Aku melirik ke arah Mas Raka yang buru-buru meraih ponselnya. Ia tampak berusaha menyembunyikan pesan itu dariku.
"Aku ke kamar dulu," ucapnya memberitahuku.
Ia kemudian beranjak meninggalkan meja makan tanpa menunggu jawabanku.
Aku menahan tremor tanganku yang mendadak hadir tanpa sebab. Lutut ku juga merasa lemas. Sekuat tenaga aku menumpu badan dengan tanganku, meraih tempat duduk yang berada tak jauh dari jangkauan ku.
Tanpa terasa, bulir bening jatuh melawati pipi. Tubuhku bergetar, tak sanggup menahan emosi yang saat ini membuncah tak terkendali. Ingin ku marah atas semua kebohongan yang dilakukan oleh suamiku itu. Tapi aku tak berdaya.
Aku sudah lama bergantung kepada pria yang masih sah sebagai pasangan hidupku itu. Tak pernah aku bayangkan kalau pada akhirnya dia memutuskan untuk berpisah denganku dan membawa pergi anak-anak. Tidak! Itu tak boleh terjadi.
Aku menghirup napas berulang kali berusaha menetralkan perasaan yang tadi hendak meledak membakar diri. Kutuang air putih ke dalam gelas. Meminumnya hingga tandas tak bersisa. Berharap hati dan pikiranku kembali dingin dan tenang agar bisa berpikir rasional tentang tindakan apa yang harus aku ambil.
Oh, Tuhan. Kuatkan hatiku agar tak terbawa emosi saat menghadapi suamiku. Ridhoi aku, dan beri petunjuk-Mu, batinku dalam hati.
Aku berjalan menuju kamar di mana biasanya aku dan suamiku menghabiskan malam bersama. Seharusnya dia ada di sana karena sebelumnya dia pamit hendak kembali ke dalam kamar. Itu berarti ke kamar kami, bukan?
Aku kini masih berdiri di depan pintu kamar. Ku tautkan kedua tanganku yang tiba-tiba terasa dingin dan basah karena keringat. Gugup, takut, khawatir menjadi satu. Aku takut dia marah padaku karena telah lancang mengintip ponselnya. Aku khawatir dia akan menyalahkanku karena tuduhanku yang tak beralasan. Akan tetapi insting ku berkata kalau sesuatu telah terjadi dan tidak aku ketahui. Namun, aku masih terus saja berharap kalau itu tak terjadi. Akan lebih baik kalau rasa cemas yang menggelayuti itu adalah sebuah kesalahpahaman.
Ku ketuk pintu kayu bercat putih di hadapanku. "Mas, kamu ada di dalam?" tanyaku dari luar berharap dia menyahut dari dalam kamar.
Sedetik, dua detik, tiga detik ... tak kudengar jawaban yang aku harapkan itu.
Ku buka pintu kamar secara perlahan. Aku takut dia saat ini sedang tidur dan aku tak mau mengganggu waktu tidurnya. Aku yakin dia pasti kelelahan.
Saat pintu sudah terbuka, ku lihat Mas Raka sedang meringkuk di bawah selimut di atas ranjang kami. Tampaknya dia sudah tertidur lelap sehingga tak mendengar suaraku dari luar tadi.
Aku duduk di tepi ranjang, tak jauh dari tempat mas raka tertidur. Ku pandangi wajah suamiku yang masih terlihat tampan di mataku. Pria yang beberapa tahun terakhir menemaniku melewati hari-hari yang sebelumnya sangat sempurna. Terlebih dengan hadirnya putri kecil kami yang masih balita. Ku lihat gurat kelelahan di wajah tampan lelakiku itu.
Ah, sepertinya memang aku yang terlalu posesif kepadanya, pikirku.
"Selamat istirahat, Mas," ucapku sembari mencium kening pria yang tengah terpejam itu.
Aku beranjak menuju kamar mandi untuk membersihkan diri. Ku nyalakan kran air dingin, berniat untuk berwudhu sebelum membaringkan diri menuju alam mimpi bersama suami.
***
Aku merasa ada pergerakan tak biasa dari sisi lain ranjang di mana aku merebahkan diri. Sepertinya Mas Raka terbangun dari tidurnya.
Entah jam menunjukkan pukul berapa saat ini. Karena sangat mengantuk, aku enggan untuk membuka mata. Namun, aku berusaha menajamkan pendengaran ku untuk mencari tahu apa yang sedang dilakukan Mas Raka saat ini.
