Brian dan teman-temannya saat ini berada di tempat mereka biasanya latihan. Pentas seni akan berlangsung sekitar 2 Minggu lagi. Jadi mereka latihan dengan sangat serius.
"Semoga penampilan kita nanti bagus dan memuaskan, ya. Bakalan kangen deh sama sekolah kita sekarang." Ucap Reza. Teman-temannya menyetujui perkataan Reza. Semua kenangan indah akan sangat mereka rindukan. Apalagi ini adalah pentas seni terakhir mereka di SMA Lavender.
"By the way, sorry nih out of topic. Bri, kamu kok bisa sih nyiptain lagu galau gitu? Bukannya kamu bahagia-bahagia aja ya pacaran sama Yura?" Tanya Marco secara tiba-tiba yang mendapatkan tatapan tajam dari teman-temannya setelah ia melontarkan kalimatnya tersebut.
Brian yang sedang memainkan gitarnya secara asal, menghentikan kegiatannya tersebut dan menatap Marco. "Suka aja, emang kenapa?"
Ah, jawaban yang singkat itu benar-benar menyebalkan. Tetapi Marco hanya diam dan menggelengkan kepalanya. Melihat tatapan tajam dari teman-temannya saat ini, ia memutuskan untuk berlatih saja. Memangnya kenapa jika dia berbicara seperti itu? Apakah salah? Bukankah memang benar Brian selalu bahagia?
Mereka latihan dengan sangat serius sehingga tidak menyadari jika seseorang sedang memperhatikan mereka saat ini. Andre menatap keempat orang di dalam ruangan itu dengan sangat serius. Terutama Brian. Sepertinya dendamnya itu sudah mendarah daging. Dia sangat tidak suka melihat Brian yang tertawa dan berbicara kepada temannya. Kenapa Brian tidak menderita saja? Pikir Andre.
Handphone Andre bergetar, ia melihat ada panggilan masuk dari papanya. Andre menjauh dari tempat itu dan mengangkat teleponnya.
"Aku lagi di luar, Pa. Sebentar lagi aku pulang." Hanya itu yang dikatakan Andre kepada papanya. Nada bicaranya terdengar dingin karena ia tidak begitu dekat dengan papanya. Dia hanya menjawab omongan papanya di seberang sana dengan singkat. Andre mematikan handphonenya lalu memasukkannya kembali ke dalam saku celananya.
Andre sangat bosan dan muak terhadap sikap papanya yang selalu mengekang dirinya. Tidak boleh melakukan ini dan tidak boleh melakukan itu. Hanya boleh melakukan ini dan hanya boleh melakukan itu. Ayahnya yang seorang politikus itu menuntut Andre untuk menjadi pribadi yang selalu baik dan sempurna. Muak. Sungguh muak.
Sementara itu, anak-anak The Clouds terlihat sudah meninggalkan tempat latihan mereka. Andre menatap keempat orang tersebut yang pergi ke arah timur dengan mata memicing.
*
Malam harinya Brian berada di depan meja belajarnya. Seperti biasa, ia sedang belajar saat ini. Sebenarnya dia sangat lelah untuk latihan dan belajar. Tetapi mau bagaimana lagi, sudah menjadi kewajibannya sebagai seorang siswa.
"Bri, makan malam." Brian mendengar kak Felix berteriak untuk memanggilnya. Dia sungguh heran, tidak bisakah kak Felix naik ke atas dan memberitahunya dengan pelan? Kenapa dia malah berteriak dari lantai bawah dan mengganggu ketenangan orang? Terkadang Brian sangat lelah menghadapi sikap aneh kakaknya. Wajah saja yang tampan, tetapi terkadang bisa menjadi orang yang aneh dan menjengkelkan.
Brian menutup bukunya dan turun ke bawah sebelum kakaknya itu meneriakinya lagi karena mengira Brian tidak mendengarnya. "Jangan teriak-teriak kalo udah malam. Lagian apa susahnya sih datang ke kamarku terus ngomong pelan-pelan? Nggak takut apa itu pita suara putus?"
Kak Felix hanya mendengus mendengarkan celotehan dan protes adiknya itu. Sebenarnya kak Felix agak memikirkan juga tentang pita suaranya. Tapi ya, masa bodo 'lah. Dia hanya menghemat waktu saja. Kak Felix orang yang tidak suka membuang-buang waktu. Tetapi caranya ini malah membuat orang kesal.
Saat ini, mereka sedang makan dalam keadaan diam. Pembantu rumah tangga mereka sedang cuti beberapa hari ini. Jadi dengan tidak rela, Brian harus memakan masakan kak Felix yang bisa dibilang sangat menyedihkan ini. Ah, sungguh kak Felix harus segera menikah dengan istri yang pandai memasak.
"Kak, nikah sana." Brian mengucapkan kalimatnya dengan sangat santai tanpa beban sedikit pun.
Kak Felix tersedak saat mendengar ucapan adiknya tersebut. Ia terbatuk dan segera meminum airnya. "Kamu pikir cari istri gampang apa?" Jawab kak Felix dengan sinis.
Benar, mencari pasangan itu memang tidak semudah membalikkan telapak tangan. Saat mencari pasangan, kak Felix harus mengetahui jelas bibit, bebet dan bobotnya terlebih dahulu. Dan yang terpenting, mereka harus saling mencintai.
