"Mobil sudah siap, Tuan," ujar laki-laki berpawakan tegap dnegan kepala menunduk.
Sedangkan sang presensi yang sedari tadi duduk tenang dengan cerutu disela jarinya mengangguk, ia mematikan benda berasap itu dengan cara menginjaknya, lalu bangkit dan tergerak untuk merapikan setelan formal yang melekat pada tubuh tegapnya.
Xander, begitu orang-orang mengenali pria itu. Jangan harap dalam sesi ini akan dideskripsikan kelebihannya, ia tertutup dan misterius. Jadi, tidak ada deskripsi yang tepat untuk menjelaskan bagaimana rupa maupun watak pria jakung itu.
Kedua kaki terbalut pantofel mengkilatnya menapak dengan irama setara dengan detak jantung. Ia membungkuk guna memasuki mobil setelah dibukakan pintu lebih dulu oleh tangan kanan terpercayanya.
"Lewat jalan layang, aku ingin memantau jalan milikku sendiri." Ucapan singkat itu langsung membuat oleh sang sopir meremang takut lantaran memilih menjadi pasif antar mereka bertiga di dalam mobil ini.
"Tuan, mengapa kita tak memakai pesawat saja agar lebih cepat?" Robert tahu, protes dengan suatu yang sudah mutlak langsung dari mulut Xander sama saja membunuh nyawanya sendri. Untuk kali ini, anggap saja Robert sudah kebal tentang hal itu.
"Diam Robert, lakukan sesuai ucapanku. Kau hampir membuat sisi gelapku bangkit." Xander memjamkan mata, mencoba berkompromi pada sisi dirinya yang lain agar tak mengambil alih tubuhnya untuk saat ini. Demi apapun ada yang membuatnya merasa terancam sekarang.
Tubuh Robert langsung meremang, begitupun sang sopir yang memilih mencengkram erat stir mobil yang dibawanya. Atmosfer dalam ruang ini benar-benar mencengkram dua nyawa di dalamnya.
"Jalan," perintah mutlak itu menudara setelah hening menerpa dua menit setelahnya, bongkahan besi itu mulai membelah jalanan malam Jakarta dengan kecepatan sedang.
Jalan layang cukup lenggang, samar-samar deru mobil lain yang melaju kencang terdengar lewat telinga telanjang.
Presensi tegap yang duduk di kursi belakang sendirian masih bungkam, Xander memilih memejamkan matanya untuk mencoba berkompromi dengan tubuhnya sendiri. Namun sedetik berikutnya, sisi lain laki-laki itu berontak. Senyuman miring tampak jelas, ia membuka matanya dengan netra tertuju pada kaca mobil. Sang sopir yang tertangkap basah karena mengamati pergerakan Xander langsung memutus kontak begitu saja.
Namun jangan harap Xander tak sebodoh itu hingga tak mengerti apa yang sedang terjadi, tangannya masuk ke dalam saku jas yang ia kenakan. Sedetik berikutnya, bunyi pelatuk pada pistol langka yang kini berada dalam genggaman tangannya ia tunjukan pada sopir. Mobil yang mereka tumpangi langsung berhenti di tengah jalan sepi, sedangkan Robert yang duduk di kursi samping sopir terperangah. Sial, ia kecolongan. Robert tak yakin bisa terlepas hukuman dari Xander karena membiarkan mata-mata masuk ke dalam mobil yang ditumpanginya.
"Katakan kau utusan siapa atau peluru dalam pistol ini bersarang di dalam kepalamu." Suara mengintimidasi itu kembali mengudara, Xander masih menahan ekspresi tenangnya menghadapi mata-mata yang dengan mudahnya menyelinap masuk.
Pantas saja ia merasa janggal, sopir yang mengantarnya tak pernah mengenakan topi ataupun alat pendengaran berukuran cukup kecil pada telinga kirinya.
Sopir itu bungkam, tampak keringat meluncur deras pada wajahnya. Namun Xander tak peduli, dalam artian lain pria itu menyerahkan nyawanya pada Xander secara sukarela.
"Siapa yang memintamu?" Pertanyaan dengan nada tenang itu kembali mengudara, sejujurnya Xander sudah tidak bisa lagi menahan nafsu menembaknya. Rasanya sudah lama rak lepas kendali seperti ini.
"T-tuan Wil ...."
DOR...
Peluru keluar dan bersarang di dalam kepala mata-mata Tuan Wiliam, peran yang masih samar dan belum saatnya dijelaskan.
Sedangkan Robert meneguk ludah susah payah, setelah ini ia yang akan dihukum oleh tuannya sendiri.
"Maafkan kecerobohan saya, Tuan," ucapnya dengan kepala tertunduk setelah memutar tubuhnya menghadap kursi belakang.
Xander menatap puas tembakannya, ia tersenyum miring menatap korban yang kini tak sadarkan diri. Atau mungkin telah mati? Ia beralih menatap Robert setelah menyapu perlahan pistol dalam genggam tangan menggunakan tisu basah yang tersedia.
"Buang dia ke jurang, jangan meninggalkan jejak apapun."
