Chereads / Bumi di Sini / Chapter 3 - Sweater Hitam

Chapter 3 - Sweater Hitam

Pramuka yang tadi siang berkegiatan ternyata pulang menjelang magrib. Kukira mereka akan camping seperti kami. Jadi hanya Julia dan aku yang ada di pantai malam itu.

Ombak sangat tenang walaupun pasang. Langit cerah bertabur bintang. Aku tadi lupa membeli bahan makanan. Di mobil cuma ada mie instan dan kompor portable. Kulihat lampu di warung si Ibu tadi masih menyala. Mungkin kami bisa memesan nasi goreng. 

"Juls, mau nasgor nggak?" Aku mencolek Julia yang sedang rebahan.

"Haduuuuh makan mulu sih lo. Nggak ah. Masih kenyang. Lagi enak rebahan nih. Anginnya asyik banget bikin ngantuk. Lo aja deh." Kata Julia dengan mata tertutup menikmati angin pantai. 

"Bener nih? Yaudah gue ke si Ibu dulu beli nasgor ya. Takut keburu tutup." Kataku sambil mengambil lunch box.

Aku memang selalu membawa peralatan makan dan tempat minum sendiri kalau pergi kemana-mana, just in case mau bungkus makanan, tidak usah pakai kemasan styrofoam atau kertas nasi, apalagi plastik.

Seorang laki-laki sedang duduk di bale-bale di depan warung si Ibu sambil merokok. Si ibu ada di sebelahnya sambil melihat-lihat gawainya. 

"Punten, Ibu, mau pesan nasi goreng, Bu. Ada?" Tanyaku sambil mengangguk kepada si Bapak.

"Adaaa, Neng. Siaaap. Mau pesan satu? Dua?" Si Ibu berdiri dari bale-bale, bersiap membuat pesananku.

"Mmm, satu makan di sini, satu lagi dibungkus buat teman saya. Tolong yang buat teman saya taro di sini aja ya, Bu." Aku menyodorkan lunch box ku kepada si Ibu.

"Ari si eneng, pake bawa kotak makan segala. Kayak anak SD, hihihi." Si ibu menggodaku. Aku hanya tersenyum. 

"Dari mana mau kemana, Neng?" Si Bapak yang sejak tadi memerhatikanku bertanya.

"Dari Jakarta, Pak. Mau jalan-jalan aja ke sini." Jawabku. 

"Bapak tinggal di sini?" Tanyaku.

"Iya, Neng. Ini istri saya. Kami yang jaga pantai ini. Tidurnya juga di sini, ada kamar di belakang tuh." Si Bapak menjelaskan.

"Ooowalaaah, ternyata Bapak sama Ibu yang jaga. Bagus pantainya, pak. Makanya saya mau camping di sini. Tapi ternyata nggak banyak yang kesini ya, Pak. Padahal ini hari libur." Kataku heran.

"Biasa pengunjung mah nginepnya di hotel sama di losmen, Neng. Jarang ada yang kesini karena nggak ada penginapannya. Cuma pantai aja. Kalo pagi mah ho'oh ada aja yang kesini, soalnya matahari terbitnya dari depan situ tuh, tempat si Eneng buka tenda. Kalo mau lihat sunset, ada lepas pantai di sebelah barat sana. Wah kalua tadi saya tahu ada yang mau buka tenda di sini, saya pulang agak siangan, Neng. Biar saya ajak si Eneng ke pantai yang ada sunsetnya." Si Bapak menjelaskan.

"Waaah seru banget, Pak. Kalo gitu, kapan-kapan InsyaAllah saya minta tolong bapak buat ke pantai yang bisa lihat sunset ya. Ngomong-ngomong, Bapak tahu SMP Wanaraya nggak? Di mana ya itu, Pak. Saya cari di peta, kayaknya udah dekat-dekat sini." Tanyaku kepada si Bapak.

"SMP Wanaraya? Iiiitu di atas bukit siiitu. Yang Neng mau masuk gerbang pantai ini, di sebelah kiri kan ada jalanan nanjak, teruuuus ke atas bukit. Naaaah di atas bukit itu sakolahna. Memang nggak kelihatan dari jalan karena ketutupan pohon-pohon jati. Plang-nya juga udah rusak kayaknya ya, jadi ngga ada petunjuk. Tahu dari mana sakolah Wanaraya, Neng? Emang si Eneng mau kesana?" Si Bapak bertanya menyelidik.

"Hehehe, iya, Pak. Sebenarnya saya lagi mau lihat-lihat aja sekolahnya, Pak. Soalnya kemarin saya lihat di internet, ada sekolah di sini yang lagi cari guru. Jadi saya iseng main-main kesini sambil mau lihat sekolahnya." Jelasku.

"Eta mah satu-satunya sakolah SMP di sini, Neng. SMP lain mah jauuuuuh, sekitar 20km dari desa ini." Si Ibu tiba-tiba datang membawa nasi goreng pesananku. Aroma nasi gorengnya sepertinya enak. 

"Hmmm gitu ya, Bu? Kalo begitu muridnya banyak dong, Bu?" Tanyaku.

