Igho langsung keluar dari tempat ternyamannya, dan bangkit menghadapi Manaf sebagai pejantan yang hendak mengibarkan sayapnya.
Ia melipat kedua tangannya dengan tenang sambil membulatkan bola matanya sengit.
"Apa ayah pernah tanya pada Igho, apa Igho membutuhkan uang atau Igho lebih membutuhkan ayah sebagai pengganti uang?" Tegas Igho mulai naik pitam.
Keduanya saling beradu pandang sangat tajam, api amarah seolah berkobar di kedua belah pihak sampai membuat tengkuk Bi'Tini bergetar hebat dan ia sulit mengondisikan ujung jari jemarinya hingga suara piring yang bergetar membuat mereka tersadar bahwa tempat itu tak hanya di huni oleh mereka saja.
Belum sempat Manaf menjawab, Seseorang pria berkemeja biru dongker dengan celana kain hitam pekat datang dengan sopan menghampiri keduanya, sedikit sentuhan kening di tekuk untuk menampakan penghargaannyya.
"Maaf tuan!" Sanggah Bapak tua yang masih tangguh dan gagah itu.
"Ada apa Pak Wanto?" Tanya Manaf belum habis kemarahannya atas anak lelakinya yang tak henti membuat ulah. Matanya masih terpatri melihat tajam kearah Igho, sedang telinganya nampak seksama mendengar kabar dari Pak Wanto.
"Maaf tuan, ada kabar buruk. Beliau masuk rumah sakit!" Ucap Pak Wanto membuat Manaf merendahkan hatinya segera lenyap dari pandangan Igho.
Mungkin kali ini Igho berhasil lepas dari amarah Manaf, karena kebijakannya. Manaf tak mau mengabaikan Pak Wanto dan semua kabar yang ia bawa, sejauh ini Pak Wanto cukup sangat membantu Manaf dalam segala hal. Selain jadi supir pribadinya, Pak Wanto juga berperan penting sebagai kaki tangan Manaf untuk mengejar segala ambisinya.
Igho menaiki anak tangga dengan tatapan menyawang mengingat-ingat kalimat terakhir dari Pak Wanto yang tak ia jelaskan secar gamblang. Mengundang rasa penasaran Igho semakin berkobar.
***
Dari balik balkon kamar, Igho melihat Ayahnya pergi dengan Pak Wanto. Ia menunduk memandangi lantai dasar dari ketinggian, ia menyayangkan sekali semua langkah yang di ambil oleh ayahnya hari ini. Meski hari sudah gelap, masih saja Manaf pergi meninggalkan Igho meski padahal sedang dalam sebuah percakapan yang sangat serius.
Pikiran Igho melayang jauh. 'Kalau Ayah bisa meninggalkanku dalam percakapan yang sangat intim seperti ini, berarti kabar yang di bawa oleh Pak Wanto, adalah kabar yang cukup penting,' pikir Igho.
"Beliau, masuk rumah sakit!" Pikiran Igho kembali tenggelam dalam kalimat Pak Wanto beberapa saat sebelumnya.
"Siapa yang di sebut olah Pak Wanto?" ucap Igho berjalan beberapa langkah masuk kedalam kamarnya.
Ketika Igho berhasil memutar otaknya, Ia langsung berbalik arah dan lari terbirit-birit keluar dari kamarnya, memutuskan untuk mencari jawaban dari semua rasa keingintahuannya. Igho melewati beberapa anak tangga untuk mempercepat langkahnya saat turun kelantai dasar rumahnya.
"Den?" Bi'Tini melongok hebat melihat langkah kaki Igho yang pergi dengan sangat cepat tanpa mengindahkan sapaannya.
Alyn tidak pernah melihat bola mata ibunya secoklat itu. Tatapan lirih terpajang di wajah Alyn sambil menungkup kedua tangan ibunya yang tergeletak lemah. Alyn menyimpan satu tangan ibunya tepat di bawah rahang Alyn. Ia tak mau melewatkan sahari saja tanpa sentuhan lembut ibunya itu.
"Bagaimana keadaan ibu sekarang?" bisik Alin dengan wajah mendekat dan senyum yang menghangatkan tatapan ibunya.
