Julia dan Aku bergantian menyetir selama 4 jam. Sepanjang perjalanan kujelaskan kenapa aku ingin survey ke Desa Basisir.
"Lo yakin mau pindah? Nggak sayang sama karir lo yang sekarang? Sekolah tempat ngajar lo sekarang itu yang terbaik se-Jakarta, tau ngga? Tempatnya enak, gajinya enak, trus lo mau lepas cuma karena bosan lihat anak-anak yang kelakuannya nggak sesuai dengan yang lo mua? C'mon, lo kan bisa konsul ke guru BP kek, kepala sekolah kek, atau adain pertemuan orang tua murid kek. Ngga mesti tau-tau langsung pindah kan." Julia menyuarakan pendapatnya yang selalu masuk akal dan solutif.
"Nggg gimana ya, Juls (panggilanku untuk Julia). Gue ngerasa kayak nggak dibutuhin aja di sini. Anak-anak itu kalo nggak ada gue juga pasti bisa belajar sendiri. Mereka semua udah punya gadget. Akses belajar apapun mereka punya. Mau les juga orang tua mereka mampu. Belum lagi mainannya online game yang banyak pake English. Jadi ya udah nggak ada spesialnya English tuh buat mereka. Nggak ada geregetnya. Jadi gue ya mau cari suasana baru dimana anak-anaknya masih semangat belajar sesuatu yang mereka anggap baru." Aku berargumen.
"Hmmm ya kan lo bisa jadi guru tamu. Sebulan gitu misalnya. Nggak pindah kesana for a long time or for good kan?" Julia the negotiator mulai beraksi.
"Let's see." Aku menyunggingkan senyum penuh misteri. "Eh udah sampe nih kita. Asiiiiiik kita mantaaaai." Kataku ketika gapura "Selamat Datang di Desa Basisir" tampak di depan mataku.
Di sepanjang jalan sebelah kanan terlihat pantai yang memanjang dari timur ke barat. Pantai berbatu dan berpasir silih berganti. Barisan pohon kelapa tampak rapi di sepanjang pantai. Beberapa cottage dan motel tampak di sebelah kanan dan kiri jalan. Di kejauhan tampak sebuah pulau kecil di tengah-tengah lautan.
Prakiraan cuaca ternyata benar. Siang ini cerah sehingga air laut berwarna biru memantulkan cahaya matahari. Kami melewati beberapa kebun jati di sebelah kiri jalan. Tidak banyak terlihat rumah penduduk di pinggir jalan. Sepertinya rumah-rumah penduduk agak masuk ke sebelah kiri jalan karena kulihat banyak jalan setapak di jalan sebelah kiri. Warung-warung lesehan dan warung kelontong banyak terlihat di sebelah kiri jalan. Banyak warung bensin eceran juga tampak di sana. Kuingat-ingat, pom bensin terdekat dari sini berjarak 16km, wajar bila pom bensin mini menjadi bagian dari kehidupan warga desa ini. Untungnya tadi aku mengisi full tank di pom bensin itu.
"Woaaaaah, gokil nih pantai. Panjang bangeeeeet. Bisa buat surfing ngga ya? Kapan-kapan gue ajak pacar gue kesini ah." Julia membelalakkan matanya melihat pantai.
"Hilllih, kayak lo bisa surfing aja. Berenang aja kayak ikan lele mau makan. Megap-megap." Aku meledek Julia.
"Ya bukan gueeee, Barbaraaaa. Pacar gue yang surfing. Gue duduk manis aja di ayunan sambil ngemil gorengan, hahahah." Julia mulai berkhayal.
"Eh kita mau makan dimana nih? Makan seafood yuk." Kataku sambil tengak tengok mencari restoran seafood.
"Siaaap. Ada lobster nggak ya? Duh enak banget lobster panggang." Julia mulai lapar.
"Jangan nyari yang ngadi-ngadi. Ini Desa, hey, bukan Jakarta." Kataku mengingatkan.
"Siapa tau ada. Duh lobster, cah kangkung, cumi goreng tepung, kelapa muda, enak kayaknya.
"Yaaah ngeces deh. Habis makan kena kolesterol, wakakaka." Aku tertawa. Dalam hatiku juga ingin makan makanan yang disebutkan Julia tadi.
Sebuah restoran yang tampak paling bagus dengan gaya modern berpagar kayu setinggi 1 meter tampak di sebelah kanan jalan menghadap ke laut. Bangunannya terbuat dari batu bata merah yang tidak di-aci dan kombinasi kayu di bagian atasnya. Restoran ini tidak berdinding, jadi sepersi semi-outdoor sehingga pengunjung bisa melihat ke segala arah. Selain restoran inti, Ada coffee shop juga di sebelah kanannya dengan gaya yang modern juga. Bangunannya 2 lantai terbuat dari besi yang di-cat hitam, juga tanpa dinding. Ketika melihatnya, seperti aku berada di tempat nongkrong anak-anak gaul Jakarta. Wah, ternyata ada juga tempat macam ini di desa, pikirku. Aku melambatkan laju mobil.
