Bab 8. Pengobatan China
Letak kasino memang agak jauh dari pemukiman kumuh tempat tinggal Aldebaran dan Aisyah. Itu menghabiskan sekitar 30 menit dengan jalan kaki.
Sepanjang jalan, Aldebaran banyak bicara tentang trik yang Aisyah gunakan. Dia ingin mengorek informasi dari keponakannya ini, kemudian dia bisa menjadi dewa kasino suatu hari nanti.
Namun Aisyah hanya menjawab bahwa ini keberuntungan, yang membuat Aldebaran sesikit kecewa.
"Ngomong-ngomong paman, tolong berikan uangmu."
Mendengar permintaan keponakannya, Aldebaran merogoh saku bajunya yang banyak dan mengeluarkan semuanya ke dalam tumpukan tangan Aisyah.
"Total kita mendapatkan uang 10 juta, aku benar-benar tidak menyangka bahwa menghasilkan uang akan semudah ini."
Aldebaran bergumam saat melihat Aisyah menghitung uangnya. Dia masih bangga dengan kemampuan keponakannya. Awalnya, dia hanya membawa uang 3 juta yang sangat kecil. Kemudian dia menghabiskannya dan hanya menyisakan 1 juta sebelum akhirnya diambil alih Aisyah dan mendapatkan kemenangan beruntun dan beberapa kekalahan.
Tapi tetap saja, dia tidak menyaka masih memenangkan sejumlah 7 juta secara instan!
Sementara Aisyah menghitung uangnya, dia mengambil 5 juta dan menyerahkan sisanya pada pamannya.
Melihatnya, alis Aldebaran berkedut. Dia berpikir bisa makan enak dengan uang besar itu, namun ternyata keponakannya jauh lebih serakah dari pada dirinya!
"Aisyah, ini ..."
Aldebaran ingin mengeluh tentang pembagian ini, namun dia tidak berani terlalu mendikte Aisyah yang hanya berakibat merugikannya.
"Paman, aku memiliki hal yang lebih besar untuk dilakukan dan itu membutuhkan banyak uang. Aku ingin membelikan ibu rumah, memberikanmu perusahaan. Jadi kau tidak perlu ke kasino lagi saat kau punya kesibukan. Bukankah itu jauh lebih menarik, daripada menghasilkan uang di tempat yang kau tidak tahu apakah menang atau kalah?"
"Paman, yakinlah. Tolong percaya padaku kali ini," ujar Aisyah dengan ekspresi yang meyakinkan.
Tentu saja, karena Aldebaran yang sekarang sangat mengagumi dewa uang seperti Aisyah. Jadi dia harus percaya dan memegang erat paha besar keponakannya ini! Lagipula itu hanya 5 juta. Ya, hanya 5 juta.
Mengingat kembali uang 5 juta benar-benar membuatnya merasakan sakit.
"Lupakan, karena kau bilang begitu. Maka aku akan menantikan hadiah darimu," ujar Aldebaran dengan santai. Dalam pikirannya, dia hanya memberikan uang itu untuk permintaan maafnya pada keponakannya karena sebelumnya telah bersikap kasar padanya.
Dia sama sekali tidak memperdulikam masalah Aisyah yang memberinya perusahaan.
"Terima kasih, Paman Al. Aku masuk dulu, kemudian tidur lebih awal."
Setelah pembagian yang selesai, Aisyah dan Aldebaran telah sampai di depan rumah. Kemudian mereka berdua masuk ke rumah dengan mengendap-endap dan kembali ke kamar mereka masing-masing.
***
Keesokan harinya, Rena bangun lebih awal untuk memasakkan anaknya bubur dan dua telur dadar.
Setelah beberapa saat, Aldebaran masuk dan membawa nasi pecel dengan lauk ayam panggang di tangannya. Tadi malam dia menang banyak, jadi tidak ada salahnya membahagiakan keponakannya.
"Kakak. Apakah keponakanku sudah bangun? Aku membawakannya nasi pecel dengan ayam bakar. Kalau dia belum bangun, aku akan membangunkannya untuk sarapan."
Rena terdiam. Kenapa orang ini memanggil anaknya denga. Sebutan keponakan? Bukankah kemarin dia masih tidak suka dengan anaknya? Apakah dia makan sesuatu yang salah?
Rena bertanya-tanya tentang apa yang terjadi di antraa keduanya. Namun dia tidak ingin Aldebaran menghabiskan uangnya untuk makan anaknya. Dia merasa bersalah dengannya.
"Untuk apa kau menghabiskan uangmu? Aku sudah memasak bubur. Kami bisa makan bersama dengan bubur."
Aldebaran menolak dan berkata, "Kakak, aku baru saja mendapatkan bonus dari perusahaan kemarin. Setelah berpikir lama, aku merasa salah dengan sikapku. Banyak temanku menasehatiku dan memberikan hadiah untuk keponakanku. Kakak, maafkan kebodohanku kemarin. Mulai sekarang, dia adalah anakmu, dan keponakan besarku. Jadi, anggap saja ini sebagai permintaan maafku."
