Setelah cukup stalking wanita yang "dekat" dengan suamiku itu, aku memutuskan untuk menghibur diriku. Aku memilih mengalihkan perhatianku dengan membaca komik atau manhwa di salah satu aplikasi online yang aku instal di ponsel pintarku. Setidaknya pikiranku tak melulu berisi rencana pembalasan mereka yang mengkhianati ku.
Aku perlu beristirahat. Aku perlu memberikan waktu bagi tubuh dan pikiran ku untuk menyegarkan diri. Berusaha rileks agar lebih siap dengan "pertempuran" sebenarnya.
Kalau boleh jujur, sebenarnya aku sangat malas memperpanjang urusan itu. Namun, aku perlu kejelasan status, apakah putus atau terus.
Tak mungkin 'kan kalau hubungan kami mengambang dan tak memiliki ujung?
Sebenarnya ingin, memiliki kisah yang indah seperti kedua orang tuaku. Yang saling mencintai tanpa menyakiti, apalagi mengkhianati hingga ajal menjemput mereka, memisahkan mereka di dunia yang fana ini.
Se-simple itu keinginanku dalam menjalin rumah tangga. Akan tetapi hal itu sangat jauh di depan mata.
Kehidupan rumah tanggaku tak seindah kelihatannya. Orang lain mungkin berpikir kalau biduk rumah tangga kami baik-baik saja. Tanpa terdengar percekcokan di dalamnya. Namun, siapa sangka, aku yang juga lengah, tak mengira kalau sebenarnya pernikahan kami tak wajar.
Mas Raka memang seorang pria pendiam, irit bicara, dan lebih suka membuktikan kesungguhannya dengan tindakannya.
Namun, apa kini seperti itu juga?
Terkadang masih teringat bagaimana romantisme di antara kami berdua saat pertama kali kami saling kenal. Bagaimana dia memperlakukan ku sebagai seorang yang spesial. Bahkan aku yang dulu selalu bekerja hingga larut malam, selalu ia perhatikan.
Setelah diingat-ingat lagi, saat aku hamil anak pertama ku, Mas Raka tak lagi seperti itu.
Seingat ku, Mas Raka mulai berubah sejak dia bertemu kembali dengan teman-teman dalam lingkar pemusik lainnya.
***
Hari berganti hari. Aku membiarkan Mas Raka melakukan apapun yang ia suka. Meskipun hati ini tetap menaruh curiga. Namun, aku pasrah kepada Yang Kuasa.
Aku yakin, sepandai-pandainya tupai melompat, pasti akan jatuh juga. Sepandai-pandainya ia menyembunyikan kesalahannya, pasti akan terbongkar juga.
Aku memilih fokus dengan putri kecilku hari itu. Hingga akhirnya aku melihat ponsel suamiku tergeletak di salah satu sisi tempat tidur dan berdering.
Sebuah nama seorang pria tertulis di layar benda pipih itu. Aku menggeser tombol hijau dan menjawab panggilan itu.
Belum sempat aku bersuara, seorang wanita lebih dahulu mengeluarkan suaranya dari seberang sana.
"Mas, aku tunggu di depan gang, ya? Jangan lama-lama," ucap wanita itu dari seberang panggilan.
Aku buru-buru menutup panggilan telepon itu saat terdengar pintu kamar mandi terbuka, di mana Mas Raka menyelesaikan kegiatan mandinya.
Oh, ternyata mereka sudah memiliki janji, batinku.
Ku lihat Mas Raka kini tengah membuka lemari baju, memilih pakaian terbaik yang hendak ia kenakan untuk bertemu sang pujaan.
Aku tertawa dalam hati. Lebih tepatnya menertawai diri saat kulihat pantulan diriku di cermin. Ya, aku yang sekarang sepertinya sudah tak menarik lagi di mata suamiku.
Aku yang dulu memiliki bentuk tubuh ideal meskipun tak seperti gitar Spanyol, cukup menarik untuk dipandang. Tak heran kalau banyak pria yang mendekatiku. Apalagi dulu aku adalah seorang wanita karier dengan gaji lumayan.
Kini? Wajah kusam karena hanya mencuci muka dengan air saja, bentuk tubuh yang sedikit melebar pasca melahirkan, membuatku tak menarik lagi. Seolah diriku yang dulu bersinar, kini redup tanpa binar.
