Download Chereads APP
Chereads App StoreGoogle Play
Chereads

Bumi di Sini

Indie_nesia
--
chs / week
--
NOT RATINGS
3.6k
Views
VIEW MORE

Chapter 1 - On One Ordinary Day

"Hffffhh, I need some fresh air." Aku berusaha menyabarkan diri melihat sepuluh murid SMP di depanku. Special coaching session kuberikan kepada mereka karena tugas yang kuberikan tidak satupun yang mereka kerjakan. Kutanya alasannya kenapa, karena sibuk 'mabar' kata mereka. Kuminta mereka mengerjakan tugas sekarang juga, ditambah 20 soal lagi sebagai hukuman. Mereka harus mengerjakan sekarang, walaupun sekarang jam istirahat. Protes? Tidak berlaku bagiku. Aku sudah mendapatkan izin dari kepala sekolah untuk menerapkan hukuman ini. No excuse, apalagi kalau alasan mereka tidak mengerjakan tugas karena sibuk bermain game online.

Semasa aku sekolah dulu, bermain bersama teman-teman di lapangan dan sekeliling sekolah adalah hal paling menyenangkan, walau cuma berkejaran atau main petak umpet. Di kelas kami rajin mengobrol tentang apa saja. Kami mengenal satu sama lain dengan baik. Bertemu dengan guru kami selalu menyapa. Kepala kami selalu tegak lurus menatap kedepan seperti menatap masa depan.

Murid-muridku yang sekarang lebih suka bermain di tempat teduh yang kencang sambungan Wi-Fi-nya. Mereka banyak duduk bersisian, tapi tidak terdengar ocehan berisik. Yang berisik hanya isi kepala mereka yang fokus pada game yang sedang mereka mainkan. Bahkan mungkin mereka lupa nama teman-teman sekelas, saking jarangnya mereka ngobrol. Jam olahraga adalah dimana mereka tampak paling lesu dan ingin cepat menyelesaikan pelajaran. Tubuh mereka lemas ketika diminta squad jump. Kepala mereka pusing ketika diminta berlari mengitari lapangan sebanyak 3 kali. Tidak ada inisiatif untuk bergerak lincah ke kanan, kiri, depan atau belakang ketika bermain voli dan tidak ada keinginan untuk merebut bola ketika bermain basket. Merekapun pasrah saja ketika lawan main futsal mereka meng-gol-kan bola. Bagi mereka nilai olahraga dan kesehatan tubuh tidak begitu penting, yang penting rank mereka di e-sport yang tertinggi. Bahkan ketika bertemu guru, kepala mereka selalu tertunduk melihat gadget mereka. Zaman memang sudah berubah.

Kupijat pelipisku, berusaha melancarkan peredaran darah ke otakku yang lelah. Mataku melihat awan biru dari balik jendela sambil mengawasi murid-muridku mengerjakan tugas. Tak tahukan di atas kepala mereka ada pemandangan yang begitu indah? Di tempat lain adakah yang nasibnya sepertiku? Menjadi guru di SMP yang murid-muridnya beranjak remaja dengan segala tingkah puber mereka. Ada tipe murid pemberontak, ada yang konsisten menjadi pelajar, ada juga yang konsisten menjadi musisi atau atlet sekolah. Apapun itu aku maklumi. Tapi tidak bertanggung jawab dengan apa yang sudah menjadi tugas mereka adalah hal yang tidak bisa kuterima dengan alasan apapun. Sesibuk apakah murid SMP sampai tidak mengerjakan tugas yang hanya 5 soal? Aku tidak pernah memberi banyak tugas rumah. Hanya sebagai pengingat pelajaran saja, karena mata pelajaran yang menjadi bidangku adalah Bahasa Inggris. Bahasa apapun jika tidak sering digunakan, maka hilanglah ingatan tentangnya.

Ingin rasanya aku ambil cuti dan pergi menyeberang pulau, entah untuk hiking atau sekedar bersantai di hammock yang digantung di pohon kelapa di tepi pantai sambil menikmati kelapa muda. Seminggu rasanya cukup untuk merefresh otakku. 

