Chereads / SUGAR FREE / Chapter 6 - Chapter 6

Chapter 6 - Chapter 6

Sial.

Tanpa bertanya lebih dulu, main asal tampar saja. Memangnya dia pikir dia siapa?! Keluargaku saja tidak pernah yang namanya menamparku sampai berbekas seperti ini, apa yang harus aku katakan kepada Jia-noona perihal tamparan ini.

"Samchon...."

Panggilan Rowon mengalihkan atensiku. Aku menoleh menatap Rowon yang menatapku dengan iba. Sambil terus berjalan ia menatapku.

Aku tertawa, "kenapa Rowon menatap Samchon seperti itu hmm?" tanyaku.

"Maafkan lowon," lirihnya dan tiba-tiba, ia menangis.

"Eh, Rowon kenapa? Jangan menangis dong. Kan sudah Samchon ajak Rowon makan pizza?" tanyaku bingung. Ia tambah menangis kencang sambil memeluk kakiku.

"Lowon minta maaf Samchon huaaaaa!" tangisnya kejer.

Aku berusaha melepaskan pelukannya dikakiku, tapi tenaganya lumayan kencang untuk ukuran anak umur empat tahun.

"Hei..., Hei...."

Ia tetap menangis. Beberapa pasang mata menatap kami yang hanya bisa aku tanggapi dengan senyum canggung. Aku takut mereka semua berpikiran, bahwa aku ingin menculik anak ini lagi.

"Rowon, liat Samchon," perintahku pada Rowon. Ia menatapku dengan mata bulatnya dan genangan air mata. Siapapun yang melihatnya, pasti akan merasa sedih. Karena memang; ekspresi Rowon ini benar-benar terlihat sangat menyedihkan.

"Samchon tanya, kenapa Rowon menangis?"

Ia ingin menangis lagi, tapi hal itu berhasil aku tahan dengan membekap mulutnya. Ia masih bergumam tidak jelas. Aku tidak bisa untuk tidak tersenyum melihat tingkah Rowon ini.

"Samchon lepaskan tangan Samchon, tapi dengan satu syarat. Rowon mau tau syaratnya apa?" tanyaku dan ia mengangguk paham.

Aku langsung melepaskan tanganku yang membekap mulutnya dan ia berusaha menghentikan tangisannya.

"Jangan menangis, jika menangis lagi, Samchon akan marah sama Rowon," ancamku dan hal ini berhasil. Ia langsung mngatupkan bibirnya rapat-rapat dan mengusap air matanya dengan gerakan yang menurutku itu menggemaskan. Aku mengacak rambutnya singkat.

Maafkan aku Jia-noona, aku mengancam anakmu lagi.

"Coba katakan, kenapa Rowon menangis?" bujukku pada Rowon.

"Lowon sedih kalena hiks—"

"Jangan nangis!" omelku dengan nada yang lumayan ditekan. Ia langsung mengatupkan bibirnya lagi tapi tidak bisa karena ia menangis lagi.

Aku tertawa dan langsung menggendongnya. Ia pun memelukku sambil terus bergumam. Aku tau ia mengatakan apa, ia sedih karena aku dipukul oleh kakaknya Leo. Keponakan yang imut, aku sangat berterimakasih padamu karena sudah mengkhawatirkan pamanmu ini.

"Sudah-sudah, jangan nangis laagi hush! Rowon sudah besar, jangan nangis. Kan mau jadi Batman, masa nangis terus?" tanyaku. Ia pun menghentikan tangisnya perlahan. Aku mulai berjalan lagi menuju rumah sambil tetap menggendong Rowon yang semakin lama tidak bersuara. Aku mengintip sekilas, dan anak ini ternyata sudah pulas.

Aku tersenyum, jangan cepat besar ya Rowon. Dunia itu jahat. Samchon takut, Rowon tidak bisa menahannya. Tanpa sadar, aku sudah sampai di apartment. Langsung saja aku memasuki lobby dan diluar dugaanku. Ada seseorang yang sudah menungguku. Aku lelah tuhan. Jika boleh meminta, aku ingin istirahat disisimu.