***
Seperti biasa, hanya segelintir manusia yang singgah di dalam Caffe yang ditempatinya. Gadis dengan apron berwarna putih dan topi pegawai yang melekat apik di atas kepalanya menatap keadaan Caffe dengan senyuman sumringah. Besok hari genap tiga bulannya ia bekerja di Cafe ini. Walau dengan gaji yang jauh berbeda dengan gajinya saat masih menetap di New York, tetapi ini lebih dari cukup.
"Calista, kau sudah mengantarkan pesanan meja nomor tujuh?" tanya Eveline, teman kerja yang memiliki umur dua tingkat lebih tua dibanding dirinya. Ia mengangguk guna merespon pertanyaan gadis berambut sebahu itu, "Sudah, Eve."
"Baiklah, kau istirahat dulu, biar aku yang menjaga kasir," ujar Eve dengan tatapan khawatir pada Calista. Terhitung pekerja di Caffe ini enam orang dengan shift malam, namun karena empat dari mereka sibuk di dapur jadilah Eve dan Calista yang menangani bagian depan.
"Tidak perlu, lagi pula tidak ada pengunjung lain," jawab Calista.
Eveline mengembuskan napas untuk menanggapi tingkah keras kepala yang melekat pada tubuh teman kerjanya. Ia memilih berjalan mendekat, kemudian berdiri di depan gadis itu dengan wajah yang sudah berbeda, Eveline menatap Calista dengan wajah penuh binarnya.
"Kau tahu? Tiket festifal musik klasik sudah diperjual belikan. Dan aku sudah membelinya." Eveline berkata dengan nada riangnya.
Calista yang sebelumnya terfokus pada lap kecil untuk membersihkan keyboard membayar langsung menghentikan pekerjaannya, ia menatap gadis yang berdiri dengan tangan bertumpu pada meja yang sama seperti dirinya dengan pandangan penuh binar.
"Aku ingin membeli tiketnya. Eve kau bisa menjaga kasir sebentar?" ujar Calista yang ingin memesan tiket lewat online. Eveline lebih dulu menggeleng-gelengkan kepalanya, Calista tak akan pernah terlepas dari hal-hal yang berbau klasik seperti ini.
"Kau terlambat, tiketnya sudah habis," ujar Eve tenang tanpa mengalihkan pandang. Calista yang sebelumnya sudah menatap layar ponselnya sendiri langsung menatap lawan bicara dengan binar wajah yang hilang begitu saja.
Ah, mengapa dirinya merasa sial baru-baru ini? Festival klasik bulan Juli menjadi kali keduanya ia tak hadir karena keterbatasan tiket yang tersedia.
Calista mengembuskan napas dengan wajah muram, bahunya merosot hingga binar wajahnya hilang tak tersisa. "Selalu seperti ini," gumamnya.
Sang sumber informasi langsung gelagapan saat menyadari kristal bening menumpuk pada kelopak pandang Calista. Eve langsung menghampiri gadis itu sembari mengeluarkan tiket dari saku seragamnya.
"Just kidding, Cal. Ini tiketnya, aku membelikan untukmu juga," ujar Eveline. Ia menyodorkan kertas tebal persegi panjang di hadapan wajah gadis itu. Sesuai dengan apa yang sudah diprediksinya, binar senang pada wajah Calista kembali tampak . Gadis itu langsung merebut tiket pada tangan Evelin dengan senyuman lebarnya.
"Terima kasih, Eve. Kau baik sekali padaku." Calista langsung memeluk tubuh Eveline erat, baginya Eve lebih dari teman kerja. Ia selalu menganggapnya sebagai kakak.
"Hei! Lakukan pekerjaan kalian!" Serun kencang yang terdengar hampir ke penjuru Caffe membuat Calista dan Eve melepaskan pelukan. Mereka menatap pemilik Caffe ini dengan segan, kemudian membungkukan badan sebenatar pertanda meminta maaf.
"Maaf, Nyonya Laura."
***
"Berhenti di take a rest depan," perintah Xander pada Robert dengan nada datar.
Sang tangan kanan hanya mengangguk sebagai jawaban, kemudian membelokan stir guna memasuki kawasan take a rest dengan ukuran luas itu. Setelah memastikan mobil mereka terparkir beriringan dengan mobil-mobil lain, Robert keluar lebih dulu guna membukakan pintu sang tuan.
Xander turun dari mobil, seperti biasa tangannya pasti reflek membenarkan setelan jas yang dikenakannya. Ia mengedarkan pandang dengan hidung menghirup udara malam yang cukup dingin.
"Ini sudah lewat jam makan malam, kau bisa makan sekarang," ujar Xander setelah melirik sebentar pada Robert.
Laki-laki itu langsung mendonggakan kepalanya, apa tuannya baru saja bilang dirinya bisa pergi makan tanpa adanya Xander?
"Bagaimana dengan Tuan?" tanyanya hati-hati.
Xander memantapkan pandang pada gedung besar tak jauh dari tempat pijakannya, ia menunjuk gedung itu tanpa menghilangkan raut wajah datarnya, "Cari aku di Caffe itu pukul sebelas tepat."
Robert langsung menangguk mengerti, Tuannya ingin sendiri untuk saat ini.