15 menit lagi bel masuk akan berbunyi. Kuperiksa hasil kerja murid-muridku, lalu meminta mereka membaca dengan keras semua kalimat yang mereka buat. Setelah semua pronunciation kupastikan benar, kuminta mereka untuk bersiap kembali ke kelas.

5 menit menuju jam masuk kugunakan untuk browsing salah satu situs yang memuat informasi seputar bidang pendidikan. Di halaman depan tampak sebuah informasi "Dibutuhkan Guru Honorer" untuk sebuah sekolah. Terdapat juga foto sekolah itu, yang hanya satu lantai tapi memiliki lapangan berumput seluas lapangan sepak bola. Menarik. Di mana ada sekolah yang masih ada lapangan rumput yang luas? Aku klik info selengkapnya mengenai sekolah itu, namun belum sempat kubaca tiba-tiba bel masuk berbunyi. Kutandai halaman itu untuk kubaca nanti setelah tugas mengajar selesai.

***

Kelasku selesai jam 12 siang hari ini. Segera kuambil handphone untuk membaca info yang tadi kutandai. SMP Wanaraya, Desa Basisir, Banten. Baru pertama kali kutahu ada nama Desa Basisir. Pasti letaknya di pesisir. Menarik. SMP Wanaraya membutuhkan guru tetap maupun honorer untuk mengajar 5 kelas. Jumlah guru tetap sebanyak 3 orang, guru honorer tidak ada. Jumlah murid sebanyak 150 orang. 

Sebuah bohlam lampu seperti muncul di kepalaku. Ting! Aha! Bagaimana kalau aku mencoba mengajukan diri untuk mengajar di SMP Wanaraya? Pertama, karena sekolah itu sangat membutuhkan guru. Kedua, karena letaknya yang jauh di desa memungkinkan proses belajar yang kondusif karena suasana yang lebih tenang dibanding di kota. Ketiga, mengajar di daerah akan menjadi pengalaman baru dan berharga. 

Kurenungkan ideku ini. Untuk meyakinkan diriku, aku memutuskan untuk survey ke Desa Basisir. Apakah aku akan tetap menjadi bagian sekolah ini, atau mengambil kesempatan di tempat baru.

Tidak ada yang tahu apa yang akan terjadi di masa depan, namun perasaanku berkata bahwa ini layak dicoba.

***

Kubuka Google Map untuk melihat lokasi Desa Basisir. Butuh waktu sekitar 4 jam berkendara. Wah, lumayan jauh juga ternyata. Tas sudah aku persiapkan semalam. Aku membawa peralatan camping karena siapa tahu aku menemukan pantai yang bagus dan boleh berkemah di sana. Kondisi mobil sudah aku cek, aman. Pagi ini sedikit mendung, tapi prakiraan cuaca mengatakan bahwa siang hari akan cerah. Aku memutuskan untuk berangkat pagi-pagi supaya bisa sarapan dulu di kedai bubur ayam langgananku.

Kupakai T-shirt putih polos kesayanganku dan celana kargo hitam berbahan parasut yang mudah kering dan menyerap keringat. Jaket dan baju ganti kumasukkan ke backpack. Kuputuskan untuk bersepatu sneakers saja, tapi untuk berjaga-jaga kumasukkan sepatu hikingku ke mobil. Kembali aku cek semua bawaanku. Semua sudah siap.

Ketika kunyalakan mesin mobil, tiba-tiba handphoneku berdering. Sahabatku, Julia, yang menelepon.

"Yes, Ma'am." Sapaku.

 "Lo ada di rumah ngga? Jalan yuk. Bosen. Kemana kita? Ke gunung apa ke pantai?" Julia memberondongku dengan pertanyaan. Sahabatku yang satu itu memang sering random. Tiba-tiba menelepon untuk mengajak pergi misalnya. Padahal tidak kami rencanakan sebelumnya.

