"Jangan kaget begitu Nak."
Itu ayahku.
Namanya Kim Jaehoo. Ayahku ini lebih muda 10 tahun dibandingkan dengan ibu.
"Mau bicarakan soal Danny?"
Aku mengangguk. Tiba-tiba saja, ayahku tertawa. Memangnya ada yang lucu?
"Tidak ada yang lucu, kenapa ayah tertawa seperti itu?" Tanyaku kesal.
Beliau masih berusaha menghentikan tawanya, sampai ia benar-benar tenang—ayahku baru berbicara.
"Maaf-maaf. Ayah merasa lucu karena anak ayah ini, datang dengan wajah yang Ayah sudah hafal. Kau kesal?" tanyanya. Aku tanpa ragu menganggukkan kepala.
Beliau duduk disofa sambil memberikan aba-aba agar duduk dikursi yang ada di seberangnya. Aku pun menuruti perintahnya dan duduk diseberang Ayah.
"Soal Danny itu,..." ia menggantungkan ucapannya.
Situasi buruk sepertinya akan menghampiriku lagi. Huft, menyebalkan.
"Ayah tidak bisa bantu, laki-laki ini pilihan ibumu. Tidak ada yang bisa membantahnya."
Aku menghela napas kasar, "ayah ini kepala keluarga, kenapa tidak bisa? Aku ini sudah besar astaga!" kesalku. Beliau tertawa lagi, "iya memang. Tapi, dari dulu ibumulah yang mempunyai aura sangat kuat dibandingkan dengan Ayah. Jadi, Ayah tidak bisa menentang apa yang ia rencanakan."
Aku menghela napas lagi.
"Gila. Ini sudah tahun 2022 dan kalian?" aku menyenderkan tubuhku ke sofa. "Kalian kolot atau bagaimana? Aku ini sudah dewasa, biarkan aku memilih sendiri. Oke?"
Ayah terkekeh lagi, tapi sedetik kemudian raut wajahnya berubah jadi dingin.
Ah, aku tidak suka hal ini.
"Apa yang dimaksud dengan dewasa itu adalah, mengancam orang lain agar menjadi kekasihmu? Itu sangat kekanakan Jinny-ah!"
Aku menghela napas lagi. Kutatap ayah dengan serius, "ibu saja mengajarkan hal itu padaku. Ayah sama saja mengatakan ibu itu kekanakan 'kan?"
Ayah tersenyum simpul lagi, " iya. Benar, ayah mengatakan bahwa ibumu itu kekanakan. Tapi harusnya kau tau, itu hanya sebuah sindiran untukmu. Masa kau tidak tau maksud ibumu mengatakan hal tersebut?"
"Masa bodo, aku tetap tidak mau dijodohkan dengan orang yang bernama Danny atau apalah itu."
Ayah memijat pelipisnya, ia menatapku lagi dengan tatapan yang masih sama seperti sebelumnya.
"Jika, suatu saat ibu atau ayah menarik semua akses yang kau punya sekarang; jangan datang ke kami sambil memohon."
"Ayah...." rengekku.
"Jika tidak mau hal itu terjadi, kau turuti saja perintah ibumu. Oke?"
Aku langsung saja bangun dari posisiku dan berjalan kearah pintu keluar. Baru aku ingin menarik gagang pintu, Ayah meneriaki namaku.
"JINNY!"
Aku menghentikan langkahku tanpa menatapnya.
"Jemput Leo, ayah minta tolong!"
Aku menoleh menatapnya, beliau tertawa.
"Ibunya tidak bisa, ada rapat dengan brand baru. Jadi, ayah minta tolong ya?"
Aku langsung mengalihkan pandanganku kearah depan lagi.
"TIDAK MAU!" Teriaku sambil berlalu dari hadapannya.
....
Aku masih punya waktu sekitar satu jam lagi sebelum acara makan siang yang ibu siapkan datang. Huft, aku butuh sesuatu hal yang meringankan kepalaku. Menembak, mungkin bisa membuatku melampiaskan semuanya. Aku langsung saja ke basment kantor ayah dan bergegas ke tempat biasa aku latihan menembak.
Sekitar 35 menit, aku sampai di tempat biasa aku bermain. Huft, masa bodo. Aku akan melewatkan jadwal makan siang itu. Aku tidak peduli. Aku memarkirkan mobil dan langsung masuk ke gedung latihan. Setelah mengganti pakaian dan juga menitipkan tas di resepsionis. Aku langsung menyapa pelatihku yang sebelumnya juga sedang melatih seseorang yang menurutku asing.
"Aku datang park-seosengnim~" sapaku pada guru park. Beliau tertawa mendengarnya dan menatapku. Aku langsung memberikan salam padanya.
