"Kita berakhir, Xander. Tolong jangan mengusik hidup tenangku." Calista berkata tajam dan menusuk dengan nada kelewat datar.
Xander menanggapi ucapan serius gadis itu dengan kekehan kecil, ia kembali mendekatkan wajahnya pada Calista yang sedang membungkuk menunggu dirinya memesan makanan.
"Aku tak pernah menganggap antar kita berakhir, Tita," ujarnya membalikan ucapan gadis itu.
Gadis itu bergeming, ia menatap kosong jendela di belakang Xander dengan pikiran berpusat pada laki-laki itu. Kedua tangan gadis itu kian mencengkram erat seragamnya sendiri.
Calista salah, tak seharusnya dirinya beradu dialog dengan Xander. Dirinya sadar tak akan bisa keluar dari kungkungan yang sudah dibuat oleh laki-laki di depannya.
Ia meneguk ludah susah payah, kemudian kembali menegakan tubuh menjauh dari wajah Xander. Langkah kakinya mundur ke belakang, kemudian membungkuk tanda hotmat sebelum berlalu menuju meja kerjanya sendiri dengan buku menu dalam dekapannya.
Degupan jantungnya menggila, rasa asing yang telah lama tak hinggap kini kembali bersemayam dalam hatinya. Lagi-lagi dengan nama pelaku yang sama, Xander Adission.
Embusan napas keluar dari mulut gadis itu, Calista masih mencuri-curi pandang pada sang presensi tegap yang kini masih menatapnya dengan tatapan intimidasi. Bohong bila ia bilang tak merindukan Xander, sebab buktinya ia benar-benar mendambakan rasa nyaman yang tercipta bila tubuhnya berdekatan dengan presensi tegap itu.
"Cal!" Seruan kencang itu membuat Calista memutuskan kontak matanya pada Xander, ia menoleh menghadap Eve yang kini menatapnya dengan lekungan senang pada wajahnya. Kedua alis gadis itu terangkat menunggu ucapan terlontar dari mulut gadis berambut sebahu itu.
"Kalian sangat serasi," ujarnya dengan suara pelan, takut-takut tokoh lain mendengarnya membuat keberadaanya terancam.
Mendengar penuturan temannya, Calista memberengut tidak suka. Ia memilih memberikan pesanan Xander pada Eve untuk segera disiapkan. Jangan tanyakan mengapa Calista mengerti makanan atau minuman yang disukai Xander, ia paham perihal Xander lebih dari siapapun.
"Sudahlah jangan membahasnya, cepat siapkan pesanann Tuan Xander. Kau tidak takut melihat amukannya?" Mendengar nada tak biasa Calista, Eve langsung paham bila suasana hati gadis itu sedang tidak stabil.
"Baiklah, aku saja yang mengantarnya ke sana," ujar Eve mengimbuhi sebelum berlalu membawa secarik kertas berisi pesanan Tuan Xander. Terlampau kesal, Calista memilih membersihkan area mejanya yang sempat tertunda dengan gerakakan tak ikhlas.
Di meja sana, Xander tersenyum samar tanpa mengalihkan perhatiannya pada sang gadis. Kedua tangannya bersedekap dada dengan kedua kaki yang disilangkan. Pencariannya bertahun-tahun kini berujung, persembunyian Calista kini bisa dideteksinya. Ah, ia bersumpah bila hari ini hari terbahagianya setelah sekian waktu berada di Indonesia. Xander tahu ini sedikit berlebihan, mau bagaimana ia sudah pernah mengunjungi Tita di sini sebelumnya.
"Tuan," ujar Robert menampakan diri setelah waktu yang diberikan Tuanya habis. Xander menanggapinya dengan dehaman pelann tanpa memutuskan atensinya pada sang gadis. Pemandangan indah ini terpaksa harus diakhirinya sebentar lagi.
Robert yang mendapati tuannya tak beralih menatapnya sama sekali langsung mengalihkan pandang menuju tatapan Xander. Laki-laki berseragam jas abu-abu itu sedikit tertegun setelah mengenali siapa yang menjadi fokus sang Tuan. Ia mengabdi pada Xander bertahun-tahun, bodoh jika ia tak mengenali sosok gadis yang sedang membersihkan meja kerjanya sendiri.
"Anda kemari karena nona?" tanya Robert hati-hati dengan kepala yang tertunduk.
"Bahkan aku sengaja tak mencari tahu keadaannya setelah dua tahun berlalu, Rob," jawab Xander.
Robert mengangagauk membenarkan, Xander memang tidak mengizinkan dirinya mencaritahu tentang Nona Calista setelah pristiwa tahun itu usai.