....

"Jinny-ah," panggil ibu.

Aku tidak menghiraukan panggilan ibu dan tetap memainkan game di ponsel bersama dengan Leo.

"Jinny, jangan begini. Kau membuat masalah jadi tambah rumit Nak."

Aku tetap tidak bergeming dengan ocehan-ocehan yang ibu ucapkan dari balik pintu kamarku. Leo tampaknya sudah mulai terganggu dengan keributan diluar.

"Nini-noona," panggil Leo sambil menepuk-nepuk bahuku. Aku hanya berdehem dan tetap terfokusnya dengan game bercocok tanam ini.

"Jinny! Ibu kandungnya ingin Leo pulang! Buka pintunya Jinny!" teriakan suara ayah yang benar-benar meninggi. Aku langsung mematikan ponselku. Leo sedikit kaget.

"Nini...."

Aku tersenyum menatapnya, kucubiti pipi Leo dengan gemas.

"Leo mau tetap sama Nini atau sama ibu Leo?" tanyaku.

Tanpa berpikir lama, ia menunjukku.

"Oke. Nanti jika ditanya ayah ataupun ibu, tunjuk Nini lagi ya?" perintahku dan ia mengangguk.

Aku turun dari kasur dan berjalan kearah pintu kamar. Diluar dugaan, Leo mengikutiku dari belakang.

"Apa? Tadi ayah bilang apa?" tanyaku sarkas. Ayah tidak menjawab pertanyaanku, ia lebih memilih menatap Leo yang berdiri tepat di sampingku.

"Leo sayang," panggilku pada Leo. Ia menoleh, "iya...."

"Mau pulang atau tetap disini?"

"Disini."

Aku menatap ayah dan juga Airin bergantian dengan tatapan yang seolah mengatakan bahwa Leo masih mau bersama denganku.

"Lihat? Kalian ini lihat 'kan?"tanyaku sarkas.

"Leo saja tidak mau dengan kalian? Memangnya yang merawat Leo hingga seperti ini kalian?" tanyaku lagi. Aku melipat kedua tangan didada.

"Kalian hanya membuatnya dengan nafsu, tanpa mau membesarkannya dengan kasih sayang," sarkasku.

Ayah mulai bicaraan omong kosong seperti yang sudah-sudah. Aku muak dengan ayah jika sudah mengatakan omong kosong yang tidak ada gunanya sama sekalih.

"Ini fakta, kalian tidak terima?"

Istrinya yang menyebalkan ini mulai menatapku dengan kesal.

"Apa lihat-lihat? Matamu ingin kucongkel huh?"

Ibu langsung memukul leganku.

"Jangan seperti ini Jinny-ah!" protes ibuku. Aku tertawa dengan nada yang dibuat-buat.

"Aku harus bagaimana Bu?!" teriakku kesal.

"Mereka berdua ini?!" ucapku sambil menunjuk ayah dan istrinya bergantian.

"Mereka berdua bahkan tidak mengangkat panggilan masuk dari guru Leo ataupun dari pihak sekolah! Orangtua macam apa mereka ini?!"

Napasku tersengal-segal karena berusaha menahan amarahku. Ingin rasanya aku jambak rambut wanita ini sampai rontok habis!

Mereka tidak bisa menjawab sama sekalih dengan ucapan yang aku lontarkan barusan. Merasa tepojokan, Airin menatap ibuku seolah meminta tolong agar ia tidak belama-lama dipojokkan olehku? Atau agar anaknya bisa terlepaskan dariku.

"Chanmi-eonnju...." bujuknya pada ibuku.

CIH!

Hening.

