagai bentuk investasi juga.
"Aku ngomong informal boleh? Anggap aja kita temen yaa." Ucap Rania di awal obrolan keduanya, Dave tersenyum wanita itu memiliki jenis suara yang manis.
"Ini Chocolate Mousse sama Red Velvet Cake kalo yang ini kamu udah coba kan?? Gabungan dari keduanya kurang lebih. Chocolate Red Velvet." Jelas Rania sambil menunjuk satu persatu cake yang di bawanya.
"Yup. Saya suka se-"
"Stop. Coba pake kata aku jangan sa-ya!" Sela Rania dengan telunjuk yang di gerakan di depan wajah Dave dan lagi-lagi Dave tersenyum tanpa menjawab.
"Oke, aku suka banget sih kue yang tadi Kania kasih. Honestly, itu perfect banget ...," Rania tanpa sadar bertepuk tangan kecil atas pujian untuk kuenya.
"Dan aku yakin dua yang ini enggak akan mengecewakan." Puji Dave sambil menunjuk kedua kue lainnya.
Rania kemudian mempersilahkan Dave mencoba Red Velvet nya. Dave merasakan cake itu lumer di mulutnya dengan tekstur dari frosting cream cheese dan crushed peanut yang memberikan sensasi perpaduan yang luar biasa dan lagi-lagi memiliki rasa manis yang pas. Dave terkejut, ia tidak bisa menyembunyikan kesukaannya pada rasa cake tersebut.
Kemudian ia mencoba Chocolate Mousse yang membuatnya menelan ludah ketika hanya melihat lelehan cokelat diatasnya yang shiny dan benar saja teksturnya begitu soft dan fluffy bahkan untuk seseorang yang tidak menyukai cokelat Dave merasa cake ini sempurna.
"Gini Rania, aku ngerasa ini cake amazing banget sih dan rasa dari cokelat yang gak terlalu manis ini keren banget kalo jadi isian roti sandwich aku."
"Dan kayaknya kalo rotinya kamu ganti jadi Red Velvet, unik banget gak sih?" Rania tiba-tiba saja mencetuskan idenya yang terlintas begitu saja.
"Kita satu pemikiran, aku mau bahas itu nanti tadinya saat kamu setuju untuk gabung di project ini,"
"Kamu mau kita kerjasama?" Dave tanpa basa basi menawarkan diri. Ia menatap lekat mata wanita itu mencari jawaban dari keinginan yang di ajukannya.
"Dan keuntungan apa yang aku dapet?" Tanya Rania, wanita itu jelas tahu caranya berbisnis dilihat dari etikanya yang berbeda ketika berbicara mengenai hal serius.
"Well gak heran sih kamu sukses dengan bisnis ini kalo ngeliat cara kamu negosiasi." Dave tidak dapat menyembunyikan kekagumannya pada wanita di hadapannya tersebut.
"Tentu aja nama Red Shoes akan tertulis di setiap packaging."
Rania terdiam sejenak, ia menyilangkan tangannya di dada membuat pakaiannya menekan bentuk tubuhnya dengan sempurna.
"Aku suka ide kamu, mungkin biar kerjasama kita lebih serius kamu bisa contact aku lagi Dave kalau semua rancangannya udah siap!" Pungkas Rania sambil menyilangkan kakinya.
Pembicaraan keduanya soal bisnis berakhir dengan singkat, Dave menikmati kuenya sementara Rania kembali berceloteh layaknya seorang teman, mengabaikan pandangan senang Kania dari luar ruangan Dave yang transparan.
"Aku boleh tanya sesuatu yang private?" Dave tidak menunggu jawaban Rania sampai ia melanjutkan, "Kamu belum nikah?" Tanya Dave di sela obrolan keduanya.
"Nikah? Belum saatnya mungkin." Rania terlihat menarik nafas berat meski wajahnya menampakkan senyum.
"Aku pernah jatuh cinta dan setiap hubungan pasti ingin berakhir dalam pernikahan, bagi aku sendiri menikah adalah pembuktian cinta paling tinggi ...,"
"Tapi yaahh ... Tuhan selalu punya rencana." Lagi-lagi Rania tersenyum bahkan hampir tertawa namun Dave entah kenapa dapat melihat matanya berkaca-kaca ia sedikit menengadah berharap tetesannya tidak jatuh dan menimbulkan pertanyaan lain.
"Sorry ya Dave, soal nikah selalu sensitif sih. Tiap kali pertanyaan itu muncul aku ngerasa belum sempurna dalam hidup dan pertanyaan itu gak ada abisnya."
"Yahh, aku ngerasain hal yang sama." Keduanya kembali tertawa.
Dave merasa bahwa dunia di sekitarnya berhenti ketika mereka mengobrol membicarakan hal sepele bahkan tertawa karena celotehan Rania yang garing, Dave entah kenapa membuka dirinya dengan mudah pada wanita yang baru di kenalnya. Wanita yang memiliki pandangan yang hampir sama dengannya.