Brumm! Brumm!
Seorang pria muda melajukan motornya kencang sekilat petir.
Kuda besi itu melaju kencang membelah jalanan yang nampak lenglang. Motor gede dengan kapasitas mesin tinggi itu membuat seseorang yang menungganginya terlihat gagah dan tangguh, saat melajukan motornya dengan lincah dan gesit.
Igho Sbastian namanya.
Ia tak habis pikir, masih terngiang beberapa percakapan sebelumnya dengan sang ayah. Igho Sangat sulit untuk mencerna semua kata-kata ayahnya beberapa jam yang lalu, sebelum ia pergi.
Dia tidak mau mendengar dengan jelas semua penjelasan sang ayah, karena dalam benaknya hanya berisi tentang kecurangan yang telah di lakukan oleh sosok itu.
"Semua karena ayah! Mami meninggal karena ayah! Ayah selalu sibuk dengan pekerjaan ayah sendiri hingga lupa bahwa kita ada di sini!" ketus Igho beberapa jam yang lalu di rumah mewahnya.
Nampak di balik helm, air mata berkerumun di dalam kelopak mata Igho, sehingga pandangannya seketika buram sulit terfokus pada jalanan.
Di sisi lain, wanita tinggi kecil bermata lentik dengan alis menjuntai runcing tiba-tiba datang tanpa aba-aba menyekat jalanan.
Membuyarkan semua konsentrasi mengemudi Igho yang sedang kencang menarik pedal gas dibatas rata-rata.
Sontak membuatnya terkejut dan harus menarik lalu menekan tuas rem dengan dadakan.
Arrrgggghhh!
Cekiiittt! Brak!
Motor Igho terpental beberapa meter kedepan.
Wanita yang memakai kemeja peach dengan rok payung satu lutut itu sontak terkejut, untung saja ia sempat menghindar dengan mundur beberapa langkah kebelang sambil mendekap buku-buku di dada dengan kedua belah sikut, ia membenamkan mata di telapak tangannya.
Saat ia membuka lebar pelupuk matanya, sudah terlihat pria yang sangat tampat tergeletak di atas aspal sambil mengaduh kesakitan.
Kemudian, dengan sangat panik wanita itu berlari menghampiri pria di depannya dan menurunkan tubuhnya hingga setara dengan pandangan Igho.
"Apakah kamu baik-baik saja?" Sergah perempuan itu kikuk melihat liar sekujur tubuh Igho.
"Jangan mendekat! Kamu sudah bosan hidup? Kalau nyebrang lihat kanan kiri dong!" cecar Igho dengan wajah merah langsung menyampingkan dirinya sambil terus memegangi sebelah tangannya yang terluka ketika ia terjatuh.
"Ma-maaf! Aku benar-benar tidak tahu, tiba-tiba kamu datang dengan cepat. Kamu juga salah! Kenapa melajukan motor sekencang itu? Ini bukan sirkuit!" elak wanita itu terbata-bata.
Mata Igho hanya berkeling sinis melirik sebelah mata wanita di sampingnya sambil memastikan keadaannya.
Igho membuka sebelah jaket tangannya, dan melirik luka bekas seretan jauh saat lengannya mencium aspal dengan tubuh tertindih motor.
"Shhhh, Awww!" Erangnya kesakitan.
"Kalau kau tak sempat menghindar, mungkin sekarang kau sudah mati, tahu! Dasar bodoh!" bentak Igho masih kesal dengan kejadian itu.
"Tapi, ini bukan arena balapan! Kau juga mengemudi terlalu kencang!" balas wanita itu tak mau kalah.
"Alah, bisanya mengelak saja!" Igho kembali melihat lukanya.
Darah segar menetes dari punggung pergelangan tangannya, itu hal yang paling sangat ia sayangkan. Karena profesinya sebagai atlet basket, tangan adalah priotas utamanya.
Wanita berambut ikal itu tiba-tiba khawatir melihat cairan merah segar dan kental itu mengalir cukup deras sekali.
Namun Igho yang keras kepala sempat tak mau tangannya di lihat oleh wanita itu.
"Diam kamu!" Pundak Igho menghentak cepat memunggungi wanita di belakangnya.