Note:
Seosengnim = guru
"Wah, Jinny-ah. Sudah lama kau tidak datang, sibuk sekali pasti kau ini 'kan?" tanyanya.
Aku tertawa sambil mengibaskan kedua tanganku, bertanda aku tidak sibuk sama sekali.
"Hahaha, tidak ssaem. Aku hanya sedang berada di fase malas untuk hal ini. Oh iya, siapa orang itu?" tanyaku pada park-ssaem. Aku menunjuk laki-laki yang tadi sedang di ajari olehnya.
Note:
Ssaem = guru
"Ah, itu murid baru. Mau kenalan dengannya?"
"Tidak tidak, aku hanya mau menghilangkan stresku. Tapi, aku lupa cara memakai pistol, mohon bantuannya ya ssaem."
Beliau mengangguk sambil tersenyum kearahku.
"Oke, ayo ke tempatmu biasa latihan," ajaknya. Kami berjalan beriringan ketempatku. Biasanya, aku latihan tepat di papan nomor empat.
"Baiklah, pegang pistolnya seperti ini. Eh, kau tidak pakai penutup telinga?"
Aku reflek memegang telingaku. Benar saja, aku tidak memakainya.
"Sebentar, aku ambil dulu ya ssaem!" ucapku dan segera bersiap lari. Baru aku berbalik badan, seseorang telah menyerahkan penutup telinga padaku. Aku menatapnya bingung.
"Pakailah, aku sudah selesai," ucapanya dengan nada suara ramah sambil tetap menyodorkan penutup telinga.
Aku mendongak menatap orang ini karena memang sangat tinggi.
"Ah, terimakasih," jawabku dan mengambil barang tersebut kemudian memakainya.
Tanpa memperdulikannya lagi, aku balik ketempatku dan mulai belajar menembak lagi dengan Park-seosangnim.
Sekitar tiga kali mengikuti instruksi yang diajarkan, aku mulai mahir kembali. Karena memang, aku ini orang yang mempunyai ingatan tajam. Aku bisa mengingat apapun dengan cepat, karena hal itulah; aku sering ikut olimpiade. Bisa dibilang, aku ini anak yang cerdas ketika sekolah. Bidikan yang kutuju tidak pernah melesat.
Mati kau Kim Dohyun!
[DOR!]
Ini untukmu.
[DOR!]
Ini untuk wajah polosmu yang menyebalkan!
[DOR!]
Ini untuk ucapan menyakitkanmu tadi pagi!
[DOR!]
Ini untuk rasa sukaku padamu!
[DOR!]
In—
Tembakanku tidak keluar karena sepertinya sudah kosong. Aku lihat isi pelurunya.
Sial.
Ini habis.
Aku menoleh menatap sekeliling dan orang yang tadi memberikan penutup telinga masih duduk memperhatikanku dari belakang. Aku melepaskan penutup telinga yang kupakai sebelumnya.
"Habis ya?" tanyanya dan bangun dari posisinya, berjalan kearahku.
Aku mengangguk.
"Ini," ia menyerahkan isi senapan kepadaku.
Aku menolaknya, "tidak. Terimakasih, aku sudah tidak ingin main lagi."
"Ah, oke. Kau luang sekarang?"
Aku melirik jam di pergelangan tanganku. Sudah sekitar setengah jam aku disini dan jamuan makan siang itu juga sudah terlewatkan.
"Luang, mau makan bersama? Kau sendiri kan?" tawarku pada pria tinggi ini. Ia tersenyum simpul, "iya. Ayo kita makan."
Kami pun jalan beriringan menuju restoran dibawah.
"Kau mau makan apa? Naengmyeon sepertinya enak," tawarku lagi padanya.
*Note :
Naengmyeon adalah mie gandum yang disajikan dengan kuah kaldu sapi dingin.
Ia menjentikkan jarinya.
"Aku setuju!"
Sesampainya direstoran, kami langsung memesan makanan tersebut yang versi tidak pedas ditambah dengan segelas ocha dingin. Waktu terus berjalan, dan kami saling berbagi cerita mengenai hobi kami masing-masing. Hingga makanan datang, kami mulai membahas latar belakang kami masing-masing.
"Umurmu berapa?" tanyaku dan mulai memakan mie. Ia meminum ocha dan menjawab pertanyaanku.
"35, kau berapa?" tanyanya balik dan memakan mienya.
Aku mengunyah perlahan, setelah tertelan dengan baik; aku menjawab pertanyaannya.
"Aku 32, apa aku harus memanggilmu Oppa hahaha," guyonku.
Ia tertawa juga.
"Itu ide yang bagus hahaha. Aku menyukainya."
"Oh iya, siapa namamu?" tanyaku dan memakan mieku lagi.
"Danny."
Aku menghentikan aktivitasku dan menatapnya.
