Entah kenapa riak yang berdesir di tengkuk Alyn seolah menggambarkan ketertarikan, pandangannya tak mau lepas dari tatapan pria dewasa yang masih memakai jas kantoran ke tempat dimana ibunya di rawat selarut itu.
'Apa itu artinya orang ini orang sibuk?' piker Alin bercabang.
"Dia- teman ayahmu dulu!" tangkas Daniah, seolah tahu apa isi hati Alyn yang terus bertanya siapa pria tangguh di hadapannya itu.
"Oh, paman. Kenalkan aku Alyn anaknya ibu Daniah!" Alun menganggukkan kepalanya sopan, dan matanya melebar menunjukan sebuah kekaguman.
Alyn seolah senang saat mendengar lelaki itu ada kaitannya dengan ayahnya. Alyn berharap bapak tampan itu bisa mambuka tabir yang tersembunyi selama ini tentang ayahnya yang sama sekali tak pernah ia kenali.
Seperti orang yang sudah lama bertemu, pria itu nampak sangat santun dan ringan, bersimpatik menyambar senyuman Alyn, tak seperti penampilannya yang sangat kaku. Ternyata lelaki itu juga baik sekali menyempatkan diri mengayunkan tangannya pada Alyn untuk bisa berjabat tangan dengan wanita kecil di hadapannya.
Mata Daniah berkeling tak suka melihat situasi Alyn seakrab itu dengan pria berjambang tipis itu.
"Ekhem!" Danieh mendeham dengan suara serak basahnya.
Alyn faham dengan sedikit kode dari ibunya, bahwa Alyn harus segera keluar dan meninggalkan tempat itu.
"Baiklah, Alyn cari kopi dulu buat paman," dalih Alyn, lekas meninggalkan tempat itu di buntuti oleh pengawal yang mengiringi langkah kaki pria tadi.
Suasana yang sangat sepi dengan di hampiri luka kamanya, membuat Daniah sulit menarik nafas panjang untuk menenangkan hatinya, namun tubuhnya terlalu lemas karena beberapa suntikan obat yang mengalir keseluruh pembuluh darahnya, hingga ia sulit memalingkan pandangan dari pria itu.
Seperti membuka cerita lama, Daniah sulit berpikir saat itu. Ia hanya ingin pria di hadapannya enyah kemanapun itu perginya.
"Untuk apa kamu kesini Manaf?" Tanya Daniah menahan rasa sakit yang semakin menjalar ke seluruh tulang punggungnya.
Igho berhasil sampai di tempat tujuan yang sama dengan tujuan ayahnya. Ia melihat mobil ayahnya terparkir di halaman gedung bertingkat tempat para pasien di rawat. Ia terengah kecapean, setelah beberapa lama tersesat hilang arah dan kehilangan jejak dari ekor mobil ayahnya.
Ia bisa bernafas lega, dan siap menjadikan dirinya sebagai seorang detektif yang mengamati gerak langkah dari ayahnya Manaf.
Saat ia masuk kedalam ruangan dengan penuh orang berseragam putih sibuk dengan pekerjaannya masing-masing, Igho kebingungan kemana harus mencari Ayahnya.
Mencari pasien? Ia tak tahu nama pasien itu. Mencari dokter? Tak mungkin ia mencari dokter kalau hanya untuk mengganggu pekerjaannya saja. Ke bagian imformasi pun ia ragu. Igho hanya celingukan menatap liar seluruh ruangan dengan polesan identik berwarna putih di dominasi dengan cat hijau tua. Percis dengan seragam yang para medis pakai. Ada yang memakai putih-putih, da nada juga yang memakai jubbah hijau dengan rambut di kulum oleh bando penuh berwarna hijau tua.
"Kemana ayah?" Ringisnya kebingungan dan melangkah sembarang arah.
Detik itu juga Alyn berjalan melewati Igho, mereka tidak saling menyadari bahwa mereka saling berpapasan beda arah dari persimpangan lorong rumah sakit itu.
***
Di ruangan, Daniah nampak gugup berbicara dengan Manaf. Mata Daniah nampak mendelik, tak mau jika sampai tatapannya terhenti dan bersarang di wajah pria yang pernah menyakitinya di masa lalu.
Keberadaan Manaf di tempat itu membuat Daniah merasa tak nyaman meski mendapatkan ranjang yang cukup memuaskan.
Seolah mengelus dada, Daniah menguatkan hatinya agar bertahan pada situasi seperti itu. Kalau harus di bayangkan, rasa sakit ketika ia di tinggalkan pada masa lalu waktu itu tak akan pernah terbayangkan. Alyn adalah satu-satunya bukti, bahwa mereka pernah saling memadu asmara.