"Keren banget ini. Yuk coba makan di sini aja yuk." Julia yang melihatnyapun langsung jatuh cinta.
"Kemooon. Semoga rasa makanannya sejuara tempatnya."Ucapku sambil memarkir mobilku. Parkirannya yang luas memudahkanku untuk parkir. Tampak beberapa mobil ber-plat B terparkir di sana. Pengunjungnya sangat ramai. Mungkin karena weekend dan pas jam makan siang.
Julia dan Aku memilih duduk di coffee shop yang tidak terlalu ramai pengunjung, lalu bertanya kepada pelayan yang membawakan menu. "Mas, boleh ngga pesan makan tapi duduknya di sini? Habis makan, kami mau pesan kopi kok." Tanyaku kepada pelayan yang rapi menggunakan seragam.
"Oh, boleh boleh, Mba. Ini masih jadi satu kok sama restorannya. Sebentar saya bawakan menu restonya ya." Jawab si mas pelayan dengan ramah.
Aku memandang pantai yang luas dan pulau di seberangnya. Pulau yang tampak seperti pulau tak berpenghuni itu menarik perhatianku. Ingin rasanya camping di sana sambil bakar ikan. Sebentar kemudian pelayan yang tadi mengambilkan menu untuk kami datang. Ternyata ada menu lobster. Julia langsung memesan lobster dan cah kangkung. Aku memesan cumi bakar dan capcay.
Walaupun ramai pengunjung, ternyata pelayanan di restoran ini cukup cepat. Tak sampai membuat kami menunggu sampai emosi, pesanan kami tersaji dengan sangat cantik di piring. Aku yakin chef-nya pasti bukan kaleng-kaleng walaupun bekerja di restoran di desa. Kami menyantap makan siang kami dengan lahap. Setelah itu kami memesan kopi dan snack untuk dibawa. Kami masih harus melanjutkan perjalanan untuk mencari pantai yang tepat untuk camping. Kalaupun tidak ada, maka kami akan menginap di motel.
Kali ini yang menyetir adalah Julia. Julia menyetir dengan santai supaya kami bisa menikmatipemandangan. Kaca jendela kami buka. Terasa angin pantai sepoi-sepoi bertiup. Semakin dalam menjelajah sepanjang desa, semakin banyak pemandangan seru yang bisa kami lihat. Ada tempat pengasinan ikan yang cukup besar dengan banyak ibu-ibu yang bekerja memilih ikan-ikan kecil sambil mengobrol.
Kapal nelayan berjejer dengan rapi di sepanjang pantai. Terlihat sebuah kapal bagan berukuran sedang yang berada agak ke tengah pantai. Sebuah truk bermuatan penuh kelapa muda melaju dari arah berlawanan. Di belakangnya ada truk bermuatan penuh kelapa sawit. Keduanya melaju santai seperti sedang menikmati hari yang cerah ini.
Tak berapa lama berkendara, Aku melihat rombongan anak SD yang sepertinya dalam perjalanan pulang dari sekolah. Mereka berjalan berdua-dua, rapi dan tertib. Kebanyakan memakai sandal jepit sebagai alas kaki. Hanya satu atau dua orang yang memakai sepatu. Iseng kusapa mereka dari dalam mobil.
"Haaaaai, adik-adiiiiik." Sapaku sambil melambaikan tangan.
Mereka yang sedang asyik berjalan tiba-tiba terkejut dan memasang ekspresi like "What? Who are you?"
Sejurus kemudian mereka membalas sapaku,"Haaaaaai." Sambil melambaikan tangan juga. Senyum kebingungan tergambar di wajah mereka. Aku tersenyum dan terus ber-hai-hai sambil melambaikan tangan sampai di ujung rombongan.
"Kebiasaan lo ya. Sok akrab, hahahaha." Kata Julia sambil tertawa.
"Sosialisasi, Sis."Sahutku sambil tertawa juga.
"Eh kita mau kemana dulu ini?" Julia bertanya.
"Lanjut terus aja dulu. Sampe kita nemu pantai yang pas buat camping." Jawabku.
10 menit kemudian, Aku menemukan plang bertuliskan "Pantai Pramuka" di sebelah kanan jalan.
"Wait, wait, wait. Kita coba ke situ apa ya?" Tanyaku kepada Julia sambil menunjuk ke arah plang.
"Siap, bos." Julia berbelok ke kanan.
Ternyata jalan menurun. Di arah bawah jalan, tampak sebuah pantai berpasir putih dengan barisan pohon kelapa. Terdapat beberapa ayunan yang terbuat dari tali tambang dan kayu. Kami memarkir mobil di depan sebuah warung yang menjual minuman ringan dan mie instan. 5 buah tenda pramuka berdiri di belakang pohon-pohon kelapa. Beberapa anak pramuka sedang melakuka aktifitasnya.
"Silakan, Neng. Mau pesan apa? Ada kopi, nteh, indomie, pop mie, gorengan juga aya." Sapa ibu penjaga warung ramah.
"Pisang goreng ada, bu?"Tanya Julia.