"Seo Danny," ulangnya lagi.
Uhukk.
Aku langsung tersedak mendengar jawabannya. Ia langsung memukul pundakku pelan dan menyerahkan minuman.
Aku meminumnya langsung.
"Siapa? Seo Danny?!" tanyaku memastikan lagi.
Ia mengangguk, "iya. Seo Danny, senang bertemu denganmu disini Jinny-ssi."
Ia tersenyum penuh dengan kemenangan.
Sial.
Aku malah makan siang juga disini dengannya.
....
Setelah aku tau orang itu adalah orang yang ingin dijodohkan ibu denganku, langsung saja; aku pergi dari tempat itu.
Hari ini aku kena sial dua kali.
Dewi Fortuna, berpihaklah padaku kali ini.
Drrtt...
Ponselku bergetar, mataku membulat.
Dohyun mengirimiku pesan!
Gila!
Dewi Fortuna benar-benar dipihakku.
[Kau membuat masalah baru dengan kakak iparku, aku mohon hentikan.] —Dohyun
Ah.
Sepertinya, Woosik sudah mulai sadar dengan keuangannya yang terganggu.
[Aku sudah setengah jalan Dohyunnie~] —balasku.
Tidak ada balasan, yang ada sekarang adalah telepon masuk dari ibu. Aku menghela napas kasar, baru setelah itu kuangkat panggilan tersebut.
"Apa?"
["Kenapa kau itu begini Jinny? Kau tidak mendengarkan perintah ibu semalam?"]
"Aku mendengarkan Bu."
["Jangan berbohong! Ibu tau Jinny-ah!"]
"Aish, tanya saja sana sama orangnya. Aku makan dengannya siang ini!"
["Masih saja kau ini berbohong! Ibu ta—"]
Ucapan ibu terputus karena memang aku yang memutuskannya duluan. Bersamaan dengan aku yang memutuskan panggilan dengan ibu, Dohyun membalas pesanku lagi.
[Kau membuatku tidak ada tempat untuk pulang. Brengsek!] —Dohyun.
[Tempatku kosong, mau tinggal bersama sayang?] —balasku.
Aku tertawa puas, ia pasti emosi sekali padaku. Tapi, akhir dari ini semua adalah..., Dohyun tetap jatuh ketanganku. Tidak akan aku biarkan ia jatuh di tangan orang lain.
Drrtt.
Aish. Menyebalkan ayah ini.
[Jangan lupa Leo, Jinny anak ayah yang paling cantik.] —ayah Kim.
Aku abaikan pesan yang muncul di pop it pesan dan masuk kedalam mobil. Tujuanku sekarang adalah pulang kerumah.
....
Satu jam berlalu diperjalanan, akhirnya aku sampai di apartemen. Setelah turun dari lift, hatiku kesal melihat siapa yang sedang berdiri di depan apartemenku.
"Jinny!" panggilnya setelah melihat aku keluar dari lift. Aku berjalan kearahnya.
"Apa?" tanyaku.
"Aku ingin meminta waktu lebih untuk melunasi hutangku padamu."
Aku menghela napas.
"Berapa lama kau membutuhkan waktu untuk melunasi hutang?"
"Satu tahun!"
Aku terkekeh, kutepuk pundak Woosik—orang yang menunggu didepan pintu apartemenku.
"Coba saja, aku yakin sampai kapanpun tidak akan bisa. Karena apa? Kau berserta keluargamu akan terus terlilit hutang, karena kalian miskin jika tidak bekerja di tempatku."
"Aku akan pastikan Dohyun datang padamu Jinny-ah!"
"Cobalah," jawabku dengan senyum dan langsung masuk kedalam apartemen. Tanpa melepaskan apapun, aku langsung merebahkan diriku di kasur.
....
"Leo, hari ini Leo dijemput ibu jam berapa?" pertanyaan seorang guru diplayground di daerah kawasan Gangnam. Anak yang bernama Leo menggeleng tidak tau.
"Leo ingat nomor telepon ibu?"
Anak ini menggelengkan kepala lagi. Ia masih sibuk dengan mainan penggorengan di tangannya.
Sang guru mulai panik, bukan karena apa; karena anak yang belum dijemput ini adalah anak dari salah satu chebol Korea.
*Note :
Chebol itu istilah kata untuk anak orang yang sangat kaya disana.
"Rowon-ah," panggil sang guru pada Rowon—anak laki-laki— yang juga sibuk bermain masakan bersama dengan Leo.
Rowon menengok, "iya."
"Dijemput siapa? Dohyun-samchon lagi?" tanya sang guru yang tadi bertanya pada Leo.
Rowon mengangguk.
"Sebentar lagi Dohyun-samchon akan datang, lebih baik Rowon bersiap-siap ya?"
