Xander mengendarai mobilnya dengan kecepatan sedang. Sesekali kedua kelopak matanya terpejaam saat Jonathan, sisi lain dari dirinya meronta ingin mengambil alih tubuhnya sekarang. Dua jam yang lalu, ia landing di Bandara Soekarno Hatta, Indonesia dengan tujuan menemui Tita. Ini berakar dari Jonathan, dengan lancangnya tak mau berkompromi dalam segi apapun karena terlalu memikirkan sang gadis di Indonesia.
Setelah lama berdebat dan sempat tak berbincang satu hari sama sekali, mereka memutuskan untuk terbang ke Indonesia setelah Xander memenangkan Tander besar-besaran yang baru saja rampung dua hari yang lalu.
"Jangan membuat kepalaku kembali pening, Nath!" seru Xander denagn nada kesalnya di tengah perjalanannya pulang ke apartemen miliknya di Indonesia. Ia mengerutuki Robert yang tak ikut serta lepas landas ke Indonesia lantaran tumpukan pekerjaan memaksanya menetap di persahaan utama.
"Jangan pulang, bodoh. Sudah kubilang tujuan kita berada di sini adalah menemui Tita!" seru Jonathan balik dengan nada yang tak jauh berbeda dari Xander. Seruan cukup kencang itu kian membuat pusing pada kepalanya kian terasa.
Laki-laki yang kini sedang memfokuskan dirinya pada stir mobil hanya mampu menghela napas, Jonathan memang hanya memikirkan dirinya sendiri. Ia lebih egois bila dibandingkan dengan sang pemilik tubuhnya sendiri, Xander. Tidak hanya Jonathan yang merindukan Tita, Xander pun sama. Bedanya, laki-laki itu masih bisa mengkontrol emosi dan ekspresi wajahnya.
"Tidakkah kau lelah? Kita bisa menemui Tita di take a rest besok pagi, bukan hanya dirimu yang merindukannya." Xander menambah laju mobil yang dibawanya saat memasuki kawaksan yang cukup lenggang.
Jonathan tampak menimang, kemudian setuju atas penuturan Xander. Laki-laki itu berjalan menjauh dari tempatnya, memilih bungkam dan menunggu hari esok datang. Pikirannya selalu tertuju pada Tita dan seterusnya akan berfokus pada sang gadis pujaaanya.
Kerutan pada dahi xander tampak, ia memelankan laju kendaraan saat melihat seorang perempuan muda berdiri di tengah jalan yang menjadi jalur kemudinya. Decakan kesal keluar begitu saja, ia pikir gadis itu sedang mencoba menyia-nyiakan nyawanya dan memilih untuk mengakhiri sesi hidup. Namun sedetik berikutnya ia menyirit saat sedikit mengenali rambut dan bentuk tubuh gadis di depan sana.
Tepat saat kap depan mobil Aston Martin One-77 yang dikendarai Xander menempel pada tubuh perempuan itu, Xander memfokuskan pandangannya pada gadis di depan mobil yang sekarang sudah tampak jelas wajahnya.
"Nath, aku peralat ucapanku beberapa detik lalu. Kau bisa bertemu Tita sekarang juga," ujarnya sembari kembali mengundang Jonathan untuk berbicara dengannya. Walau begitu netranya tak bergulir ke arah lain selain pada Tita.
Seperti yang Xander duga, laki-laki yang bersemayam dama tubuhnya itu langsung bereaksi berlebihan, tubuhnya sempat menggelinjang saat reaksi Jonathan membuatnya bertindak sedemikian..
Ia sama senangnya dengan Jonathan, melihat wajah Tita adalah pemandangan terindah untuk saat ini. Setidaknya ia mengharapan kehidupan yang baik untuk gadisnya, Tita.
"Mengapa ia di tengah jalan? Apa Tita frustasi dan ingin mengakhiri hidupnya karena kehilanganku?" tanya Jonathan kelewat percaya diri. Xander hanya memutar bola mata malas, kemudian menatap Tita yang kini mengetuk kaca mobil yang di pakainya dengan pandangan khawatir khas dirinya.
***
"XANDER?!" pekik Calista sedikti tak percaya.
Xander lebih dulu memperlihatkan senyum miringnya, kemudian kembali menutup kaca mobil dan keluar dari pintu kemudi. Di dalam sana, Jonathan bersorak senang dan kegirangan melebihi apapun.
Calista masih tidak paham dengan keadaannya saat ini, mengapa Xander ada di Indonesia? Bukannya laki-laki itu terbng ke New York beberapa minggu yang lalu?
"Mengapa kau berdiri di tengah jalan? Tidakkah kau tahu itu membahayakan dirimu sendiri?" Xander bertanya dengan nada dingin khas dirinya. Untuk beberapa saat, Calista terdiam karena terllau takut. Karena bagaimanapun, ia tak bisa keluar begitu saja dari pesona dan aura yang Xander yang langsung menguar.