Tidak, wanita berusia kepala empat itu tidak baik-baik saja. Tapi Daniah sama sekali tidak mau mengakui hal itu pada putri semata wayangnya. Ia berusaha membuka matanya segar di balik banyak selang yang terpasang di bagian sela lubang hidungnya, dan banyak lagi alat medis yang terpampang rapi, menandakan Ibunya mengidap penyakit yang tak biasa.
Pakaian yang dikenakan oleh Alyn sudah sangat lusuh, penuh dengan debu kecil dari jalanan dan butiran keringat yang ia peras selama sehari penuh. Ibunya tak sanggup berucap, bahwasannya seluruh tulang belulangnya sakit bagai di tusuk banyak jarum. Gigi putih berkilau di balik senyuman palsu Ibunya. Daniah berusaha menghibur Alyn agar letihnya berkurang meski untuk mengangkat lengannya pun terasa sangat sulit.
"Lihatlah! Hari ini ibu merasa sangat baikkan, bagaimana dengan kamu?" Alin menahan helaian rambut yang terjuntai ke arah pelupuk matanya dengan menyelipkan ke bagian sela telinga. Membuat kecantikan alyn nampak menyejukan hati Daniah.
Daniah adalah ibu kandung Alyn, Ia ramah dan tak pernah banyak bicara. Namun untuk kebaikan Alyn, ia bisa melakukan banyak hal yang di anggapnya tak mungkin menjadi mungkin. Tapi, semakin usianya termakan zaman, sejak itu pula Daniah merasa tubuhnya melemah dan tak berdaya.
Dalam senyumannya, ia menyimpan rasa takut dalam batinnya. Daniah takut, jika suatu hari nanti ia akan pergi meninggalkan putri kesayangannya, tapi ia belum sempat membahagiakan Alyn sesuai apa yang di inginkannya.
Permintaan Alyn selama ini sangat ringan, namun sulit untuk tuangkan oleh Daniah.
'Alyn hanya ingin melihat wajah ayah!' Pinta Alyn beberapa waktu yang lalu dan tak akan pernah di lupakan oleh Daniah.
Kembali Danieh mengerahkan seluruh tenaganya hanya untuk meraih pipi tirus Alyn. Saat lengan itu terayun, maka semua selang infus yang menggigit punggung lengannya ikut berayun mengikuti kemana jari jemari itu bekerja.
"Ibu istirahat saja! Kalau ibu butuh apapun, ibu tinggal sebutkan! Dan alyn akan segera ambilkan untuk ibu!" ucap Alyn membuat Danieh menggelengkan kepalanya.
"Melihatmu di sini, Ibu sangat senang. Jaga kesehatanmu baik-baik, nak!" balas Danieh dengan nafas terengah-engah. Seperti ada hal yang menghimpit di dalam kerangka tenggorokannya hingga Daniah sulit berucap dengan kalimat yang panjang.
Sekejap keduanya saling melempar senyuman menyembunyikan rasa pilu yang sedang menerjang kedua hatinya masing-masing dan menyembunyikan jauh-jauh wajah kesedihan dengan berganti dengan berbagai senyuman palsu.
Senyuman keduanya mulai buyar saat sebuar ketukan pintu menggema terdengar di ruangan itu.
Tok! Tok! Tok!
"Masuk!" Kata Alyn tak terlalu menganggap serius ketukan itu. Pikir Alyn itu hanya seorang pembantu ruangan yang sering mengganti air mineral kosong dengan galon yang baru. Karena di jam malam seperti itu, tak mungkin ada tindakan dokter lagi, terkecuali situasi keadaan pasien sedang genting.
Namun Alyn sangat heran karena senyuman ibunya yang manis tiba-tiba lenyap tanpa sisa. Hanya bibir pucat pasi dan mata kosong membelalak kea rah pintu.
"Bu? Ibu kenapa?" tanya Alynn berusaha membangunkan Daniah dari lamunannya.
Detik itu juga, Alyn mencari sebab dari keterkejutan ibunya, lalu mendongak kebelakang, ke tempat mata Daniah bersarang.
Pria tinggi besar berwibawa, dan sangat berkelas itu nampak membuatnya segan. Alyn merasa bulu kuduknya telah di bangunkan. Sontak Alyn bangkit dari tempat duduknya, dan menundukan kepala, meski ia belum tahu siapa orang yang sedang berdiri di samping pintu dengan seorang pengawal mengiringi dari belakang.
Bersambung ...