"PD banget lo gue ada di rumah, hahaha. Yuk ikut. Gue mau ke pantai. Cepetan siap-siap. Gue jemput sebentar lagi." Jawabku.

"Eh, beneran?! Sekarang?! Mau kemaneeee? Tuh kan lo ga ngajak-ngajak gueeee." Sahut Julia di seberang sana.

 "Yeee, ini gue ajak, Bambaaaaang. Cepetaaaan keburu siang." Jawabku cepat-cepat.

 

"Ke pantai mana? Nginep ngga? Gue harus bawa apaan?" Terdengar suara "brak bruk brak bruk" tanda Julia terburu-buru menyiapkan sesuatu.

 

"Cerewet. Bawa apaan aja terserah. Nginep sehari rencananya. Nanti gue certain di jalan. Gw berangkat jemput lu sekarang ya. Lu mandi jangan lama-lama.. Oceeee?" 

Kututup telepon dan mulai berkendara. Julia adalah sahabatku sejak 5 tahun lalu. Kami bertemu di Thailand waktu kami sama-sama jadi backpacker. Dia bersama pacar dan 2 orang temannya bertemu aku yang solo traveler di sebuah kedai mie. Kami mengobrol dan akhirnya aku memutuskan untuk ikut rombongan kecil mereka karena ternyata kami akan ke tempat tujuan yang sama.

Aku memang lebih suka traveling sendiri atau bersama rombongan kecil. Sulit rasanya menyatukan banyak keinginan kalau traveling dengan jumlah orang yang terlalu banyak. Ikut tour and travel aku tak suka. Julia juga berpikiran demikian. Jadilah sejak saat itu kami sering backpacking bersama.

Lalu lintas sangat lancar pagi ini. Tak sampai 30 menit aku sudah sampai di depan rumah Julia. Tumben dia sudah menungguku di depan pagar. Terlihat Julia membawa 2 tas travel besar. Rambutnya yang sangat pendek tampak bercahaya. Tanktop hitam dengan luaran jaket denim dan celana jeans menjadi pilihan outfit Julia hari ini.

"Mau kemaneee, Mbaaaak? Hyakakakakak hadooooh tas lo kayak mau buat jalan ke luar negeri seminggu." Aku terbahak-bahak sambil turun dari mobil. 

"Kan lo suka ga jelas kalo ngajak jalan. Tempatnya kemana, berapa hari, nginepnya di mana, jadi gue siap-siap aja. Jangan sampe kayak dulu. Bilang cuti cuma sehari, ga taunya sampe seminggu, sampe gue ga ganti daleman." Julia menggerutu sambil mengungkit kejadian ketika kami backpacking ke Yogya.

"Hahaha, yaaaah itu kan duluuuu. Sekarang udah jelas kok. Kita survey tempat di Banten. Desa Basisir. Pernah dengar ngga?" Kataku sambil mulai menyalakan mesin mobil.

"Hmmm, Kabupaten mana tuh? Gue cuma tau Anyer, Carita, Pandeglang, Baduy. Basisir baru dengar tuh. Survey apaan di sana? Tumben survey-survey segala?" Julia bertanya bingung.

"Survey calon tempat kerjaan gue yang baru." Jawabku sambil mengarahkan mobil ke tukang bubur ayam.

"Hah?! Lo mau pindah kerja?! Kok tiba-tiba? Kenapa? Ada masalah di sekolah?" Julia memberondongku dengan pertanyaan.

"Nggak. Bosen aja." Jawabku singkat.

"Eh ini anak ya. Asal-asalan banget deh. Serius lo Cuma karena bosen mau pindah?" Julia masih tidak percaya.

"Ho'oh." Jawabku semakin singkat. 

Julia memandangku sambil geleng-geleng kepala. Dari kejauhan tampak sudah banyak orang yang antri di tukang bubur langgananku. 

"Jangan cerewet. Yuk sarapan dulu." Ajakku kepada Julia yang masih geleng-geleng kepala.