"Dasar pria aneh! Kalau kau tetap kukuh tak mau aku obatin, aku akan tarik tangan kamu dengan paksa! Mau?" ancamnya membuat hati Igho sedikit luluh, karena rasanya sakit itu mulai menjalar ke wilayah punggungnya.
Sebenarnya, kejadian itu tidak terlalu buruk bagi Igho, dengan adanya kejadian itu, wanita culun di sampingnya berhasil membuyarkan ingatannya pada masalah yang mengerubuni pikirannya hingga penat.
Memang Igho merasa kesakitan di area pergelangan tangannya, tapi sakit yang menyesakkan hatinya lumayan berkurang, dan hijaunya urat yang tegang di atas kepala Igho mulai mengendur.
Dengan cepat wanita berkulit putih itu mengeluarkan sehelai sapu tangan merah muda bertuliskan namanya di ujung jahitan.
Jesslyn Kato.
Igho memperkirakan tulisan itu adalah nama dari wanita culun yang berada di hadapannya.
Wanita sederhana dengan rambut tergerai sedikit ikal, tak terlalu menyukai rambut yang di ikat, hingga helaian rambutnya yang ikal selalu terjuntai menutupi separuh matanya yang berbingkai kaca mata dengan lensa yang tebal.
Memang itu nama dari perempuan yang sedang mengobati tangan Igho. Tapi, ibunya selalu memanggilnya dengan panggilan Alyn. Saking sayangnya ibu Alyn, dia tak pernah sekali pun marah atau membentak Alyn. Tapi ketika kesalahan Alyn sudah berada di ambang batas, maka Ibunya akan fatal memanggil Alyn dengan tegas 'Jesslyn Kato!' Jeritnya sambil bertolak pinggang. Dan setelah itu, pasti Alyn terkekeh geli, lalu lari tunggang langgang menjauh dari kejaran ibunya.
"Nah, sudah selesai!" Alyn menarik pipinya lebar tersenyum santai sambil menaikan alis tebalnya setelah selesai mengikat pergelangan tangan Igho menggunakan sapu tangannya. "Gimana? Baikan?"
Sejenak mata mereka saling beradu pandang di atas tangan yang saling berkaitan. Igho bersyukur bertemu wanita itu, meski penampilannya tidak terlalu menarik, entah kenapa hatinya sejuk memandangi bola mata biru yang bersinar bagai langit di tengah hamparan awan putih.
Namun tak lama, Igho menarik paksa tangannya, dan mengontrol diri dari ketertarikannya pada pesona wanita itu. Ia pun tak mau di cap sebagai lelaki yang banyak beredar di pasaran, melihat wanita manapun langsung kepincut nakal.
"Baikan apanya? Sakit ya sakit saja!" Ketus Igho langsung membuang muka memasang wajah palsu dengan sikap dinginnya.
Ekor matanya menyelinap masuk menyelidiki wanita yang so'perhatian hendak menolongnya. Sebenarnyarasa sakit itu tidak sebanding dengan rasa sakit sebelumnya yang di goreskan oleh ayahnya. Igho mengibas pandangannya lagi, ia tak habis pikir kenapa harus berpikir tentang kebaikan wanita itu. Sedangkan gara-garanya Igho harus merelakan motornya cacat akibat goresan aspal yang panas tertusuk oleh teriknya matahari.
Entah mimpi apa semalam, hingga Alyn merasa sehari ini dia terus mengalami nasib sial. Mungkin dewi fortune sedang tidak berpihak padanya.
Dari mulai ia bangun, ia harus disibukkan dengan mengantar ibunya ke klinik, karena beberapa minggu ini ibunya sering mengalami sakit di setiap persendian tulangnya hingga membuatnya repot harus mondar mandir ke klinik untuk berobat. Bahkan ia merasa klinik sudah jadi rumah keduanya saking keseringan bersinggah.
Sampai ia harus repot bekerja paruh waktu selang tugas kuliahnya usai, hanya untuk menutupi semua keperluannya dengan Ibu Alyn.
Alyn menarik nafas panjang, masih menyisakan rasa syukurnya. Untung masih di berikan Ibu yang menyayanginya meski sampai sebesar itu ia tak pernah tahu siapa ayah yang sudah menjadikannya ada.
"Maaf! Aku 'kan sudah minta maaf. Jadi, jangan marah lagi!" pinta Alyn tak mau menambah masalah hidupnya.
Bersambung ...