Ku dengar suara langkah kaki menjauh dari tempat aku masih berbaring. Langkah kaki ringan seperti sedang berusaha agar aku tak terusik dengan suaranya. Sesekali ku dengar suara helaan napas dari tempat yang sedikit jauh itu.
Sayup-sayup ku dengar suara ponsel khas panggilan suara yang terhubung dari aplikasi hijau. Setelah bunyi bip yang ketiga, aku mendengar suara seorang pria yang sangat aku kenal.
"Sudah tidur?" begitu pertanyaannya.
Entah apa yang dijawab oleh orang di seberang sana. Namun, aku mendengar Mas Raka meminta maaf kepada orang yang dihubunginya itu.
"Istriku tadi tiba-tiba melihat ponselku. Jadi aku memilih tidur. Aku malas ribut dengannya. Apalagi dia selalu menggunakan air mata sebagai senjatanya ... Kamu gak keberatan, kan?" tanya Mas Raka dalam panggilan itu. Terdengar jelas suaranya yang entah sungguh berbeda saat ia berbincang denganku.
Air mataku menetes tanpa bisa aku tahan lagi. Meski dalam keadaan terpejam, entah mengapa aku merasa sangat sedih dan kecewa mendengar perbincangan antara dia dengan orang yang ada di dalam panggilan itu.
Aku masih berharap kalau orang yang ada dalam panggilan tersebut adalah seorang wanita. Meski tampaknya itu hanya angan ku saja.
"Semoga ini hanya mimpi," pikirku berusaha menyangkal semuanya.
***
"Pagi, Sayang," sapa Mas Raka saat aku tengah memasak.
Dia mengecup pipiku dari samping. Ia sudah rapi dengan pakaian kerjanya yang tadi pagi sudah aku persiapkan. Tapi aku merasa sedikit janggal. Kenapa dasi yang terpasang di lehernya bukan dasi yang aku pilihkan?
Tanpa sadar aku menatap dasi yang sudah terpasang rapi di leher pria itu. Dia yang menyadari arah pandang mataku itu tampak salah tingkah.
"Oh, maafkan aku, Sayang. Aku lupa memberitahumu kalau aku kemarin membeli ini. Aku membelinya bersamaan dengan membeli gamis punyamu." Dia berusaha menjelaskan.
Aku tersenyum, meski sebenarnya hatiku diliputi rasa penasaran. "Tidak apa-apa, Mas. Pantas saja aku tak pernah melihatnya," jawabku.
"Ya sudah, duduklah dulu. Sarapannya akan segera jadi," pintaku pada pria yang masih berdiri di sampingku.
"Oh, maafkan aku, Zhy. Aku lupa memberitahumu. Aku hari ini harus berangkat pagi. Ada meeting pagi ini. Jadi aku akan sarapan di luar hari ini."
"Kalau begitu tunggu sebentar, biar aku bikin kan bekal untukmu biar bisa kamu makan nanti saat tiba di kantor," jawabku.
Aku bergegas mematikan kompor di mana aku baru saja selesai menumis sayuran kesukaan Mas Raka.
"Tidak perlu. Aku buru-buru. Kalian sarapan saja tanpa aku," ujar Mas Raka yang kemudian mencium pucuk kepalaku sebelum akhirnya dia pergi menuju depan rumah.
"Ya, sudah. Hati-hati di jalan, Mas," jawabku.
Aku tak sempat mengantarkan Mas Raka hingga depan rumah karena Delisha kini sedang asyik menyendok sarapannya.
"Iya," Jawabnya singkat.
Kulihat Mas Raka berlalu dengan tas kantornya, berjalan ke luar rumah. Aku mendengar suara mesin mobil di luar rumah. Tak lama, suara mesin mobil itu tak lagi terdengar. Aku bisa menebak kalau Mas Raka sudah berangkat.
Setelah sekitar tiga puluh menit kemudian, aku menyelesaikan sarapanku, begitu pula dengan Delisha. Meski berlepotan, gadis kecil itu berhasil menandaskan menu MPASI hari ini.
Aku membereskan sisa makanan dan membersihkan peralatan yang tadi aku gunakan untuk masak dan juga piring bekas makan. Setelah semuanya usai, aku membawa Delisha bermain ke depan rumah.
Aku terkejut saat mendapati mobil Mas Raka masih terparkir sempurna di garasi depan rumah kami. Hal itu membuatku bertanya-tanya.
Suara mobil siapa yang ada di depan rumah?
Dengan siapa Mas Raka berangkat kerja?