Bab 9. Boss, bagaimana kalau kita bertaruh?
Setelah mendiagnosa dan meresepkan obat untuk ibunya, Aisyah kembali ke kamarnya dan mulai mencatat kebutuhan yang dia butuhkan selama tinggal di sini.
"Pertama, aku membutuhkan komputer dengan spesifikasi tinggi. Hm, ... Era ini, apakah ada yang seperti itu?"
Aisyah penasaran, dan mulai berselancar di web browser. Dia menemukan bahwa teknologi di era ini hampir tertinggal 1 dekade penuh yang benar-benar membuatnya dilema.
"Hm ... tidak ada cara lain, aku harus merakitnya sendiri."
Setelah mencari referensi, dia berganti pakaian sekali lagi dan pergi keluar. Dia akan membeli paket komputer.
Setelah itu dia keluar kamar dan bertemu dengan ibunya yang sudah bersiap.
"Bu, apakah kau sudah siap?"
Rena mengangguk, kemudian keduanya keluar dari rumah.
"Kita harus kembali sebelum jam 3. Aku masih harus bekerja di Rumah Makan Sate Ponorogo," ujar Rena pada Aisyah mengingatkan.
Aisyah melongo, ada apa dengan ibunya? Dia sedang sakit, dna kondisi tubuh ini benar-benar tidak memungkinkan dirinya untuk bekerja. Tapi dia terus memikirkan pekerjaan dan menghasilkan uang.
"Bu, apakah kau lupa bahwa aku baru saja mendiagnosamu dan hasil diagnosa menyatakan bahwa ibu tidak bisa kelelahan kali ini. Itu artinya, bekerja sangat tidak mungkin. Itu artinya, ibu harus beristirahat penuh."
"Tapi, kalau aku tidak bekerja, kita harus makan apa besok?" ujar Rena masih membantah.
"Bu, tatap mataku. Apakah aku kelihatan berbohong untuk kondisimu sendiri? Selain itu, kau masih ingat kan, dengan uang 50 juta yang ditinggalkan Keluarga Idris padamu untuk menebus Luna?"
"Tapi uang itu akan habis cepat atau lambat. Jika aku tidak bekerja, kita tidak akan bisa melihat masa depan!" Rena sekali lagi membantah.
Aisyah merasa pusing menghadapi ibunya yang penuh tanggung jawab untuk keluarganya. Jadi dia terpaksa mengambil jalan memutar. Dia harus meyakinkan ibunya bahwa mereka tidak akan kekurangan uang di masa depan selama ada dirinya.
"Bu, kita baru saja bertemu. Aku tidak ingin kehilangan dirimu hanya karena uang kecil ini. Bagiku yang jauh darimu puluhan tahun, kehilanganmu sangat menyakitkan bagiku. Apalagi sekarang, kita baru saja dipertemukan. Bu, apakah kau lupa kalau anakmu ini sudah menikah dengan orang kaya? Menantumu tidak akan mengecewakanmu dan dia tidak akan membiarkan mertuanya hidup susah! Bu, yakinlah. Kalau tidak, beristirahatlah selama 2 minggu. Setelah 2 minggu jika ternyata tidak ada perubahan, ibu bisa bekerja lagi. Bagaimana?" Aisyah berusaha membujuk ibunya dengan cara yang paling halus. Baginya, ini adalah cara paling memalukan dalam hidupnya. Namun demi ibunya yang baru saja bertemu, dia harus menanggungnya.
Selama dia mengatakan itu, dia memandang ibunya dengan tatapan memohon belas kasihan.
Benar-benar sangat imut!
Hal ini juga yang membuat hati Rena luluh lantak karena keimutan Aisyah.
"Baiklah, kalau begitu setelah ini kita harus pergi ke Boss untuk meminta cuti 2 minggu."
"Bu, kau hanya perlu menunjukkan alamatnya padaku. Aku akan meminta izin untukmu. Kau harus istirahat. Hanya 2 minggu. Kau harus mempercayaiku, karena kau satu-satunya ibu bagiku."
Dihadapkan pada pujian yang bertubi-tubi dan wajah imut itu membuat Rena harus mengalah.
Dia sangat terharu bahagia dengan kalimat "Kau adalah satu-satunya ibu bagiku."
Dia tidak menyangka, bahwa di paruh kedua hidupnya ini akan bertemu dengan anak semanja dan seimut ini.
Rena dengan berat hati hanya bisa setuju dan menunjukkan alamat Rumah Makan Sate Ponorogo pada Aisyah. Tentu saja, Aisyah mencatatnya di ponselnya.
Kemudian mereka berdua pergi dengan hati riang.
Perkampungan kumuh ini meskipun terbilang kumuh, namun sebenarnya sangat dekat perkampungan orang China di Jakarta. Di sini, etnis keturunan china atau Tionghoa mendirikan pemukimannya. Tentu saja, itu sangat berbeda dengan kampung sebelah yang kumuh.
Perkampungan etnis Tionghoa terkesan mewah dan megah. Meski begitu mereka sangat ramah terhadap pendatang. Aisyah sendiri mendapatkan lokasi ini dari Maps online yang terdapat di ponselnya.