Jika boleh berbicara sedikit tentang kisah cintanya, kak Felix saat ini sedang berada di posisi cinta sepihak. Ia menyukai seorang penjaga perpustakaan yang merupakan temannya semasa SMP. Sungguh, kak Felix menyukai wanita itu sejak SMP. Tetapi, wanita yang disukainya itu tidak pernah memiliki perasaan spesial sedikitpun terhadap kak Felix. Bisa dibilang, kak Felix sudah menjadi seorang Sad Boy selama bertahun-tahun.
Kak Felix selalu memperlakukan wanita yang disukainya dengan sangat baik. Ia memberikan perhatian yang sangat besar terhadap wanita yang disukainya itu. Wanita yang disukai kak Felix memang mendekati sempurna. Dia cantik, mempunyai kepribadian yang sangat baik, dan dia orang yang sangat tulus.
Kak Felix sangat takut untuk mengungkapkan perasaannya. Ia takut jika ditolak lagi oleh wanita itu. Benar, kak Felix pernah mengungkapkan perasaannya tetapi di tolak. Sikapnya ini sedikit salah, seharusnya ia mengungkapkan perasaannya langsung kepada wanita yang disukainya. Diterima atau tidaknya urusan belakangan. Toh hati orang bisa saja berubah seiring berjalannya waktu. Yang tadinya tidak suka bisa menjadi suka. Iya 'kan?
Saat sedang menikmati makan malam, handphone Brian berdering. Nama Gilang tertera di layar handphonenya. Ada apa Gilang menghubunginya malam-malam seperti ini?
"Halo" Ucap Brian setelah menerima panggilan telepon dari Gilang.
[Bri, kacau. Kacau semua]
"Apanya yang kacau?"
[Tempat latihan kita, Bri. Hancur semua astaga]
Tubuh Brian menegang sesaat setelah mendengar ucapan Gilang yang dipenuhi dengan rasa panik tersebut.
"Aku kesana sekarang." Brian mematikan handphonenya dan berlari ke kamar untuk mengambil jaket dan kunci motornya.
Kak Felix yang melihat Brian kalang kabut seperti itu juga menjadi ikutan panik. "Ada apa Bri? Kamu mau kemana malam-malam gini?"
"Tempat latihan band katanya hancur kak. Aku nggak tau hancur yang seperti apa. Intinya gawat banget. Aku pamit dulu ya." Brian terburu-buru memakai sepatu serta helm dan pergi secepat kilat menggunakan motornya. Kak Felix hanya menggelengkan kepala melihat tingkah adiknya dan berharap semoga tidak terjadi apapun. Jika terjadi hal yang tidak diinginkan, semoga mereka bisa mengatasinya.
Saat tiba di tempat yang dituju, Brian segera masuk ke dalam tempat latihannya tersebut. Ia sangat terkejut dengan kondisi ruangan ini. Kepalanya berdenyut dengan hebat saat melihat seluruh alat musik rusak dan hancur. Dinding yang tadinya indah kini sangat buruk sekali setelah disiram dengan cat berwarna hitam. Tempat ini benar-benar sangat hancur sekarang.
Wajah keempat orang tersebut terlihat sangat bersedih, mereka seperti kehilangan semangat. Reza, Gilang, dan Marco sudah terduduk lemas di lantai. Brian mengusap kepalanya dengan gusar. Jika saja tidak mengingat kalimat lelaki tidak boleh menangis, dia pasti sudah menangis histeris disini. Ah, sebenarnya kalimat tersebut sangat menyesatkan. Memangnya kenapa jika laki-laki menangis? Mereka 'kan juga seorang manusia. Sangat menyebalkan.
"Kita rugi besar. Siapa sih yang tega banget ngelakuin ini? Kita udah rugi puluhan juta astaga. Ah atau jangan-jangan malah ratusan?" Reza menutup matanya. Wajahnya terlihat sangat sedih. Sedangkan Brian, ia masih tidak tahu harus apa. Sangat sulit untuk mencerna kejadian yang sangat tiba-tiba ini.
Gilang mengatakan, ia kembali kesini untuk mengambil handphonenya yang tertinggal. Dan dia sangat terkejut melihat kondisi ruangan ini. Dengan panik, ia menelepon teman-temannya. Sekarang, di sinilah mereka berempat duduk dan meratapi betapa menyedihkannya nasib mereka saat ini. Padahal, baru tadi sore mereka bermain dengan alat musik kesayangan mereka masing-masing. Alat musik yang menjadi saksi bisu atas perjalanan mereka dari awal. Sangat menyedihkan.
Brian bangkit dari duduknya dan berjalan memperhatikan setiap kerusakan yang ada. Langkahnya terhenti saat ia melihat sebuah kertas bertuliskan:
SELAMAT MENIKMATI KESEDIHAN KALIAN
Brian mengenali tulisan ini. Ia pernah melihatnya, dan Brian mengingat bahwa tulisan ini adalah milik ... Andre. Benar, ini tulisan Andre. Brian meremas kertas tersebut dan melemparnya dengan marah. Kurang ajar! Umpat Brian.