Ruang kuliah 05 di lantai dua itu ramai tidak seperti biasanya. Sudah sejak setengah jam yang lalu kursi-kursi yang berjejer rapi telah ditempati. Hanya tinggal satu kursi disebelah mahasiswi yang tengah mendukung membaca buku tebalnya. Lulu, siapa lagi. Dan kursi yang kosong itu tentu saja untuk temannya, Jeje.
Sudah menjadi rahasia umum kalau hanya Lulu yang akan berbaik hati menyisihkan tempat duduk untuk Jeje. Yang lain sih tidak mau. Bahkan terkesan menghindar. Tidak bagus berurusan dengan Jeje yang menyebalkan bagi mereka. Apalagi Jeje itu playgirl level master. Sebagian besar teman sekelasnya yang wanita benci karena Jeje selalu berhasil merebut gebetannya. Jeje memang tidak akan pernah pandang bulu menikung. Baginya, sebelum janur kuning melengkung dan bendera kuning berkibar, maka akan selalu ada kesempatan.
Bedebah memang.
Tapi apa mau dikata?
Jeje yang akhlakless ditambah otak yang pas-pasan dan status mahasiswa abadi masih tertutupi dengan wajahnya yang cantik.
Terkadang dunia memang tak adil.
Sudah tahu Jeje bukan wanita baik-baik, tetap saja banyak pria yang mengejarnya.
Lulu mengangkat wajahnya. Ia melirik jam di tangannya. Sepuluh menit lagi kuliah akan di mulai tapi Jeje belum juga menunjukkan batang hidungnya. Lulu mengomel dalam hati. Padahal sejak semalam Lulu sudah mewanti-wanti kalau masuk kuliah siang ini harus tepat waktu. Dosennya killer luar biasa.
Lulu memutuskan menelepon Jeje.
"Je? Lo masih dimana?"
"Kenapa? Dosennya uda datang?"
Lulu berdecak. Kebiasaan kalau ia bertanya pasti akan dijawab dengan pertanyaan lagi oleh Jeje.
"Gue itu nanya sama lo. Jawab dulu kenapa? Jangan malah balik nanya."
"Ish. Sensi amat sih, Lo."
"Sepuluh menit lagi kuliahnya dimulai."
"Oh."
"Oh?"
"Gue emang sengaja mau telat, Lu. Tenang aja."
"Tenang-tenang aja gimana? Gak usah ngadi-ngadi deh sama dosen ini. Aslina Je. Sieun aing ningali basa itu si bapak nyemprot yang telat." (Takut gue lihat si bapak marahin yang telat).
"Gue gak ngerti," jawab Jeje singkat. Ia tidak mengerti dengan bahasa daerah Lulu.
"Pokoknya lo cepetan masuk. Jangan telat."
"Elah … si bapak tercintanya juga baru masuk koridor."
Lulu melotot, "Lo ngebuntutin dosen itu?"
"Hehehe … gak sengaja Lu."
"Halah … ngeyel! Gue bilangin jangan main-main juga."
"Gak apa-apa Lu. Terakhiran deh yang ini."
"Lo kena karma baru tahu rasa, Je!"
"Jangan gitu. Gue cuman gak sengaja ngelihat dia aja."
"Yaudah cari cara lo harus lebih dulu dateng ketimbang dosen itu."
"Iya-iya."
"Yaudah cepetan."
Panggilan itu terputus.
Hanya saja Jeje tidak mengindahkan peringatan Lulu. Ia bahkan sengaja melambatkan langkahnya. Matanya terus saja mengekori gerak-gerik dosen yang kini tengah menyapa dosen lain yang baru saja keluar kelas.
Senyum Jeje mengembang ketika melihat dosen itu tersenyum. Entah kenapa hanya melihat di kejauhan seperti ini saja Jeje merasa sudah terperangkap dalam pesonanya. Tubuhnya yang tegap seperti menggodanya untuk menyentuh.
"Perfect," gumam Jeje.
Ya. Dosen itu memang sangat pas sekali untuk menjadi target selanjutnya. Sepertinya kisah terakhir ini akan sangat menarik, pikir Jeje.
Hosh!
Jeje mengerjap ketika udara panas itu menyapa telinganya. Ia menoleh lalu menatap tajam. Lagi. Laki-laki yang tidak tahu diri ini masih keukeuh untuk mendapatkan hatinya.
"Andri! Ngapain sih!"
"Hehehe … abisnya kamu bengong kayak gitu. Entar kesambet lo."
"Gak lucu," ketus Jeje.
"Eh mau kemana Je?" tahan Andri ketika Jeje hendak pergi.
"Apa sih Ndri. Gue mau masuk kuliah."
"Sabtu ini jalan yuk."
"Enggak."
"Kenapa? Lo udah janjian sama cowok lain ya?"
Jeje memutar bola matanya, "Kalau iya kenapa?"
"Guenya kapan, Je?"
"Nanti aja kalau gue udah bosen," ucap Jeje malas. Ia meninggalkan Andri.
