Mas Raka memilih untuk pergi. Meninggalkanku yang masih menahan bendungan air yang dalam hitungan detik akan membuat aliran sungai deras melewati kedua pipiku.
"Tega kamu, Mas!" gumam ku di sela tangis yang mulai pecah.
Aku bangkit dan berjalan menuju kran air di dapur. Ku basuh wajahku agar penglihatan ku yang sedikit buram menjadi lebih cerah.
Selera makan kini telah sirna. Aku merapikan sisa masakan di atas meja dan memasukkannya ke arah kulkas. Berjaga-jaga takut suamiku akan merasa lapar saat malam hari seperti biasanya.
Ah, di saat seperti ini aku masih memikirkan dia?
Ingin rasanya aku menghapus segala ingatan tentang dirinya. Tapi sangat sulit. Pernikahan yang sudah lima tahun kami lalui tak semudah itu membuatku lupa. Apalagi perlakuan manisnya yang sebelumnya sangat luar biasa. Tak pernah sedikit pun aku membayangkan badai ini menerpa kehidupan rumah tanggaku.
Aku kira hanya ada di televisi atau novel-novel online yang sering aku baca. Ternyata kehidupanku kini tak jauh berbeda dengan apa yang pernah aku baca.
Apakah aku terlalu terbawa suasana dan mendalami karakter dalam cerita? Tidak! Ini nyata! Rasa sakitnya benar terasa.
Tak semua pria bisa tahan dengan godaan yang bernama wanita. Dan apa mungkin suamiku seperti itu? Ya, bisa saja.
Tapi kenapa? Apakah sudah tak ada lagi cinta dalam kehidupan rumah tangga kami?
Aku bergegas menuju kamar. Berharap suamiku akan kembali ke kamar kami seperti malam-malam sebelumnya.
Aku lebih dahulu memastikan Delisha tertidur lelap dan tak terganggu dengan pertengkaran kami baru saja.
Setelah dipastikan gadis kecil kami tertidur dengan lelap, bergegas aku berlari menuju kamar. Dengan merapal doa, aku berharap suamiku ada di sana.
Ku buka pintu kamarku perlahan. Takut ia terganggu dengan suara pintu yang terbuka. Ku langkahkan kaki masuk ke dalam kamar kami yang cukup besar itu. Saat aku melihat ke arah ranjang kami, tak kudapatkan jejak suamiku di sana. Peraduan kami masih tampa rapi seperti sebelumnya.
Ku langkahkan kakiku menuju kamar mandi yang terletak di dalam kamar itu. Berharap ia berada di sana. Sedang bersembunyi, mungkin?
Nihil!
Suamiku tak ada di sana. Lalu, ke mana dia?
Aku bergegas menuju luar rumah. Memastikan pria itu tak pergi meninggalkan rumah. Namun, tak sesuai perkiraan ku. Suamiku membawa mobilnya pergi meninggalkan rumah dan pergi entah ke mana
Tubuhku kembali luruh. Apakah aku sanggup menghadapi badai pernikahan kami? Akankah aku sanggup bertahan?
***
Tanpa sadar aku tertidur di sofa ruang tamu rumah ini. Aku terjaga saat toa masjid mengumandangkan panggilan untuk bersama-sama menunaikan kewajiban subuh. Gegas aku menuju kamar mandi dan melaksanakan kewajiban ku sebelum kembali memulai beraktivitas pagi itu.
***
Aku berjalan menuju kamar putri kecilku, memastikan apakah ia sudah terjaga atau masih nyaman mengarungi alam mimpinya.
Tak seperti biasanya Delisha masih tertidur pukul lima pagi ini. Namun, aku bersyukur. Itu artinya masih banyak waktu untukku menyiapkan keperluan anak dan suamiku serta membereskan rumah yang menjadi rutinitas setiap hari sebagai seorang ibu rumah tangga.
Ku coba menghubungi ponsel suamiku. Berharap pria itu pagi ini menjawab panggilanku yang sejak malam diabaikannya.
Berulang kali aku mencoba menghubungi pria yang masih berstatus kan sebagai suamiku itu. Setelah panggilan ketiga, panggilanku dijawabnya.
"Halo?" suara seorang perempuan terdengar di seberang panggilan.