Rowon mengangguk dan langsung meletakan pisau mainan yang ia gunakan. Leo langsung ikut bangun juga, ia segera membereskan mainannya kebox yang tersedia. Ia langsung berlari ke arah loker dan memakai jaket serta tas. Sang guru bingung melihat Leo yang sudah rapi seperti sama halnya dengan Rowon.
"Leo belum dijemput, ibu guru berbicara dengan Rowon. Bukan Leo," jelas sang ibu guru sambil berjalan kearah Leo.
"Emm, Leo dijemput siapa ibu gulu? Ibu jemput Leo 'kan?" tanyanya dengan suara yang sangat kecil.
"Ibu guru sudah telpon ayah dan ibu Leo. Tapi, belum ada yang menjawab panggilan ibu guru. Leo tunggu disini ya sama ibu guru?" jelas ibu guru sambil mengusap rambut bocah berumur empat tahun ini.
"Leo mau ikut Lowon, boleh?" tanyanya sambil menatap ibu guru. Rowon yang sedari tadi berdiri dibelakang ibu guru, langsung menghampiri. Ia memegang tangan temannya itu sambil tertawa riang.
"Ayo! Nanti aku minta sama Dohyun-samchon kita makan pijja. Leo suka kan?"
Leo mengangguk.
"Sama lowon juga, ayo kita tunggu Dohyun-samchon di depan!" ajak Rowon dan berlari duluan keluar dari ruang bermain menuju pintu utama. Leo pun langsung ikut berlari mengejar temannya itu. Ibu guru yang di ketahui bernama Jaehaa tersebut tersenyum sambil tetap berusaha menghubungi keluarga Leo, agar anak tersebut bisa dijemput sendiri oleh orangtuanya tanpa ada embel-embel pesuruh keluarga tersebut.
Dua anak tersebut duduk diteras sambil bernyanyi bersama. Tidak terasa 10 menit berlari, orang yang ditunggu Rowon datang.
"Annyeong Bu Jaehaa," sapa Dohyun. Rowon yang melihat pamannya datang langsung berteriak kegirangan.
*Note!
Annyeong = Halo
"Samchon! Ayo makan pijja! Pijja! Pijja!" teriaknya antusias sambil menarik-narik seragam Dohyun. Dohyun tertawa," hahaha. Iya-iya, tapi sepertinya makan burger lebih enak. Burger mau?" tawar Dohyun.
Rowon menggeleng.
"Tidak! Tidak! Leo sukanya pijja! Bukan bulgel!" jelas Rowon dengan nada yang masih antusias.
"Rowon tidak bosan makan itu terus?" tanya Dohyun memastikan.
Rowon mengangguk, "Tidak!"
Dohyun berjongkok didepan keponakannya ini, ia usap dahi anak laki-laki dengan tulus.
"Baiklah, kita makan pizza yang Rowon mau! Kajja!" teriak Dohyun dan tentu saja diikuti oleh keponakannya ini.
Note:
Kajja berarti ayo.
Leo yang sedari tadi memperhatikan dua orang ini ikut tertawa dan mulai ikut berteriak juga. Dohyun terdiam beberapa saat ketika Leo tertawa bersama dengan Rowon. Ia tatap ibu guru Jaehaa dengan raut wajah bingung.
Ibu guru Jaehaa mengerti tatapan tersebut dan langsung menjelaskan, "ini Leo."
"Lalu?"
"Emm, anak ini teman dekatnya Rowon. Ia belum dijemput orangtuanya, jadi ia mau ikut kalian pergi. Bisakah Leo ikut juga denganmu Dohyun? Soal biaya makan dan apa yang nanti dibeli Leo langsung saja lapor padaku. Aku akan ganti uangmu."
"Ini bukan masalah uang Bu guru, nanti; jika orangtuanya mencari dia bagaimana? Bu guru yang tanggungjawab 'kan? Aku sih tidak masalah jika dia gabung denganku dan Rowon," jelas Dohyun panjang lebar.
"Aku sudah mencoba menghubungi keluarganya, tapi belum ada balasan juga. Playground ini juga sudah waktunya tutup, aku juga takut jika nanti kepala sekolah menegurku kenapa masih ada disekolah dan kenapa tidak mengantarkan anak ini pulang. Aku masalanya tidak tau, rumahnya Leo itu dimana Dohyun-ah."
Dohyun mengangguk paham, ia berjongkok kearah Leo.
"Siapa namamu?"
Leo menjawab, "Leo Kim samchon."
"Oke baiklah. Kita makan bersama! Let's go!" Ajak Dohyun antusias dan langsung memberi salam singkat dan berlari meninggalkan dua bocah ini.
Dua bocah ini tertawa bahagia sambil berlari berusaha mengejar Dohyun.
To be continued.