"Aya, aya. Silakan duduk dulu, Neng."Sang ibu mempersilakan kami duduk, lalu masuk ke dapur.
Julia duduk di bale-bale di depan warung, sementara aku berjalan ke arah pantai. Sepertinya pantai ini ombaknya tenang. Sunrise mungkin bisa terlihat di sini, tapi sunset kurasa tak akan terlihat karena banyak bukit-bukit di sebelah Barat. Pantai ini sesuai dengan namanya, karena konturnya yang datar dan ditumbuhi rumput di beberapa tempat cocok sekali untuk kegiatan Pramuka. Pantainyapun bukan pantai berombak tinggi karena posisinya agak menjorok ke dalam. Pasirnya bersih sehingga aku dapat melihat banyak kepiting kecil bermunculan dari lubang-lubang kecil di pasir. Kubuka sepatuku, lalu berjalan di atas pasir yang lembut. Aaaah, menyenangkan sekali. Rasanya sudah lama aku tidak merasa rileks seperti ini.
Perlahan kudekati anak-anak pramuka lalu kusapa laki-laki yang tebakanku adalah kakak pembina yang memakai kaos berwarna cokelat dengan strip kuning di lengannya.
"Permisi, kak. Boleh saya izin ambil foto?" Sapaku sambil tersenyum.
"Oh iya boleh, silakan, kak." Jawab kakak Pembina Pramuka tak kalah ramah.
Anak-anak Pramuka sedang belajar membuat tandu. Kufoto dari beberapa sudut untuk aku posting di social mediaku nantinya.
Ketika sedang asyik memotret, Julia berteriak dari arah warung.
"Han, pisang goreng nih. Cepetan keburu adem." Julia melambaikan pisang goreng yang baru matang.
Aku mengucapkan terimakasih kepada kakak Pembina dan anak-anak pramuka itu, lalu berjalan ke warung. Pisang gorengnya ternyata terbuat dari pisang kepok yang manis. Pas untuk dipadukan dengan kopi pahit yang tadi kupesan di coffee shop.
"Bu, selain anak pramuka, boleh ngga camping di sini?"Tanyaku kepada ibu penjaga warung.
"Atuh boleh, Neng. Asal bayar mah, hihihi. Emang Nengnya dari mana?" Jawab si ibu warung sambil senyam senyum.
"Hehehe ada tarifnya ternyata. Berapa ya, bu? Kami dari Jakarta, Bu. Ada fasilitas apa aja di sini, bu? Toilet ada?" Tanyaku penasaran. Jangan sampai bayarnya semahal hotel, tapi toilet nggak ada.
"Murah, Neng. Per malam kalo mau camping 50ribu aja per-orang. Cuma buat uang kebersihan. Parkir beda lagi. Toilet di belakang warung ini. Lewat kiri, lurus aja. Tuh silakan dilihat dulu, Neng." Jawab si Ibu sambil menunjuk ke arah kiri warung." Jawab si Ibu.
"Dapat sarapan nggak, Bu?" Tanya Julia si Ratu Negosiasi.
"Boleeeeh dibikinin nanti kalo Neng mau sarapan. Tapi beda bayarnya, Neng, hehehe." Jawab si ibu masih sambil senyam senyum.
"Yaaaah, kirain termasuk sarapan, Bu. Udaaaah sekalian aja sama sarapan, Bu. Nih, Bu, saya nanti review yang bagus deh tempat ini. Biar makin banyak pengunjung." Julia melancarkan jurus saktinya.
"Ripiu? Naon eta, Neng?" Si Ibu kebingungan.
"Hehehe, review eta, diiklanin di internet, ceunah. Supaya orang-orang the tau ada tempat bagus ini. Nanti kalo banyak pengunjung, warung ibu juga pasti ikut rame." Julia merayu si Ibu sambil menaikkan alisnya dan mengangguk-angguk. Tak lupa senyum jahilnya.
"Eh, iya bisa kitu, Neng? Yaudah bolehlah kalau begitu. Biar tambah rame yah. Nanti Temen-temen Neng pada kesini yah." Kata si Ibu sumringah.
"Siaaaap. Deal ya, Bu." Julia mengulurkan tangan mengajak si Ibu berjabat tangan. Si Ibu menjabat tangan Julia, tanda setuju.
"Ga salah gue ajak lo, Ratu Nego." Kataku ketika kami mengeluarkan tenda dari mobil.
"Untung gue telpon lo ya. Kalo nggak, lo ga bakalan dapat sarapan besok, hahaha." Julia bangga kepada dirinya sendiri.
Hari cepat sekali berganti sore. Kami bersiap mendirikan tenda ketika sudut mataku melihat ada sesosok orang di balik salah satu pohon kelapa yang sepertinya sedang memerhatikan kami. Kucoba dekati, ternyata dia malah berbalik badan dan pergi ke arah pintu keluar. Dari belakang hanya tampak orang itu memakai sweater hitam ber-hoodie, bercelana jeans dan bersendal jepit, tampak berjalan cepat ke luar area Pantai Pramuka tanpa menengok ke belakang.
"Orang yang aneh." Bisikku dalam hati.