Gelas es jeruk itu tersedot tak berhenti. Dalam beberapa detik sudah tinggal sepertinganya. Jeje yang melihat Lulu minum seperti itu, menggelengkan kepalanya. Sudah seperti ikan yang sengaja di simpan di daratan lalu dikembalikan ke empang.
"Segitunya hausnya lo? Perasaan baru kelar kelas bukan lari marathon."
"Ini semua gara-gara lo."
"Kok gue?"
"Elo yang bikin gue jantungan mulu. Ditambah lo malah godain dia. Teu eling!" (gak waras).
Jeje terkehkeh, "Santai kali. Tuh dosen gak gigit juga."
"Tapi ada lo tuh, dosen itu semakin serem. Pas pertama mah enggak."
"Emangnya gue hantu."
"Sebangsa mungkin," jawab Lulu asal.
"Heh! Gue gak beliin martabak telor juga nanti malam minggu."
"Ih! Jangan dong Je. Jangan begitu. Ya … ya … ya …," bujuk Lulu.
"Dih. Anak siapa sih lo, tahunya manfaatin orang aja."
"Kan cuman sama elu Je. Kurang baik apa gue sama lo? Bantuin nugas iya, bantuin jadi pawang gelud iya, bantuin ngabisin duit lo iya."
"Dasar!"
Jeje meraih minumannya. Ia pun jadi ikutan haus karena melihat Lulu yang kehausan. Baru saja ia mau menyedot minuman, matanya lebih dulu menangkap sosok dosen yang menjadi targetnya kali ini. Iya, Pak Ruhyang Prata Danureja. Si ganteng kalem yang bikin mahasiswa bergidik ngeri karena ke killerannya.
"Lu … itu Pak Ruhyang."
Lulu menaikkan alisnya. Ia mengikuti tatapan Jeje. Aneh, pikir Lulu. Baru kali ini ia lihat dosen makan di kantin ini. Kampusnya memang memiliki beberapa kantin, tapi untuk dosen dan staf mereka memiliki kantin tersendiri. Ada sih dosen yang sering juga mampir ke kantin mahasiswa. Tapi hal itu bisa di hitung jari. Pasalnya kantin khusus dosen dan staf itu lebih tenang, damai dan higienis ketimbang kantin mahasiswa yang sudah jelas suka ramai.
"Mau ngapain tuh dosen?" ketus Lulu.
Nyatanya Lulu masih kesal karena dosen itu tadi memberikan tugas yang di luar nalar. Harus bikin makalah analisis minimal 30 halaman. Gila gak tuh?
"Sensi amat sih lo, Lu."
"Ya gimana gak sensi. Killer dia emang bikin nyawa orang mati pelan-pelan."
"Biasanya juga elu nugas apapun rintangannya dijabanin."
"Gue kesel karena elu pastinya menghibahkan tugas lo ke gue."
"Heheheh kok lo tahu sih? Tenang gue nanti beliin lo martabak telor special pakai telor bebek 5."
"Gak. Kali ini gue mau fokus ngerjain tugas dari dosen itu. Biar gak ada celah buat dia ngasih nilai di bawah rata-rata!"
"Wih ambis banget lo."
"Harus dong. Semester akhir harus ambis biar lulusnya cepet."
"Terserah," Jeje menyelendangkan tasnya lalu beranjak dari duduknya.
"Heh mau kemana lo?"
"Mau nyamperin dulu calon bebep baru," ucapnya setengah berbisik.
Lulu melotot, "Lo bandel ya Je!"
"Kalau gak bandel bukan gue namanya," Jeje mendekat ke arah Lulu lalu mengecup pipi putih milik Lulu.
Lulu menepis bekas ciuman Jeje. "Bedegong!"
Jeje mengedipkan matanya. Lalu berlalu dari hadapan Lulu.
Sosok yang rapi itu bak merah diantara putih. Sangat mencolok. Hanya dengan satu tatapan setiap mahasiswa pasti tahu kalau lelaki jangkung itu adalah dosen. Wajahnya yang tampan dan auranya bak psikopat berdarah dingin.
"Wah siapa itu? Dosen jurusan mana? Baru lihat gue."
"Andai aja dosen psikodiagnostik gue gantengnya kayak dia. Betah gue praktikum." (Anak psikologi mana suaranya?????? aye aye)
"Deminaaa … apalagi kalau macam-macam Jang Ki Young. Moal bolos-bolos urang."
"Gak akan ada acara bosan kalau ambil data 12 jam non stop juga," (wkwwkwk)
"Ganteng asli. Ingin kenalan kalau gini tuh."
Jeje yang mendengar itu menatap sinis ke mereka. Mereka terdiam ketika di tatapi Jeje seperti itu. Mereka tahu siapa Jeje. Lebih baik mengalah daripada harus berurusan dengan Jeje. Walaupun banyak dibenci cewek masih banyak cowok juga yang mau membelanya.
Tak mau ambil pusing, Jeje melengos pergi. Ia mengikuti Ruhyang yang mendekati Bubur Ayam milik Bu Ratna. Senyum Jeje terus mengembang. Padahal ia hanya bisa melihat punggung laki-laki itu.
"Gila! Si Jeje mau embat tuh dosen?"
"Siap-siap alamat jadi mahasiswa abadi njir."