Aku mulai bisa mengantur emosiku karena melihat tatapan ibu yang seolah mengatakan bahwa aku harus melepaskan Leo pulang bersama dengan keluarga ayahku. Aku menarik Leo kedepan pintu keluar dan aku tau mereka lantas mengikutiku. Aku bukakan pintu keluar Apartemen. Leo mulai bersuara dan paham dengann situasi kali ini. Adikku yang malang, kau cepat bertumbuh ternyata.

"Nini...." panggilnya lirih padaku.

"Besok nini jemput ya, Leo hari ini pulang ya?" tanyaku hati-hati agar anak ini mengerti. Leo menganggguk, bertandakan jika memang ia mengerti.

"Plomise?" tanyanya sambil menunjukkan jari kelingkingnya. Aku pun menautkan jariku yang bertanda jika aku ingin berjanji padamu.

Sekarang, aku menatap ayah-ibuku.

"Jika ingin keluar dari sekarang, silahkan. Aku tidak melarang," perintahku. Tidak ada yang menjawab.

Ayahku mengusap dahinya. Karena bingung dengan situasi sekarang yang menurut siapapun semriwet.

" Jinny..., Aku memperhatikanmu sudah sangat lama," ucap Airin—istri ayahku.

Aku berjongkok kehadapan Leo. Kuusap poninya dan sesekali meniupnya.

"Leo dengar ya, Hari ini Leo pulang sama ayah dan ibu. Hari Minggu Nini tunggu ya," jelasku padanya. Dan nampaknya hal tersebut dimengerti oleh Leo.

Airin yang merasa menang pun langsung membawa Leo keluar. Aku menatap ayahku dan tersenyum remeh.

"Lebih baik kalian luangkan waktu untuk Leo, jangan sampai aku melaporkan hal ini pada pemerintah perihal Leo. Oke? Jangan memancingku."

Ayahku diam.

"Jika tidak ingin lagi Leo, ingat! Ada aku yang akan merawatnya!"

Ayah mengangguk paham dengan ucapanku.

"Terimakasih Jinny-ah."

"Aku antar ayah menuju pintu keluar."

Ayah pun mengangguk mengerti dan mengikutiku dari belakang beserta ibu juga. Ketika aku baru membuka pintua apartemen, suara gaduh terdengar.

"KAU INI HARUSNYA MENURUTI UCAPANNYA DOHYUN!"

Nada suara yang aku kenal. Aku langsung berlari lebih cepat keluar untuk tau siapa yang sedang bertengkar.

Aku takut ini Dohyun.

Deg

Benar saja, aku melihat Dohyun berkali-kali di tampar oleh kakak iparnya. Aku memperhatikan sekeliling Dohyun, dan ternyata Rowon sudah tidak ada.

Apakah anak itu sudah masuk ke dalam apartment?

Entahlah.

Aku harap anak tersebut sudah berada ditempat yang lebih aman.

"Song Woosik!" panggilku pada Woosik dengan sedikit berteriak. Woosik menoleh, wajahnya kaget setelah melihat aku dan keluargaku menyaksikan pertengkaran antara Dohyun dan juga Woosik.

Hatiku benar-benar sangat sakit saat tau Dohyun diperlakukan seperti ini pada kakak iparnya.

"Jika ketauan oleh kakak kandungnya, aku pastikan kau pasti akan babak belur!" peringatku pada Woosik. Ia tersenyum meremehkan.

"Tidak mu—"

Tak.

Tiba-tiba, sepatu high heels dari arah lift terbang hampir mengenai Woosik, jika saja orang itu telat. Sudah dipastikan kepalanya mengalami kebocoran.

"Jangan seenaknya memukuli adikku!" teriak Jia pada Woosik. Tanpa pemirsi, aku langsung menerobos masuk kedalam pertengkaran yang terjadi ini.

"Jika kau masih berani memukilinya lagi, aku pastikan padamu Song Woosik," aku menunjuk Woosik, "aku pastikan, kaki dan tanganmu akan aku patahkan! Ingat itu!" ancamku pada Woosik.

To be continued....