"Maaf aku, atas yang sudah berlalu. Selama ini aku mengirim Pak Wanto untuk selalu selalu mengawasi kamu dan Jesslyn dari kejauhan. Dan jika kamu mengijinkan, kali ini aku ingin menebus semua rasa bersalahku untuk menjaga kamu dan Jesslyn di tempatku!" pinta Manaf dengan harapan penuh.
Daniah terdiam sesaat, dan menilik wajah pria itu dengan ekor matanya. Ia memutar otaknya meski setiap kali ia berpikir kencang, maka urat di otaknya seolah menariknya untuk berhenti berpikir.
Tak mau lagi mendapat banyak masalah, maka Daniah menjawab "Tidak!" dengan singkat.
Lalu Daniah kembali menarik nafasnya panjang, setelah merasa sesaknya semakin menjalar.
Manaf tak mau menyerah begitu saja. Ia mnurunkan tubuhnya yang tegap berwibawa hingga setara dengan wajah Daniah. Manaf memberanikan diri memegangi punggung tangan Daniah yang terasa sangat dingi sebeku es.
"Aku tahu, kamu sedang sakit keras. Kalau bukan aku, siapa lagi yang akan mengurus kamu dan anakmu nanti? Beri aku kesempatan sedikit saja!" pinta Manaf memelas menurunkan harkat dan derajatnya.
Semua harta kekayaannya tak berimbang jika di bandingkan dengan kasih sayang Daniah yang di berikan selama ini pada Jesslyn. Namun banyak hal yang memagari Manaf hingga ia begitu sulit berkomunikasi dengan wanita yang pernah jadi tautan hatinya.
Daniah segera membuang muka, dan tetap kukuh pendirian dengan merapatkan bibirnya dan tak mau berbicara apapun lagi. Sedangkan Manaf tak henti membujuk Daniah, memohon kembali.
"Tinggalah di rumahku!" rayu Manaf dengan segala caranya sambil meraih tangan Daniah. Beberapa kali Manaf merayu, Daniah malah menarik tangannya pelan. Bukti sebuah penolakan kembali terluncur pada Manaf, hingga Manaf menekuk wajahnya lemas.
"Aku mohon, pikirkan semuanya dengan jernih. Pikirkan juga masa depan Jesslyn!" ujar Manaf lirih tanpa kekuatan seperti awal ia masuk. Peluh dan kecewa ia dapatkan saat menatap Daniah hanya menatap dengan setengah mata dan pipi saja.
Kemudian, Manaf menyerah berpamit pada Daniah.
"Jaga dirimu baik-baik! Aku pulang dulu! Jika kamu berubah pikiran, kabari aku secepatnya!" Harapan manaf hanya tinggal tersisa setitik saja dari bulatan keteguhan hati yang penuh.
Daniah mengangguk nanar, tanpa menoleh dan sama sekali tak mau memandangi pria itu.
Saat Manaf keluar dari kamar dan menutup pintu dnegan perlahan, ia sudah tidak mendapati Pak Wanto di kursi tunggu. Manaf menahan langkahnya dengan menenggelamkan tangannya menarik sebuah handphone yang ia taruh di bagian saku depan kemejanya.
Baru saja Manaf mengetik beberapa nomor di dalam layar handphonenya dan menunggu Pak Wanto mengangkat panggilannya, Igho melihat keberadaan Ayahnya yang berdiri tegak di bibir pintu kamar Daniah.
Sontak Igho mendongak dan menyembunyikan tubuhnya yang tinggi di balik dinding tebal yang berdiri sebagai penyangga gedung bertingkat itu.
Manaf melangkahkan kaki, dan Igho mundur teratur tak ingin ayahnya mengetahui keberadaannya yang berperan sebagai detektif semalam, untuk memata-matai ayahnya itu.
Sialnya Igho. Semakin ia mundur teratur, tubuhnya semakin mendekat ke arah Pak Wanto yang juga mencari majikannya dan sudah melewatkannya beberapa langkah saja.
"Tuan Igho?" sambar Pak Wanto kencang, membangunkan Manaf yang sedari tadi focus pada handphonenya.
Mendengar nama Igho di sebut, Manaf langsung menoleh kebelakang, dan melihat keberadaan anak lelakinya yang membuatnya heran.
Keningnya mengerucut, dan ia kembali mengabaikan handphone yang ia pegang dan menyambangi Pak Wanto dan anaknya di pertengahan lorong rumah sakit itu.
"Kenapa kamu berada di sini?" tanya Manaf memberi tatapan tajam seolah sedang menodong Igho.
Sontak Igho canggung dan terdiam sesaat dengan seluruh wajah putihnya berubah memerah.
Bersambung ...