"Lalu mengapa Tuan bisa menemukan nona?" Pertanyaan bodoh itu mengudara dari mulut tangan kanan terpercaya Xander. Nona Calista sangat manis, itu sama sekali tidak berubah. Robert bahkan merasa kesulitan untuk sekadar memalingkan wajah.
"Anggap saja permainan takdir. Robert, aku tak memintamu menatapnya lama, dia milikku."
Robert langsung memutuskan pandanganya, ia menunduk dengan kedua tangan yang tertumpu di depan tubuhnya.
"Maafkan saya, Tuan."
"Minta pesananku, bayarkan dan berikan pada Calista."
Xander memilih beranjak setelah puas menatap gadis pujaannya, ia membenarkan letak jas sebelum memilih berlalu keluar dari caffe ini tanpa memakan atau meminun apapun.
Sedangkan Robert hanya mengangguk mengiyakan permintaan tuannya, laki-laki itu berjalan menuju kasir setelah mendengar dentingan lonceng menggema tanda tuannya telah berlalu menuju mobilnya.
Calista masih tak menyadari kehadiran manusia lain, netranya tak bergulir ke arah lain selain menatap punggung lebar laki-laki itu dengan pandangan nanar. Ia tak yakin bisa kembali bertemu Xander setelah ini.
"Nona," ujar Robert memanggil Calista untuk ke tiga kalinya.
"Ah, ya?" Calista tersadar, ia menatap pria di depannya dengan kedua alis yang terangkat.
Sedangkan Robert yang merasa terintimidasi dengan Xander walau laki-laki itu tidak berada di dalam ruangan ini langsung memutuskan untuk menundukan kepalanya. Tuannya bilang hanya laki-laki itu yang boleh puas memandang wajah cantik gadis di depannya.
"Sepertinya anda sangat menyukai tuan saya," ujar Robert dengan kekehan di kalimat akhir, ia mengerogoh saku celananya untuk mengambil uang cash guna membayar pesanan tuannya.
Calista kian dirundung kebingungan, "Kau tangan kanan Xander?" tanyanya hati-hati.
Robert mengangguk membenarkan, setelahnya ia menyodorkan selebaran uang berwarna merah pada Calista dengan senyuman tipis.
"Tuan bilang, pesanannya diberikan kepada nona."
Setelah berhasil menuntaskan perintah tannya, Robert masuk ke dapan kursi depan mobil Xander untuk kembali menyetir. Ia menoleh ke belakang untuk memastikan keberadaan tuannya. Tampak pada netra Xander tengah memejamkan mata dengan senyuman samar yang masih bisa terekam.
"Nona menerimanya dengan senang hati, Tuan." Robert menyodorkan struk belanja caffe tempat Calista bekerja pada Xander.
Laki-laki itu langsung membuka kedua kelopak matanya, ia menegakan tubuh setelah mendengar penuturan dari sang tangan kanan. Netranya kembali bergulir menatap tempat kerja Calista, rasa bungahnya kian membuncah. Kian dirundung rasa tak rela bila meninggalkan gadis itu take a rest ini.
"Rob, bagaimana menurutmu?" tanya Xander menggantung ucapan.
"Apa yang bagaimana, Tuan?" Robert balik bertanya.
"Langsung kubawa kabur sekarang atau nanti?" Katakan Xander gila bila telah menyangkut Tita.
***
Calista sampai ditempat penginapannya. Kedua kakinya melangkah gontai tanpa semangat, rasa kantuk benar-benar menyerangnya habis-habisan. Ia berbaring di atas sofa kecil berwana hijau pastel, kemudian megadahkan wajahnya menatap lampu ruang tengah yang sengaja tidak dinyalakannya.
Cairan kristal bening turun begitu saja dari kedua kelopak mata entah dengan alasan apa dirinya menangis.
Calista juga manusia yang ingin berkeluh kesah pada manusia lain, ia membutuhkan sandaran terlepas dari karakternya yang selalu menutup-nutupi kesedihan.
Xander, hanya nama itu yang bersarang pada pikirannya. Rasa rindu menyeruak pada pikiran, sesak selalu menghampiri Calista bila nama laki-laki itu terucap dalam pikirannya.
Pertanyaan-pertanyaan perihal laki-laki itu selalu berhasil menghantuinya. Bagaimana laki-laki hidup? Apakah ia bahagia? Mengapa tak mencarinya selama ini? Apa sandarannya sekarang bukan dirinya lagi?
"Hiks," isaknya. Di tengah cahaya tamaram tanpa adanya teman, Calista meraung menikmari tubuhnya yang kini kian dirundung rasa menggelitik, rasa rindu.