"Itu tidak penting sekarang, bisakah kau membantuku membawa Eveline ke Rumah Sakit terdekat?" Calista menunjuk Eveline yang masih bersandar pada pohon di sisi trotoar.
Xander mengikuti arah tunjuk Calista, kemudian mengangkat alisnya saat menyadari kehadiran manusia lain di antara mereka berdua.
"Cepat bantu Tita, Xan. Walau kau tidak ingin membantu temannya, setidaknya jangan buat angin malam terus mengenai kulit gadisku. Ia bisa sakit," tutur Jonathan berpikir lebih jauh. Namun sepertinya penuturan itu tidak ditanggapi oleh Xander, laki-laki itu malah bersedekap dada sembari memiringkan kepalanya.
"Itu bukan urusanku, Tita. Kalaupun kau ingin kubantu, aku butuh sebuah imbalan," ujar Xander bernegoisasi.
Tita memjamkan kedua kelopak matanya seraya meremas kedua telapak tangan miliknya, ia begitu mengenal Xander untuk hal ini. Jangan kalian pikir Xander hanya meminta imbalan kecil, ia tidak semudah itu. Jalan pikir laki-laki itu rumit, siapapun yang belum lama mengenalnya tak akan pernah paham.
Gadis itu melepaskan liotin perak dengan bandul kunci emas yang menggantung indah pada leher putihnnya, meletakannya di atas telapak tangan Xander dengan gerakan yang terbilang cukup buru-buru. Raut wajahnya seperti kalut, ia takut terjadi sesuatu hal yang buruk dengan Eveline.
Calista hanya mampu menamati wajah Xander laki-laki itu mentap liontin miliknya dengan tatapan yang tak biisa Calista mengerti. Namun yang harus ditekankan di sini, liontin itu berharga melebihi apapun di masa lampau, masa saat mereka beruda masih dalam keadaan baik-baik saja. Masa dimana semuanya belum serumit seperti sekarang ini.
"Ini tidak cukup, kau punya hal lain?" tanya laki-laki itu kembali setelah beberapa saat menormalkan eksprersi wajahnya. Ia tak menyangka bila Tita masih menyimpan kalung pemberiannya, Xander ingat betul bila kalung ini dirinya beli saat pertama kali mendapat uang dari perusahaan yang baru dirintisnya.
"Baiklah, apa yang kau inginkan pasti aku turuti. Untuk saat ini tolong bantu aku membawanya ke Rumah Sakit," ujarnya dengan nada memelas. Calista tak mempunyai pilihan lain, ia tak ingin Eveline terlalu lama berada di pinggir trotoar.
"Baik, semua permintaanku," tekan Xander kembali yang hanya ditanggapi anggukan pasrah oleh Calista.
"Bantu aku mengangkatnya, Tuan."
Tak sadar, ucapan Calista membuat Xander kembali berekspreksi datar. Xander tak senang Calista memanggilnya dengan sebuah drajat, gadis itu tidak boleh menganggap dirinya lebih tinggi.
"Aku tidak bisa menyentuh sembarang wanita," ujarnya dengan nada datar. Kali ini, kedua tangan laki-laki itu sudah ia masukan ke dalam saku celana bahan berwarna hitam.
Untuk kesekian kalinya, Calista mengembuskan napas lelahnya. Ia tahu bila meminta bantuan Xander tidak akan semudah seperti di masa lampau.
Calista memilih menuju sisi trotoar, memapah tubuh Eveline yang masih memejamkan mata walau harus bersusah payah hanya bermodalkan tubuh mungilnya saja. Sedangkan Xander menahan senyuman tipisnya saat melihat Calista tampak kesulitan. Tubuh gadis itu tak berbeda, kecil menggemaskan dan nyaman dipelukan, eh?
Laki-laki itu lebih dulu membantu Calista untuk membukakan kursi pintu penumpang, kemudian ikut masuk ke dalam kursi kemudi dan membiarkan Calista duduk di kursi belakang sembari menyandarkan tubuh temannya pada kursi dengan aman, gadis yang cukup bertanggung jawab.
"Kau cocok menjadi sopir, Xan," gurau Jonathan sembari terkekeh setelah menyelesaikan ucapannya. Sepertinya suasana hati sisi lain Xander sedang baik, tentu saja karena kehadiran Calista di dekatnya.
Xander tak menanggapinya lebih lanjut, memilih kembali menjalankan mobilnya menuju Rumh Sakit. Ia bukan laki-laki yang mudah merasa ikhlas, maka dari itu perbuatannya sekarang Xander anggap sebagai bagian dari permintaan sang gadis pujaannya.