Setelah mengtaakan panjang lebar, akhirnya Rena bisa lega dan memaafkan adiknya yang konyol ini.
"Baik, lain kali kau harus ijin padaku dulu sebelum membelikan anak itu sesuatu."
"Baik, kakak. Oh. Ngomong-ngomong, kenapa keponakanku belum keluar? Apakah belum bangun? Kalau begitu aku akan membangunkannya untuk sarapan bersama."
Setelah Aldebaran mengatakan itu, suara Aisyah terdengar di pintu masuk.
"Paman, apa yang ada di kresek hitam itu? Kenapa baunya sangat enak?"
Mendengar suara itu, Aldebaran tersenyum.
"Ini adalah nasi pecel dan ayam bakar. Ayo kita sarapan bersama."
Kemudian Keluarga 3 orang itu langsung masuk ke dalam rumah dan menutup pintu untuk mulai sarapan.
"Aisyah, kau darimana?"
"Bu, aku baru saja berlari mengelilingi kampung. Aku tidak menyangka bahwa fisikku terlalu buruk. Aku berencana untuk mulai berlatih dari sekarang. Aku tidak bisa bermalasan, dan aku harus kuat."
"Uhuk, uhuk. Aisyah, kau harus menjaga dirimu sendiri. Jangan sampai sakit seperti ibumu ini."
"Ibu tenang saja, setelah aku masuk, mandi, ganti baju, dan makan. Aku akan memberikan diagnosa gratis untukmu. Yakinlah, setelah menerima diagnosa dari putimu yang paling cantik ini, kau akan sembuh, ibuku sayang.."
"Baik, baik. Aku yakin anak ibu akan mampu menyembuhkan ibu. Ayo sekarang masuk dan mandi. Pamanmu pasti sudah tidak sabar untuk makan ayam."
"Baik, bu."
Kemudian Aisyah masuk ke kamar kemudian mandi dan ganti baju, sebelum akhirnya kembali ke meja makan untuk sarapan bersama.
"Keponakan, kamu makan lebih banyak," ujar Aldebaran sambil menaruh paha ayam di piring Aisyah.
Rena dan Aisyah saling pandang, dan hanya bisa tersenyum. Pamannya benar-benar sudah berubah.
Selanjutnya selesai makan, Aisyah mendekatkan kursinya ke kursi ibunya.
"Bu, tolong ulurkan tanganmu. Aku akan memeriksa denyut nadimu."
Mendengar permintaan Aisyah, anaknya. Rena hanya menurutinya dan bekerja sama dengan diagnosa anaknya.
Aisyah memejamkan matanya dan mendengar denyut nadi di tangan ibunya.
"Bu, kau hanya kecapekan dan kekurangan darah. Bu. Apakah kau mendonorkan darahmu baru-baru ini?"
Mendengar diagnosa anaknya, Rena sesikit terpana.
Dia memang baru saja melakukan donor darah. Tapi itu bukan donor biasa, itu adalah donor darah yang hisa dijual untuk uang cepat.
Mendengar diagnosa Aisyah, Aldebaran langsung naik darah.
"Kak, apakah yang diucapkan oleh keponakan ku benar? Kau baru saja melakukan donor darah?"
Ditanyai oleh pamannya, Aisyah merasa sedikit bingung. Jika ini donor darah biasa, bukankah pamannya juga seharusnya mengetahuinya?
Namun mendapati pertanyaan dari keluarganya, Rena hanya diam dan menghindar.
"Sudahlah, lupakan. Aku hanya kelelahan setelah belerja. Setelah istirahat beberapa saat lagi, aku akan sembuh."
Rena mencoba mengalihkan topik pembicaraan, namun Aldebaran sudha naik darah dan menggebrak meja.
"Sialan! Dia benar-benar serigala bermata putih! Tidak hanya tidak mengucapkan terimakasih karena selama 20 tahun di rawat kakakku, namun juga memaksa kakakku menjual darahnya! Jika bukan karena dia menemukan orang tua kandungnya, aku takut kakakku akan menjual ginjalnya!"
"Paman, apa maksudmu?"
Aisyah sedikit tidak nyaman karena hanya dirinya yang tidak tahu.
Aldebaran menatap Rena, namun Rena hanya diam. Kemudian Aldebaran menghela nafas menahan emosinya.
"Beberapa hari yang lalu, anak sialan itu meminta ponsel merek buah seharga 20 jutaan. Awalnya aku mengira kakakku akan mengabaikannya, tapi siapa yang mengira, beberapa hari kemudian dia memberikannya pada anak itu. Ternyata, kakakku menjual darahnya! Benar-benar anak durhaka!"
Mendengar cerita itu. Aisyah menggenggam tangannya erat-erat.
"Kelihatannya aku benar-benar harus membuat perhitungan dengan anak itu," gumam Aisyah di dalam hatinya.
Namun dia menutupinya dengan senyuman manisnya.
"Bu, tenanglah. Aku akan meresepkan resep untukmu. Selama ibu mengkonsumsinya rutin. Aku yakin ibu akan kembali sehat. Sekarang, ibu istirahat baik-baik."