Dalam hati, aku bertekad untuk kembali menjadi diriku yang dulu, wanita mandiri yang tak bergantung pada suami.
Beberapa menit kemudian, Mas Raka sudah selesai berganti pakaian. Dia pamit untuk pergi sebentar, katanya. Tetapi aku tahu kalau ia hendak bertemu dengan wanita itu
Setelah Mas Raka meninggalkan rumah dengan menggunakan motornya, aku menghubungi seseorang hang sebelumnya berinisiatif untuk membantuku menemukan kebenarannya.
"Dia sudah berangkat," ucapku memberi kode kepada orang di seberang panggilan untuk bersiap membuntuti Mas Raka.
Detik jam terus bergerak. Hingga tanpa terasa matahari sudah hampir pulang ke peraduannya.
Terdengar deru motor memasuki area parkir rumah kami. Mas Raka masuk ke dalam rumah dengan mengucapkan salam. Ku jawab salamnya dan menyambut pria itu dengan senyuman.
Dia mendekat ke arahku hendak mencium pipi gembul putri semata wayang kami.
Bau parfum wanita.
Aku semakin yakin kalau suamiku baru saja bertemu dengan seorang wanita. Namun, aroma parfum itu sangat familiar dengan indra penciumanku.
Mas Raka kemudian beranjak menuju kamar mandi, hendak membersihkan diri karena baru saja dari luar rumah.
Seperti biasa, setelah melaksanakan ibadah, aku menyiapkan makan malam rutin setiap pukul tujuh malam.
Mas Raka kemudian menghampiriku yang sedang menyiapkan masakan di dapur.
"Biar Mas bantu," ucapnya hendak mengambil alih spatula yang aku pegang.
"Tak usah." Aku refleks menghindari Mas Raka. Tubuhku seolah menolak untuk bersentuhan dengan pria itu.
Jujur, dalam hatiku merasakan perasaan enggan yang tak terkira. Tak sudi aku berdekatan dengannya meskipun kadang hati berkata sebaliknya.
Mas Raka akhirnya memilih duduk. Dia meletakkan sebuah paper bag ke atas meja makan. Entah dari mana paper bag itu berasal. Seingatku, Mas Raka tadi datang dan pergi dengan tangan kosong.
"Yang, Mas punya sesuatu untukmu," ucapnya kemudian.
Aku menoleh ke arahnya saat dia menunjuk ke arah tas kertas berwarna putih itu.
"Apa itu?" tanyaku sembari membawa dua piring yang berisi lauk dan tumis sayuran yang baru selesai ku masak.
"Mas membelikan ini untukmu. Mas sudah lama sekali tak membelikan kamu baju. Sebentar lagi hari raya, kamu bisa memakainya. Mas punya dengan motif dan warna yang sama," ucapnya menjelaskan.
Ku lihat sebuah gamis berwarna ungu kombinasi soft pink di dalam tas kertas itu lengkap dengan hijab berwarna senada. Tak hanya itu, ada juga gamis ukuran kecil yang bisa ku tebak seukuran Delisha.
Saat ku bentangkan gamis yang menurut Mas Raka untukku itu, memiliki panjang yang tak sesuai denganku. Dan juga sedikit lebih besar.
Apa Mas Raka tak tahu ukuran tubuhku? Batinku.
"Terima kasih," ucapku singkat.
Bagaimanapun usahanya tetap harus aku apresiasi, bukan?
Kami kemudian melanjutkan makan malam kami. Seperti biasa, tak ada percakapan saat kami berdua makan. Hanya denting sendok dan piring yang menemani makan malam kami.
Usai makan malam, aku yang tengah membersihkan peralatan makan kami, tanpa sengaja membaca sebuah pop-up pesan yang tertera di layar ponsel suamiku di atas meja.
Sebuah pesan dari pengirim yang hanya diberi nama sebuah tanda titik.
. : Mas, gamisnya sepertinya tertukar.
Ku lihat Mas Raka buru-buru menyembunyikan ponselnya dariku. Ia tampak salah tingkah.
Aku bersikap seolah tak melihat pesan itu. Meski hatiku kini merasakan sakit tak terkira.
"Apa kamu juga membelikan pakaian yang sama dengannya, Mas?" ucapku dalam hati yang tengah bergejolak.