"Aih murid mah sedikit. Jarang ada yang sakolah di sini mah, Neng. Karena jauh-jauh juga rumah penduduk dari sini. Jadi ke sakolah malas gitu. Angkot teu aya. Kuduna mah pake kendaraan pribadi. Atuh kan nggak semua punya. Lagian juga gurunya pada nggak ada, Neng. Jadi walaupun murid sedikit geh jarang ada yang ngajar. Jadi mungkin anak-anak sakolahna mikir, ngapain sakolah jauh-jauh, capek-capek, sampe sakolah cuma bengang bengong nggak belajar." Si Ibu menjelaskan dengan ekspresi miris.

"Duh, sayang banget ya, bu. Mungkin kalau ada gurunya jadi semangat anak-anak ya. Memang pada kemana guru-gurunya, Bu? Bener-bener nggak ada yang profesinya guru di desa ini, Bu? 

"Dulu mah banyak, Neng. Cuma yah, ada masalah gitu denger-denger mah." Si Ibu tiba-tiba memelankan suaranya setengah berbisik.

"Hush! Mamah ah ulah ngagosip wae. Jangan dengerin, Neng. Neng sendiri mau lihat-lihat sakolahna besok? Bisa saya antarkan besok, Neng. Tapi ngga muat mobil. Jalan kaki aja." Si Bapak melirik galak kea rah istrinya sambil mengalihkan pembicaraan. Si Ibu cemberut. 

"Nggg boleh boleh, Pak. Besok InsyaAllah saya kesini lagi ya, Pak." Kataku ragu-ragu. 

Nasi gorengku sudah hilang uapnya. Segera kusantap. Tak lupa bas abasi dulu menawarkan makan kepada si Ibu dan si Bapak. Sambil menyantap nasi goreng, aku kepikiran perkataan si Ibu tadi. Ada masalah apa dengan guru-guru di SMP Wanaraya. Ingin kubertanya lebih lanjut, tapi si Bapak tampaknya tidak suka membicarakan hal itu. Lalu bagaimana caranya supaya aku cari tahu? Ah sudahlah, nanti saja kupikirkan.

"Kalau Bapak kerjanya di mana, Pak?" Aku bertanya untuk mencairkan suasana yang sedikit kaku karena perkataan si Ibu tadi. 

"Saya buruh tani, Neng. Sawahnya di arah barat sana, dekat pantai yang bisa lihat sunset. Kalau sawah sendiri mah udah dijual, Neng. Butuh duit waktu itu anak saya mau ke Arab." Si Bapak menjelaskan.

"Oh, Bapak sama Ibu punya anak? Kirain saya cuma berdua, hehehe. Anaknya ada berapa, Pak?" Tanyaku. Nasi Goreng di piringku cepat sekali habisnya. Padahal obrolan lagi seru. 

"Anak ada dua, Neng. Satu laki-laki, satu lagi perempuan. Yang ke Arab yang perempuan. Nah adiknya di sini." Kata si Bapak.

"Oh, yang tadi sore kesini itu ya, Pak? Yang pakai sweater hitam?" Kataku mengingat laki-laki yang tadi sore kulihat.

"Eh, yang mana, Neng? Anak saya yang laki-laki tinggal sama neneknya di desa lain. Mah, emang tadi si Aang ke sini? Kok Bapak nggak lihat?" Si Bapak kebingungan. 

"Nteu, Pak. Kalo kesini mah atuh pasti ngabarin. Nginep barang sehari. Lagian kalo Aang kesini mah pasti rame bawa temen-temennya. Kayak Bapak nggak tahu aja. Emang si Eneng tadi lihat ada laki-laki? Di mana, Neng?" Tanya si Ibu kebingungan.

Giliran aku yang bingung sekarang. "Eh, itu, mmmm, tadi sore…." Aku ragu-ragu untuk menjawab.

"Ada….saya lihat laki-laki pakai sweater hitam, celana jeans sama pake sendal jepit. Tingginya sekitar 165 cm, nggak tinggi-tinggi banget. Saya sih nggak lihat masuknya. Cuma sore tadi pas saya masang tenda, dia muncul dari balik pohon kelapa itu. Pas saya mau nanya-nanya, eh dia pergi ke arah luar. Kirain saya itu anak Bapak sama Ibu. Bukan ya?" Aku tersenyum canggung.

Si Ibu dan si Bapak berpandangan. "Ah paling anak sini lagi main." Kata si Bapak.

Aku hanya mengangguk sambil tersenyum. Tapi dari sudut mataku, aku melihat raut wajah si Ibu sedikit cemas, karena dia menggigit-gigit bibir bawahnya sambil matanya terus berkedip. Semakin penasaran aku dibuatnya. Besok pasti kucari tahu.

Aku pamit untuk kembali ke tenda setelah memuji nasi goreng buatan si Ibu.

Di tenda, Julia sudah mendengkur Aku segera merebahkan diri di sebelahnya. Aaah nyaman sekali tidur beralaskan sleeping bag empuk yang bawahnya pasir pantai. Pintu tenda kututup setengah. Kuoleskan lotion anti nyamuk, lalu segera kupejamkan mata.