Berdiri di depan sebuah toko herbal china, Aisyah merasa nostalgia. Dulu dia adalah pemilik hal-hal seperti ini, sekarang dia tidak menyangka akan ada masa ketika dia datang sebagai pelanggan.
"Boss, aku ingin herbal ini. Apakah barangnya tersedia?"
Aisyah menyapa apoteker penjaga toko sambil menyerahkan resep yang dia tulis.
Apoteker itu mengerti sebagian khasiat obatnya, namun sebagian lagi dia tidka mengerti. Dia bertanya-tanya, "Siapa dokter dewa yang bisa menulis resep kuno ini?"
Namun dia tidak berani bertanya langsung. Dia ingin perlahan menyelidiki.
"Gadis kecil, apakah ini resep obat untuk malaria? Tapi aneh, aku tidak tahu khasiat herbal lainnya dalam daftar ini."
Aisyah termenung, memang sebagian bahan obat adalah untuk penyakit malaria. Menilai dari pakaiannya dan pakaian ibunya yang sangat kumuh, apoteker itu pasti mengira salah satu keluarga mereka terkena malaria.
Aisyah bergumam, "Seperti yang diharapkan. Pengetahuan medis yang hilang."
Setelah bergumam, Aisyah menjelaskan dengan santai, "Sebagian bahan tersebut memang untuk penyakit malaria, namun jika dikombinasikan dengan herbal lainnya, itu akan menjadi obat penambah darah dan mempercepat regenerasi sel darah merah."
Apoteker sedikit bingung, dia sedikit tidak mengerti. Ilmu yang dia pelajari masih kurang, setahu dia, sisa herbal yang ada di daftar resep ini adalah rempah-rempah lokal dari Pulau Jawa.
"Gadis kecil, aku bisa menyiapkan sebagian bahan di resep. Namun sebagian herbal di resep ini ada di pasar. Kau bisa membelinya di sana. Ngomong-ngomong, bisakah kau membantuku mengenalkan dokter agung ini padaku? Tentu saja, aku akan memberimu tips, bagaimana?"
Untuk sejenak Aisyah sedikit shock. Dia bingung, bagaimana mungkin apotek china tidak menjual barang yang begitu berharga dan malah barang yang begitu berharga ada di pasaran di jual bebas? Untuk sesaat dia kenyataan ini benar-benar menjungkirbalikkan pengetahuan yang dia miliki.
Namun dia segera sadar, ini adalah era keterbelakangan. Dibandingkan dengan pengetahuan masa depan yang dia miliki, era ini benar-benar berbeda terlalu jauh!
"Akulah yang menulis resep ini. Bagaimana mungkin kau bisa memberiku tips?"
Mendengar jawaban ini, apoteker tertawa masam, "Gadis kecil, berhenti menggodaku. Aku benar-benar serius di sini "
Dalam pengetahuan yang dia pelajari, budaya pengobatan tiongkok sangat luas dan mendalam. Tanpa pengalaman beberapa dekade pembelajaran, tidak mungkin bisa meresepkan dan menuliskan resep seindah ini. Dia kembali menatap Aisyah.
Usia gadis ini setidaknya berada di 20 tahunan, benar-benar mustahil untuk membuat resep.
Dia percaya, bahwa anak muda jaman sekarang benar-benar terlalu pandai bicara omong kosong.
Melihat bahwa putrinya di sepelekan dan direndahkan oleh apoteker di depannya, Rena merasa sakit. Dia akhirnya memberanikan diri untuk membuka suara.
"Boss, sebenarnya akulah yang sakit. Putriku yang meresepkan obat itu untukku, baru tadi pagi. Kau bisa menyuruhnya untuk mendiagnosa mu bila kau tidak percaya."
Meskipun dia sedikit mempercayai anaknya sebelumnya, namun melihat konfirmasi resep obat dari apoteker itu sebelumnya, dia yakin bahwa anaknya memiliki kemampuan ini. Dia berpikir, daripada banyak bicara, lebih baik berkata dengan bukti.
"Apa kau yakin?" Tanya sang apoteker dengan tatapan tajam menyelidik.
Tiba-tiba mata Aisyah berkilat dan memikirkan sebuah ide nakal.
"Boss, bagaimana kalau kita bertaruh?"
"Taruhan? Apa kau yakin?" Ejek, apoteker itu pada Aisyah si gadis kecil.
Aisyah mengangguk seperti mematuk nasi.
"Boss, mari kita bertaruh. Jika aku bisa menebak dengan benar kondisimu saat ini. Aku akan mendapatkan herbal di daftar resep itu dengan gratis. Kau juga harus membelikanku herbal yang ada di pasar juga. Namun, jika aku kalah, aku akan membayar herbal dengan harga 2x lipat. Bu, tunjukkan uang kita padanya."
Rena maju ke depan, mengambil kresek hitam di tas kecilnya. Kemudian menunjukkan uang itu pada apoteker.
Melihat gebokan uang di dalam tas, mata apoteker segera berubah menjadi dollar hijau!
Dia yakin, benar-benar tidak ada ruginya mengikuti taruhan semacam ini.
"Baik, mari kita bertaruh!"