Sedangkan Andri tersenyum tipis. Setidaknya masih ada harapan pikirnya.
****
Tubuh jangkung dan tegap itu memasuki ruang perkuliahan. Mahasiswa segera menegakkan tubuhnya ketika sang dosen datang. Sama seperti dulu. Tidak ada senyuman. Tidak ada sapaan.
Dosen itu akan masuk dengan wajah poker facenya. Seperti mengintimidasi tapi tidak. Entah karena auranya yang begitu kuat atau karena kesan pertama perkuliahan yang tidak menyenangkan.
Ya. Dosen itu menambah koleksi dosen killer yang patut dihindari oleh para mahasiswa. Dengannya sudah tidak boleh macam-macam lagi kalau nilai ingin selamat. Itu sudah dibuktikan dengan perkuliahan pertama minggu kemarin yang mampu mencoret 5 nama mahasiswa untuk mengulang di semester depan. Tidak ada kata penawaran. Penawaran hanya ada dalam bisnis tidak ada dalam pendidikan. Kalau mau sukses ikuti aturannya karena dengan pendidikan bukan sedang berbisnis.
"Pagi, Pak …," ucap mahasiswa.
Dosen itu hanya tersenyum tipis. Tatapannya mengedar ke seisi kelas. Lalu tatapannya terfokus pada kursi yang masih kosong tapi ada tas.
"Bagus. Kalian mendengarkan ucapan saya. Ingat tidak ada toleransi di kelas saya."
"Baik, Pak."
Lulu nampak meneguk salivanya sendiri. Bukan karena pesona dosen itu yang killer-killer tapi memabukkan. Tapi karena Jeje belum juga datang. Ah, lebih baik tidak datang kalau seperti ini.
TOK … TOK … TOK
MAMPUS!
Lulu mengomel di dalam hati. Bagaimana tidak? Jeje malah mengetuk pintu. Sudah tahu telat. Dasar bebal, omelnya dalam hati. Padahal semalam ia sudah mewanti-wanti kalau telat lebih baik tidak masuk, biar ia yang mengizinkan sakit.
Tapi kalau seperti ini? Apa yang harus Lulu lakukan?
Jeje sepertinya memang senang sekali menggali kuburannya sendiri.
TOK … TOK … TOK
Jeje kembali mengetuk. Tapi tidak ada tanggapan dari dosen itu. Bahkan teman-temannya yang melihat tidak mau membuka suara. Terlalu beresiko.
"Pahami baik-baik materi hari ini. Minggu depan kita akan kuis."
Bukannya menjawab ketukan pintu. Dosen itu malah memulai perkuliahan. Jeje tersenyum miring. Ia sudah paham akan seperti ini. Ah, ia tidak marah. Sama sekali tidak. Bahkan semakin ingin menggodanya.
"Bapak Ruhyang Prata Danureja?"
DUAR.
Berani-beraninya Jeje memanggil dosen itu dengan nama panjangnya. Lulu menepuk jidat. Tidak tahu harus apa lagi.
Dosen itu menoleh. Tatapannya datar.
"Silakan keluar. Saya tidak menerima mahasiswa yang telat."
Jeje tersenyum, "Maaf Pak. Tadi saya dipanggil Bu Mira, beliau menitipkan sebuah berkas untuk Bapak. Jadi saya sedikit telat," ucapnya.
Lulu menoleh. Pintar juga si Jeje itu.
Dosen itu menghela napas. Raut wajahnya jelas sekali menunjukkan tidak suka.
"Masuk. Simpan berkas itu di meja."
"Baik, Pak."
Jeje masuk. Lalu meletakkan berkas itu di meja. Jeje pun segera duduk.
"Lain kali kalau masuk kelas saya pakai baju yang sopan. Kelas saya itu buat belajar bukan clubbing," ucap Dosen itu penuh penekanan.
Jeje terdiam. Tapi tersenyum sarkas dalam hatinya. Benar-benar menarik pikirnya. Sedangkan yang lain terlihat menaham tawa karena Dosen itu mengkritik cara berpakaian Jeje yang memang terkesan terlalu seksi untuk ukuran kampus.
"Ini berlaku untuk semuanya. Kamu, kamu, kamu. Saya ingat wajah kalian. Jangan macam-macam," tegas dosen itu seraya menunujkka dengan tatapan matanya.
Yang ditunjuk menghentikan tawanya yang tertahan. Senyuman Jeje mengembang seketika. Entah kenapa ia merasa dilindungi oleh laki-laki itu. Aih! Pikiran macam apa itu?
"Kalau sama saya ingat tidak, Pak?" ucap Jeje dengan berani.
Dosen itu meneleng, "Kamu mau saya keluarkan dari kelas ini?"
Jeje tersenyum. Dua jarinya teracung tanda minta damai, "Bercanda, Pak."
"Tidak ada bercanda di kelas saya. Kalau kamu mau bercanda pergi nonton stand up comedy saja. Jangan mengikuti kelas saya."
Jeje mengangguk takdzim, "Baik, Pak."
Dosen itu kembali melanjutkan presentasinya.
********