Belum sempat aku bersuara, suara seorang wanita asing justru menyapa indra pendengaran ku di pagi itu. Ku tutup mulutku dengan tangan kananku yang tak memegang benda lain. Air mata turun tanpa sempat permisi, membuat kedua mataku yang masih membengkak kembali terasa perih.
"Siapa yang menelepon?" Ku dengar suara pria yang tak asing bagiku. Seorang lelaki yang aku rindukan, yang aku khawatirkan keadaannya sejak malam tadi.
"Enggak tahu Mas. Gak ada suaranya," jawab wanita yang sepertinya tengah memegang ponsel suamiku itu.
"Ada namanya, gak?" tanya pria itu lagi. Bisa ku dengar langkah pria itu yang mendekat ke arah ponselnya.
"Gak ada namanya, nih!" Bisa kubayangkan wanita itu menyodorkan ponsel suamiku kepada pemiliknya.
Tak kudengar lagi suara dari seberang sana. Bisa aku pastikan pria itu kini sedang gugup dan akan bergegas kembali ke rumah ini.
Aku matikan ponsel yang panggilannya masih terhubung namun tak lagi terdengar suara di seberang sana.
Beruntung ponselku memiliki fitur rekam otomatis yang tak pernah diketahui oleh suamiku.
Pertanyaan yang selama ini terngiang di kepalaku, yang menjadi awal percikan api dalam hubungan pernikahan ini sudah mendapatkan titik terang. Kini aku sudah tahu apa penyebab suamiku berubah drastis, bahkan aku merasa tak lagi mengenali dirinya.
Aku bisa memastikan kalau hubungan mereka sudah terjalin begitu lama. Mendengar nama panggilan yang wanita itu lontarkan, cukup membuatku yakin kalau mereka menjalin hubungan spesial.
Mas Raka memang memiliki adik perempuan. Aku mengenal dengan baik suara adik-adiknya.
Aku melanjutkan kegiatanku pagi itu. Mengalihkan pikiranku agar tak terbawa emosi yang sudah ada di ubun-ubun.
Kali ini aku tak boleh menangis. Air mataku terlalu berharga untuk seorang pria yang masih bertahta sebagai suamiku. Aku harus kuat demi anakku.
Tepat saat aku menyelesaikan kegiatan memasak sarapan pagi itu, aku mendengar suara langkah kaki memasuki rumah. Sudah bisa aku tebak, suara siapa itu.
"Zhy, Mas minta maaf. Itu tak seperti yang kamu pikirkan," ucap Mas Raka dengan suara yang tampak bergetar.
Aku bisa menebak kalau pria yang kini tengah mengekor di belakangku ini sedang ketakutan. Pria itu tak mau disalahkan. Dia enggan mengakui kalau kejadian tadi pagi adalah sebuah pengkhianatan.
Aku berusaha tetap tenang menghadapi pria yang tengah merengek seperti kucing itu.
"Makanlah!" ucap ku singkat.
Aku tak ingin mengucapkan banyak kata lagi yang nantinya akan berujung percuma. Aku tak ingin menunjukkan kelemahan ku di hadapannya. Dia tak boleh tahu kalau aku saat ini sedang rapuh.
Aku meninggalkan dapur dengan membawa menu sarapan putri kecilku. Aku bisa merasakan suamiku masih mengekor di belakangku.
"Makanlah! Aku yakin kamu belum sarapan di rumahnya."
Aku merasa ucapan ku kali ini terlalu kasar. Pria itu tampak terkejut saat aku mengatakan kalimat terakhir yang sengaja aku lontarkan untuk menyindirnya.
Mas Raka kemudian berbalik menuju dapur. Dia menuruti perkataanku agar mengisi perutnya yang kosong.
Aku menyuapi Delisha terlebih dahulu. Sembari menyiapkan hati sebelum mendapat penjelasan yang aku yakin akan meremukkan hatiku.
Aku menghembuskan napas kasar. Makanan Delisha sudah tandas bertepatan dengan Mas Raka yang sudah menyelesaikan sarapannya.
Aku menitipkan Delisha kepada asisten rumah tangga yang baru saja menyelesaikan pekerjaannya mencuci pakaian.
"Kita perlu bicara, Zhyvanna," ucap Mas Raka saat mendapati diriku yang hendak berlalu pergi.
"Tunggu di ruang tengah. Aku mau menaruh ini," ucapku sembari mengangkat alat makan Delisha yang sedang aku pegang.
Apa lagi yang perlu dibicarakan?