"Biarin aja. Biar tahu rasa. Gak semua hal bisa dibayar oleh tubuhnya yang seksi itu. Otak dan akhlak juga harus selaras."
Bu Ratna yang tengah sibuk melayani beberapa pelanggan, terkejut. Sosok lelaki jangkung itu amat dikenalnya. Ia tidak menyangka kalau laki-laki itu masih datang untuk menemuinya.
"Den Ruh? Kemana aja? Baru mampir kesini ya. Sombong kalau sudah sukses mah."
"Hehehe … engak juga, Bu. Baru ada kesempatan ke sini aja."
"Hayu atuh sini duduk. Meuni asa lawas ti lawas Den Ruh dateng kesini. Jadi kangen masa dulu."
Ruhyang tersenyum lebar, "Ah jangan nostalgia bu. Nanti saya jadi keinget dosa dulu, sering ngutang ke ibu."
"Wah iya juga ya? Kalian bertiga emang paling sering ngutang sama ibu. Tapi gak apa-apa buat anak-anak pinter kayak kalian mah ibu ridho lillah hita'ala."
"Bisa aja ibu."
"Tapi beneran ibu kangen sama kalian bertiga. Kalian hiburan ibu kalau penat jualan."
"Saya juga, Bu. Makanya saya kesini. Kangen bubur ayam Ibu."
"Oalah … hayu atuh. Ibu bikinin bubur ayam yang paling special buat Den Ruh."
"Gak usah panggil Den bu. Berasa anak raja aja."
Ibu Ratna tertawa, "Gak apa-apa sekarang 'kan emang lagi jadi raja. Pembeli adalah raja."
"Terserah ibu deh."
Bu Ratna beranjak. Tak sengaja, tatapannya bersiborok dengan Jeje.
"Neng Jeje? Mau makan kupat?" tawar Bu Ratna. Ia tahu kalau gadis itu tidak suka bubur ayam.
Jeje mengangguk. Tapi tatapan mengarah pada kursi yang penuh. Hanya tinggal di meja yang ditempati Ruhyang.
"Tapi mejanya penuh ya Neng?" tanya Bu Ratna. Ia mengarah pada meja Ruhyang. Lalu tatapannya mengarah pada Jeje, "Sebentar Neng."
Bu Ratna mendekati meja Ruhyang. Melihat itu Jeje bersorak sorai dalam hati. Tidak menyangka kuncup di cinta, ulam pun tiba.
"Den kalau bagi tempat sama Neng Jeje mau gak?"
Ruhyang menaikkan alisnya. Ia menoleh sekilas pada mahasiswi yang ia kritik tadi.
"Boleh," jawabnya singkat.
Bu Ratna menoleh pada Jeje, "Disini Neng!" ucapnya setengah berteriak.
Jeje mengangguk. Senyumnya mengembang. Gila sih ini! gumamnya dalam hati.
"Misi, Pak."
Tidak ada sahutan.
Ruhyang tidak menggubris. Ia sibuk dengan ponselnya. Jeje tidak ambil pusing. Ia duduk di samping Ruhyang.
"Neng Jeje mau kupat 'kan kayak biasa?" tanya Bu Ratna.
"Mau cobain bubur aja, Bu."
"Hah? Serius?"
"Dua rius."
"Oke. Ibu bikinin bareng yang Pak Ruhyang. Tunggu ya."
Setelah kepergian Bu Ratna, Ruhyang masih sibuk dengan ponselnya. Entah memang sedang sibuk atau sengaja karena tidak suka Jeje berada di sampingnya. Kalau mengingat tatapan tadi siang, sepertinya yang kedua yang memungkinkan.
"Saya … ganggu ya, Pak?" cicit Jeje. Ia berusaha membuka obrolan.
Bukannya menjawab. Ruhyang beranjak dari duduknya. Ia menghampiri Bu Ratna.
"Buburnya dibungkus saja, Bu."
CK.
Jeje berdecak. Rupanya laki-laki itu sengaja menjauhinya. Lihat saja nanti, tekad Jeje.
"Kenapa Den?"
"Saya makan di ruangan saja sambil cek tugas mahasiswa."
"Lho? Jadi dosen disini?"
"Pengganti aja. Ada dosen yang cuti, saya ganti aja sementara."
"Oalah. Iya-iya atuh ibu bungkus dulu."
Tak lama Ruhyang pergi dengan menenteng sebungkus bubur ayam. Sedangkan Jeje harus menerima nasib makan bubur ayam yang tak pernah disukainya. Brengsek, omelnya dalam hati.
"Ini Neng buburnya."
"Iya, Bu."
"Tapi beneran suka bubur Neng? Bukannya antipati?"
"Mau nyobain aja, Bu."
"Oh yaudah. Kalau gitu ibu kesana dulu ya."
"Iya, Bu."
Setelah Bu Ratna pergi, jeje langsung menelepon Lulu. Ia tidak mungkin memakan bubur ayam. Biar Lulu saja yang menghabiskan.
"Apa?" tanya Lulu to the point.
"Kesini ke tempat Bu Ratna, makan bubur."
"Gue udah kenyang."
"Buruan gue salah pesen malah mesen bubur."
"Hah kok bisa?"
TUT.
Jeje menutuskan panggilan itu. Ultimatum buat Lulu kalau saat ini Jeje tidak mau dibantah.
*******